cerpen ini dimuat di Inilah Koran, Minggu 8 Juli 2012
/1/
AKU tidak mengenal perempuan itu, kecuali hanya tahu sepenggal namanya. Justine. Sebuah nama yang melankolis. Tetapi, tak pernah kusangka jika pemilik nama itu ternyata seonggok tubuh perempuan yang menyimpan duka lara, juga kabut malam. Mirip jerit parade jugun ianfu di zaman pendudukan Jepang --yang harus menerima kutukan.
Lebih dari itu? Aku merasa tak pernah mengenalnya. Ia serupa hantu. Aku hanya mendengar jeritnya tapi tak pernah melihat wajahnya. Kami --aku dan dia-- tidak pernah bertemu. Tak pernah berpapasan di jalan. Apalagi jalan bareng berdua atau kencan. Aku hanya tahu, dia seorang perempuan yang terluka dari serak suaranya saat pertama kali menelponku di siang yang bolong.
Setelah satu tahun -sejak- ia menelpolku di siang bolong itu, yang tak pernah kuingat lagi, tiba-tiba kudengar sebuah kabar mengejutkan. Dia bunuh diri menelan sepuluh pil penenang yang membuatnya terkapar, tak berdaya. Empat orang satpam yang berjaga malam di sebuah taman rekreasi kemudian membawanya ke rumah sakit.
Semua orang mengira malam itu ia meninggal dunia. Tutup usia. Tapi diam-diam aku berharap kehidupan menghampirinya. Doaku tak terhalang langit. Ia masih diberi umur panjang. Aku mengelus dada mendengar ia bisa bernapas. Sayang, empat satpam yang sempat menolongnya dan seorang dokter yang menyelamatkannya tak pernah tahu alasan perempuan itu mengakhiri hidup, karena cintanya bertepuk sebelah tangan.
/2/
TAK kudengar lagi kabar perempuan malang itu, setelah dia bisa menghirup udara segar. Ia hilang bak ditelan bumi. Telepon kantor tak lagi berdering, tidak kudengar lagi suara seraknya di siang bolong seperti biasa. Aku pikir, ia sudah lupa dengan lelaki yang pernah dicintainya. Tapi, sebulan kemudian sebuah kabar mengejutkan segera menempelak telingaku, karena ia membuat geger di kantor. Perempuan itu rupanya mengirim sepucuk surat pada pimpinan kantorku, dan mengadukan kalau dia telah diperkosa oleh lelaki yang dicintainya. Ia mengaku telah dikhianati!
Serupa petir di siang bolong, lelaki yang dicintainya -jadi sopir- di kantorku, kemudian diskorsing. Kami semua, tak pernah tahu apa yang dilakukan keduanya karena lelaki itu tak pernah buka mulut. Dalam hati, kami diam-diam menuding lelaki itu serupa bajingan. Dan setelah sopir itu dijatuhi hukuman, tak ada surat lagi yang membuat geger. Tetapi, tak lama kemudian, pekak telepon kantorku kembali berdering.
Perempuan itu kembali menelponku di siang yang bolong, mengganggu deadline kerjaku yang tinggal hitungan jam terbengkalai.
/3/
DI SIANG yang bolong itu, ia meneleponku bukan untuk pertama kali. Sebelumnya, aku pernah menerima telepon darinya setelah lelaki yang dicintainya --sebelum ia menjalin cinta dengan sopir di kantor kami--, tak ada di tempat. Tapi jawabanku yang jujur ternyata tak membuatnya percaya.
"Pasti kau bohong!" tuduhnya.
Jelas, aku gundah. Kalau saja, perempuan itu di depanku, pasti dia sudah kutampar! Gagang telepon pun langsung kututup.
Dalam hati, aku membatin. Pantas saja, semua staf menghindar kalau ia menelpon ke kantor meski dengan alasan mau konsultasi. Tapi, entah kenapa esok harinya aku merasa kasihan, aku mau terima teleponnya kembali waktu lelaki yang dicintainya, tak ada di tempat. Selalu, selalu digelayuti kasihan tatkala aku membiarkannya merana. Tetapi rasa kasihanku, kelak ternyata kusadari jika aku justru dibohonginya dengan alasan sekadar mau konsultasi. Padahal, aku sudah terlanjur merelakan nomor hp-ku untuk dicatatnya, sehingga ia akan bisa leluasa menelponku bahkan menggangguku untuk mengungkapkan kekecewaan setelah ia dikhianati kekasihnya.
Tapi aku memang tidak mengenalnya, kecuali hanya sepenggal namanya. Bahkan sampai kini, aku tak pernah tahu siapa nama aslinya, bahkan di mana tempat tinggalnya. Ia seperti hantu. Suatu pagi meneleponku dengan nomor kartu mentari, esoknya bisa menelpon dengan kartu simpati. Habis meneleponku, ia membuangnya. Karena setelah itu aku tahu nomor yang kemarin dipakai, ternyata tak aktif lagi.
Ia tak pernah jujur, selalu mengelak saat kutanya tentang lelaki yang dia cintai. Tapi ketika dia dikhianati mantan kekasihnya, ia marah-marah kepadaku, seolah-olah aku merupakan tong sampang dari sebuah kekesalan. Juga, dia tak pernah jujur dalam semua hal. Aku dibuatnya seperti tidak mengenalnya meski hanya sekadar sepotong warna dari karakternya.
Pernah suatu hari, ia mengaku padaku memiliki sebuah rumah di komplek perumahan elit. Di hari lain ia mengaku pernah kerja di KJRI, dan akhirnya aku harus membencinya karena ia membuatku linglung setelah ia berjanji akan meminjamiku uang ternyata tak pernah ia tepati. Aku yang saat itu lagi butuh uang untuk biaya operasi ibuku, sudah berusaha menghubungi semua no. hp yang pernah ia berikan padaku. Tetapi semua nomornya tak aktif.
Sejak itu, aku membencinya setengah mati karena aku harus menerima tuduhan dari ibuku sebagai anak yang tak pernah berbakti pada orangtua.
Sekali lagi, aku harus membencinya karena ia tak pernah jujur.
/4/
IA tidak pernah jujur tatkala bercerita kepadaku tentang siapa laki-laki yang dia cintai. Tetapi, aku sebenarnya tahu siapa lelaki yang ia cintai. Tak sulit bagiku untuk tahu lantaran dia nyaris setiap hari menelepon ke kantor kami, mencari lelaki yang dia cintai, kemudian mengajaknya bercengkrama sampai berjam-jam. Pantas saja dering telepon kantor kami tak pernah sepi dari serak suara perempuan itu. Suara yang membahana kencang kadang menjadi bahan tertawaan antara kami yang sedang sibuk bekerja dikejar deadline.
Nyaris semua staff di kantor kami pernah menerima telepon darinya yang awal mulanya memang menanggapi keluhan perempuan itu yang ingin konsultasi. Tapi, lambat laun semua staf tidak mau lagi disibukkan urusan satu orang yang tidak jelas itu. Apalagi, dia sering menelpon hingga merepotkan dan alasan konsultasi. Padahal, dalih itu diketahui semua staf tak lebih sekadar alasan saja atau iseng belaka.
Tak heran, hampir semua staf di kantor kami menuduh perempuan itu mengidap gangguan jiwa. Lalu, beredarlah kabar miring bahwa perempuan itu sudah gila lantaran tak kuat menanggung depresi akibat kedua orangtuanya yang bercerai. Dan, karena bicaranya nyaris ngelantur, akhirnya tidak ada yang mau menerima telepon-nya lagi, kecuali seorang office boy yang menginap di kantor kami pada waktu semua staf kantor pulang ke rumah.
/5/
AKU tak pernah menghukum perempuan malang itu mengidap gangguan jiwa. Meski semua staf di kantor kami menuduhnya gila, tapi aku masih menaruh kasihan. Tapi, sejak dia kerap meneleponku dan aku rupanya telah ceroboh memberikan no hp-ku, kini aku ditikam rasa aneh. Apalagi dari cerita-cerita yang pernah aku dengar dari staf yang pernah jadi pujaan hatinya, aku tahu jika ia kerap menelpon kelewat batas, sampai berjam-jam. Tak peduli, tagihan rekening rumah orangtuanya harus melambung tinggi.
Awalnya, orangtua perempuan itu tidak tahu lonjakan tagihan telepon bisa membengkak sampai setinggi langit. Tetapi setelah diselidiki, kedua orangtuanya akhirnya tahu. Tak ada prolog untuk sebuah basa-basi murahan, telepon di rumah perempuan pun ditutup.
/6/
SETELAH kudengar kabar telepon di rumah orangtuanya ditutup, aku tak lagi mendengar dering telepon di kantor kami. Juga, dering hp-ku di pagi buta atau siang bolong untuk mendengarkan keluh kesahnya yang tidak ada habisnya. Aku kembali hidup tenang. Tidur di balik selimut tebal, lalu bangun siang.
Tapi tak lebih dari tiga bulan kemudian aku tiba-tiba mendengar kabar mengejutkan. Perempuan malang itu, kudengar menikah dengan lelaki yang bekerja sebagai office boy di kantor kami. Padahal, office boy di kantor kami itu sudah beristri dan punya tiga anak. Perempuan malang itu dijadikan istri kedua.
Semua staf kantor kami, tak henti-henti menggunjing karena perempuan malang itu dianggap tak waras. Aku hanya mengelus dada!
"Aneh! Bisa-bisanya, perempuan itu mau dinikahi office boy? Tak jadi soal, jika ia tak jadi istri kedua, tapi ini telah merusak rumah tangga orang!"
"Apa yang dicari perempuan gila itu? Dasar perempuan gatel!"
Aku menutup telinga. Tak kudengar gunjingan itu, tidak kudengar pula apa alasan perempuan malang itu mau dijadikan istri kedua.
Satu minggu gunjingan itu berlangsung. Selang itu, kantor kami kembali tenang. Semua staff sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk dan nyaris tak ada waktu untuk bercanda. Hingga dua bulan kemudian, berita tak sedap kembali kudengar, tatkala seorang pengurus masjid di dekat kantor kami tiba-tiba datang ke kantor dan ingin bertemu dengan Junaedi, office boy di kantor kami.
Semua staf kantor saling pandang, juga menebak-nebak tentang kabar apa yang akan dibawa oleh si pengurus masjid itu sampai-sampai ia mencari office boy di kantor kami. Junaedi, lelaki yang bekerja jadi office boy di kantor kami lalu keluar dari dapur, menyambutnya dengan ragu.
"Mohon Anda segera datang ke rumah sakit! Istri Anda sekarang dirawat di rumah sakit setelah pagi tadi mencoba melakukan bunuh diri di masjid!"
Deg! Jantungku berdegup, nyaris tidak percaya dengan apa yang kudengar. Kami hanya saling pandang, terperanjak kaget, tidak percaya jika perempuan itu nekat menelan beberapa butir pil penenang kembali untuk mengakhiri hidup.
/7/
Siang itu, semua staf di kantor mengira dia meninggal dunia. Tutup usia di usia muda. Tapi aku berdoa untuk terakhir kalinya. Apalagi di tengah kecemasan itu tersebar desas-desus suaminya yang jadi office boy kantor kami telah menceraikannya, setelah tak kuat menanggung kegilaan perempuan malang itu.
Doaku ternyata tak terhalang langit. Setelah aku sampai rumahku, sepulang dari kantor, aku mendapat kabar bahwa perempuan malang itu, ternyata masih diberi umur panjang. Aku mengelus dada. Semua orang tahu; alasan perempuan itu mengakhiri hidup, karena cintanya bertepuk sebelah tangan.
Justine, nama perempuan malang itu.
Aku tidak mengenalnya lebih jauh, kecuali hanya tahu sepenggal namanya. Sebuah nama yang melankolis.
Tapi tak kusangka jika pemilik nama itu seonggok tubuh perempuan yang memanggul kabut duka diselimuti kegelapan malam. Ia mirip serak jerit jugun ianfu di zaman pendudukan Jepang yang harus menerima sebuah kutukan hidup.***
Jakarta, 30 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar