Selasa, 01 Januari 2008

kisah kota yang retak

cerpen ini dimuat Sinar Harapan, Sabtu 17 maret 2007


/1/
"CERITAKAN kepadaku tentang retakan tanah yang meluluh-lantakkan kotamu, kekasihku!" pintaku kelak, jika aku berjumpa denganmu. Aku berjanji, kelak akan mendengarkan ceritamu dengan tertegun karena aku yakin kau pasti bercerita dengan bibir yang gemetaran, seperti pertama kali kau melumat bibirku. Aku masih ingat tarikan napasmu yang tersengal akibat dicekam ketakutan luar biasa, sampai-sampai tak meluncur sepatah pun kata dari bibir mungilmu yang basah. Kamu diam, nyaris resah dan tersedu!



Tetapi, di subuh yang buta saat kotamu hancur itu, aku tak tahu ke mana harus mencarimu? Maka, aku hanya memanjatkan doa kepada Tuhan; semoga kamu selamat dari reruntuhan. Aku berjanji, kelak jika bertemu denganmu, aku akan mendekapmu erat-erat dan mendengarkan ceritamu, meski dari degup jantungmu yang berdetak cemas. Aku tahu kau pasti tak akan mampu bercerita. Sebab aku tahu, kau pasti menangis sesenggukan. Tak ada kata, tidak ada suara, tidak ada cerita yang aku dengar dari bibirmu yang bergetar itu! Dan aku cuma akan mendengar degup gempa di jantungmu yang menyisakan kenangan isak tangis.

Padahal tahukah kamu, saat aku menyaksikan pergeseran lempeng yang menciptakan retakan tanah dari layar televisi di pagi itu? Saat lindu meruntuhkan bangunan gedung-gedung di kotamu? Aku memekik histeris dan leherku serasa tercekik! Aku menjerit keras, memanggil-manggil namamu!


/2/
DI SUBUH itu, aku tak mendengar jeritmu, sayang! Apalagi namaku kau panggil. Kamu masih tertidur pulas atau mungkin sedang bermimpi di seberang kota sana, yang tak bisa kujangkau saat aku merasakan tanah tiba-tiba retak dan tak lama kemudian tembok kamarku terbelah. Untung, tembok itu cukup angkuh digertak gempa. Tidak sempat meruntuhkan susunan batu bata, meski nyaris membuatku tertimpa langit-langit. Maka kelak, akan aku ceritakan kepadamu tentang gempa yang melindas kotaku, sayang. Karena itu, tolong dengarkan ceritaku agar kau tahu kelam jiwa yang nyaris ditimpa kematian. Aku sungguh ditikam ketakutan, kengerian dan kesedihan yang nyaris tidak tertangguhkan sedetik pun untuk sekadar menarik napas panjang.

Di subuh kelabu itu, aku tak mungkin bisa melupakannya, sayangku! Aku cuma tertegun. Aku mendadak bangun, karena ranjangku serasa miring, bergoyang-goyang dan bergetar. Tanah di bawah ranjang seperti terbelah, lantai yang biasanya merambatkan rasa dingin, kali itu seakan mendidihkan seluruh ruangan serta dingin AC seolah melarungkan desing gigil. Ada suara ganjil dan muskil yang tak pernah aku dengar, seperti jeritan hantu. Sebuah suara yang tak kukenal, serupa suara denging genta yang dipukul keras-keras, mungkin untuk membangunkan seluruh penduduk kota. Aku takut, mendekap boneka pemberianmu yang kamu belikan saat aku ulang tahun sebulan lalu.

Semula, aku kira suara ganjil yang tak kukenal itu, adalah derit roda-roda kereta api yang melintasi rel tepat di depan rumah kontrakanku. Tetapi, ketika daun telinga aku tajamkan, sama sekali tak kudengar suara kereta melintas. Aku jadi bimbang, dihajar suara yang tak jamak seumur hidupku. Aku ditikam suasana aneh, dan listrik tiba-tiba padam. Aku secepat kilat berlari keluar rumah.

Sayangku, apa yang kusaksikan setelah aku di luar rumah? Astaga, rumah-rumah di sebelah kontrakanku nyaris tidak bertiang lagi. Isak tangis berhamburan dan jerit histeris membahana. Serinai ketakutan seketika menjalari tubuhku. Aku bergidik. Aku merinding. Aku segera menghubungimu lewat ponselku, ingin memberimu kabar duka. Tapi tak kunjung kutangkap sinyal yang menyambungkan ritme perasaanku untuk menumpahkan semacam ketakutan belaka.

Aku mengirim sms buatmu sekadar mengusir resahku, namun gagal masuk. Aku coba lagi, tetap tak berhasil. Aku berlari ke dalam rumah, mengambil radio mini yang masih berbunyi di atas ranjang. Aku peluk radio itu, ingin kudengar sebuah lagu yang bisa menghiburku. Tak juga mampu melumpuhkan rasa takutku. Aku berlari lagi keluar rumah, menangis di dekat pintu pagar, meratapi keruntuhan kotaku yang ditimpa lindu.

Tatkala matahari muncul dan kotaku kian gaduh, aku masih menangis tersedu. Kakakku tiba di depan rumah kontrakanku, mengendarai sepeda motor tua milik ayah. Dia mencari-cariku di tengah kegaduhan dan memanggil-manggil namaku. Aku segera menghampiri, memeluknya erat-erat tidak ingin terlepas dari dadanya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik!" jawabku teramat pelan, mungkin tak sempat menelusup ke daun telinganya.

Ia kemudian mengajakku naik sepeda motor untuk pulang ke Bantul.

"Ibu memintaku menjemputmu. Jika kita meninggal, setidaknya kau berada di tengah-tengah keluarga. Untung, semua keluarga selamat," ucap kakak lelakiku, seraya menjalankan sepeda motor tua yang nyaris tak mampu melaju.

Di sepanjang jalan, aku seperti menyaksikan karnaval kematian dan orang-orang berlarian dikejar maut. Tidak pernah aku saksikan karnaval yang panjang dan memenuhi sepanjang jalan seperti di pagi itu. "Tsunami akan datang!!!! Cepat, cepat lari!!!" pekik orang-orang.

Aku melintasi jalan Timoho dan penduduk kota berarak-arak ke arah utara. Kakak yang mau melajukan motor pulang ke Bantul, ke arah selatan nyaris tak menemukan celah jalan untuk merangsek. Akhirnya, sepeda motor tua itu melaju mengikuti arak-arakan orang ke arah utara.

Ketika itu, aku serasa dekat dengan maut. Urat nadiku seperti terlipat dan aku tidak pernah merasakan suasana ngeri sedahsyat pagi itu. Tetapi saat maut terasa dekat di urat leherku, dari radio mini yang aku bawa, kudengar siaran berita yang memberitakan kabar; air laut tidak naik. Aku merasa lega, menarik napas panjang.

Aku mengajak kakakku berhenti di sebuah masjid. Orang-orang yang tadi dicekam ketakutan, ikut berhenti setelah aku berteriak, menirukan suara radio yang aku tenteng. Aku dengar desah napas orang-orang yang mereda. Sedikit tenang. Tapi karnaval orang yang berhamburan memenuhi jalan, masih dicekam ketakutan saat aku menerjang kerumunan lagi hendak pulang ke Bantul. Aku dan kakakku melaju, menyibak kerumunan orang dan bergerak ke Bantul, tepatnya ke rumahku di Kecamatan Sanden.

Sampai di depan rumah, aku termangu. Rumahku masih berdiri kokoh, dan nyaris membuatku tak percaya. Aku tertegun, menatap tiang rumah yang tak tergoyahkan. Aku cuma mematung, mendekap radio mini yang membuatku tak tertipu sebuah kabar buruk. Kotaku tidak diterjang tsunami, sayangku!


/3/
TAHUKAH kamu, betapa aku sungguh mencemaskanmu di pagi itu? Ketika aku terbangun di pagi hari dan segera menyalakan televisi untuk menyaksikan berita pagi, aku seketika ditampar sebuah kabar yang membuat jantungku berdebar kencang. Berita gempa di kotamu yang kusaksikan dari layar kaca, serasa membanting tubuhku ambruk ke lantai. Aku seketika ingat kamu, kekasihku!

Kopi yang aku seduh, tak lagi mengundang selera. Uap yang mengepul dari bibir cangkir tak sempat menyegarkan jantungku. Aku bergidik. Maka aku tak mau membuang waktu lagi. Aku ingin tahu kabarmu! Tapi sayang seribu sayang. Setiap kali kutekan nomormu, aku hanya mendengar kesenyapan. Di mana kamu, saat aku cemas ditikam resah di pagi itu?

Tidak ada pilihan lain, aku langsung mengemasi pakaianku lalu merangsek ke bandara untuk terbang ke kotamu. Tetapi, penerbangan ke kotamu dinyatakan tutup. Aku terpaksa melintasi kota lain. Aku ingin segera memeluk erat-erat tubuhmu, kekasihku! Aku rindu padamu. Aku tak ingin kau mati!


/4/
AKU tak sempat berpikir untuk menghubungi kamu lagi, sayangku! Ketika tiba di rumah, aku segera memeluk bunda. Aku menumpahkan detak jantungku yang masih menyisakan ketakutan itu pada perempuan yang tangguh itu, ibuku. Aku dekap tubuh perempuan yang dulu sempat mengandung dengan penuh bahaya selama sembilan bulan dan kini aku pun merasakan jantung bunda dipenuhi dengan detak kecemasan akibat gempa yang telah menggoyang kotaku.

Di pelukan ibu, aku menangis. Meski bunda tak menangis, tetapi dari detak jantungnya, aku masih merasakan gelombang retakan tanah yang membekas di dada bunda. Dan aku yakin, besok kalau aku bertemu denganmu, kekasihku, aku yakin tak akan mampu bercerita gempa yang meluluh-lantakkan kotaku itu. Tetapi, kau bisa menangkap rekaman ketakutanku akan gempa yang melanda kotaku itu dari degup jantungku yang mendesah ketakutan, seperti kudengar degup gempa di jantung bunda!


/5/
DALAM perjalanan ke kotamu itu, kekasihku, aku sudah tak sabar lagi ingin memelukmu. Aku ingin mendengar ceritamu tentang gempa itu, meski dari degup jantungmu yang dicekam resah. Gelisah. Aku berjanji, akan kurekam detak gempa di jantungmu itu.

Tetapi dari bandara Kota Solo, aku masih harus menempuh perjalanan lagi ke kotamu. Belum lagi aku harus menelusuri perkampungan di wilayah Kabupaten Bantul sebelum sampai di kecamatanmu, Sanden. Kapan lagi aku dapat bertemu denganmu, kekasihku? Aku sudah tak kuat ingin memelukmu dan mendengar ceritamu tentang gempa meski dari degup jantungmu, karena aku yakin, kamu tak akan bisa menceritakan bencana yang telah melanda kotamu itu dari bibirmu yang gemetar, seperti saat pertama kali kau lumat bibirku yang basah itu. Aku masih ingat kala itu, kau hanya diam, mendesah resah!

Usai mendengar detak gempa di jantungmu itu, kelak aku akan menulis dalam secarik kertas sebab sepuluh tahun kemudian, jika anak-anak kita lahir dan mampu berbicara, aku yakin mereka akan bertanya kepadaku, "Ayah, ceritakan kepada kami tentang retakan tanah yang meluluh-lantakkan kota bunda!"

Kekasihku, apa yang harus aku ceritakan kepada anak-anak kita? Aku bingung, karena kamu yang merasakan amuk lempengan yang meletupkan gempa itu, bukan aku!

cerita untuk Novi, di Yogya
Jakarta, Juni 06

Tidak ada komentar: