Selasa, 01 Januari 2008

sepasang mata yang menyimpan duka

cerpen ini dimuat di Batam Pos, Minggu 15 april 2007

AKU tidak ingin tenggelam dalam linang air matamu. Sepasang mata yang setiap kali kutatap lekat-lekat, selalu kutemukan peta kesedihan yang mirip dasar sebuah sumur yang keruh. Ada genangan lumpur, bongkahan karang dan sorot matamu yang tajam menatap itu, ah seperti mengundangku untuk basah kuyup diguyur hujan.




Di luar, hujan memang turun dengan deras. Aku sungguh tak tega meninggalkanmu sendirian di sebuah rumah yang asing, karena aku (kamu juga tujuh teman yang lain) baru memasuki kampung itu seminggu lalu untuk sebuah penelitian. Petir menjerit. Aku pun mendekapmu. Demi air matamu yang mulai menitik.

Setelah hujan reda, aku sadar jika aku ini sungguh picik sebagai lelaki yang masih ingat akan dosa. Aku melepas dekapan, hangat tubuhmu sirna bersama tatapan matamu yang tajam. Aku tahu, kau tak rela ketika aku akan meninggalkanmu malam itu. Matamu terlihat pedih. Dan aku berdiri melangkah menuju pintu. Tetapi sebelum itu masih sempat kulihat matamu basah oleh air mata. Kutatap matamu, lagi-lagi kulihat ada gelap malam dan gelombang laut yang tak bertepi.

"Tidurlah di sini, setidaknya untuk semalam!"

"Tidak! Aku harus pergi. Orang sepertiku adalah pengembara yang tak punya tempat singgah".

"Ini tempat singgahmu! Aku nanti akan bercerita padamu tentang malam, bintang gemintang dan bulan purnama sebelum kau menemukan tidur yang nyenyak."

Aku diam, tak menjawab juga tak mengangguk. Aku pergi, seperti angin, hilang dalam gelap malam. Aku tak mau menoleh, tetapi cerita dan tatapan matamu yang sedih sungguh merajut malamku ketika perjalananku menempuh gunung di sebelah barat kampung yang kamu huni itu masih belum aku taklukkan. Ah, entah kapan, aku bisa jadi lelaki dewasa yang bisa memberi air untuk dahagamu. Kabut masih bertebaran bak selimut putih yang membuatku sejenak berteduh, dan lagi-lagi sepasang matamu yang terlihat pedih itu masih menghantui perjalananku.

Aku akhirnya kembali padamu saat fajar merekah.

***

AKU adalah lelaki terluka. Hanya ada dua pilihan tatkala aku beranjak dewasa; jadi pembunuh atau penolong. Ah, dua pilihan itu, kurasa tidak ada yang baik. Pernah aku jadi penolong untuk sebuah pertarungan dalam perjalananku melintas tepian hutan. Aku berjumpa dengan sekelompok lelaki bengis yang hendak memperkosa seorang gadis. Namun, ujung-ujungnya aku pun menjadi seorang pembunuh.

Masih kuingat peristiwa itu. Senja jatuh dari sela-sela pohon jati, kudengar sebuah jeritan. Aku tahu, itu jeritan perempuan terluka. Lalu, kuhentikan langkah kakiku. Kusibak dedaunan dan tepat saat mataku melihat sekelompok lelaki buas disanjung degup berahi, dengan lantang aku berteriak...

Sontak, mereka ?lima orang? terkejut, melihatku. Aku tantang mereka bertarung. Dengan nada mengejek kulontarkan tantangan, "Jangan hanya berani kepada seorang gadis kalau hanya ingin sekadar selangkangan!"

"Kau tak usah ikut campur, lelaki ingusan!"

"Hadapi aku atau kalian sama sekali tak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan."

Mereka mengeroyokku. Tetapi bukan aku, jika hanya menghadapi lima orang sekaligus, mati sekarat. Aku, terus terang saja adalah lelaki sakti yang hanya mati oleh tangisan perempuan. Jujur, itu kelemahanku. Untuk itu, aku hanya mengibaskan sebilah pedang ke udara, dalam sekejap mata, mereka sudah bergelimpangan di tanah, tak bernyawa.

Ujung pedangku meneteskan darah, menyiratkan sedih. Aku tahu gadis yang aku selamatkan itu melihatku dengan takjup. Matanya terkagum-kagum, juga menyiratkan rasa takut. Tapi saat mataku menemukan sayatan luka di tubuhnya, tiba-tiba aku ditimpali birahi.

"Kamu sudah aman, pulanglah!"

"Aku tak ingin pulang, aku ingin bersamamu."

"Aku pengelana, nanti kau menemui banyak derita."

"Tak apa! Aku sudah terbiasa menderita..."

Aku pun mengembara bersamanya melewati laut, gunung, samudra dan sungai. Tetapi, ketika suatu hari ia ditimpa sakit panas dan terpaksa harus kutinggal di sebuah kampung di tepian pantai dan aku terpaksa melanjutkan kembara, betapa terkejutnya diriku setelah tiga bulan menemuinya. Ia hamil. Demi langit dan bumi, aku tak pernah merabanya, apalagi menyetubuhinya. Jelas, dalam kandungan itu bukan anakku.

Tak perlu alasan untuk ajalnya, saat malam tiba, aku membunuhnya. Terus terang, demi luka di hatiku sebab ada goresan yang tak mungkin bisa diobati sampai kapan pun. Kenanganku bersamanya hanya menjadikan hidupku sia-sia jika aku tidak membunuh sesamanya. Dan, sejak itu aku jadi seorang pembunuh. Jika tak salah hitunganku, sudah 98 gadis yang kubunuh semata-mata karena aku tak ingin peristiwa tragis itu menyanyat hatiku.

Hingga pengembaraanku demi sebuah kematian, aku berjumpa denganmu di sebuah kampung terpencil. Lewat suatu perkenalan yang tak istimewa untuk sebuah persabahatan, apalagi saat pertama kali kau menatapku, sepasang matamu sudah menghukumku. Dan akupun berikrar dalam hati; sejak saat itu aku berencana akan membunuhmu.

Tetapi setiap kali aku mau membunuhmu, entah kenapa sepasang matamu selalu mencegahku. Aku, akhirnya menunggu saat yang tepat untuk membunuhmu. Sepasang bola matamu itu akan kutunggu sampai tak membuatku basah kuyup sehingga aku bisa leluasa membunuhmu, sebagai mangsaku yang ke 99 dari perempuan yang pernah aku kenal dengan baik.

***

SUNGGUH, aku tidak ingin tenggelam dalam linang air matamu. Sudah cukup, aku terganggu dengan bayangan bola matamu yang keruh setiap kali kita habis bercengkrama. Aku selalu tidak betah menatapmu sekadar membaca kesedihan yang tertampung di matamu. Selalu kutemukan masa lalu yang sudah kukubur dalam rajutan waktu. Jika kemudian malam-malamku mirip malam-malammu yang tanpa gemintang, aku hanya bisa tertegun dan termangu, gematar saat aku harus mendengar kisah sedihmu.

Aku tidak ingin mengenalmu lebih jauh. Untuk itu, aku memilih pergi untuk sementara waktu. Tetapi, karena aku tahu tanggung jawabku sebagai anggota kelompok yang punya kewajiban memberi penyuluhan kepada warga kampung, aku pun kembali padamu. Aku harus kembali ke kampung itu untuk menemuimu dan bekerja membangun jembatan, membuat batu bata, membuat kolam lele dan mencakul di ladang. Meski ada juga tugas yang menurutku sungguh munafik untuk aku lakukan, memberi ceramah sehabis shalat maghrib.

Demi tugas itu, aku terus kembali ke kampung itu dan menemuimu. Juga mendengar ceritamu dan akhirnya mendakapmu ketika hujan turun lebat dan air matamu mulai menetes di pipi. Jelas sekali, kulihat gemuruh di sudut matamu yang tak akan mampu kauhapuskan. Lentik bulu tipis di atas matamu itu bak rerumputan kering dan di kelopak matamu yang bulat itu adalah cermin yang mengabariku akan sebuah petaka.

Petaka itulah yang membuatku selalu pergi ketika malam telah merajut gelap langit, dan aku kembali begitu fajar menyingsing. Lalu, saat mentari bersinar dari pohon-pohon jati di sebelah timur, aku mulai bekerja setelah meneguk secangkir teh manis buatanmu.

Sungguh aneh, lambat laut aku justru kasihan padamu. Perhatian yang kutumpahkan padamu setiap kali aku ke kampung itu, bisa berwujud aku bawakan oleh-oleh untukmu. Meski aku pengembara yang tak terikat apapun tapi aku sungguh sulit meninggalkanmu begitu saja saat ceritamu semakin seru. Kisah yang selalu membuatku seperti anak kecil yang haus kasih sayang dan aku membayangkan semua itu seperti masa kecilku, pada saat-saat ibuku bercerita untuk menghantarkanku tidur.

Entah kenapa, aku akhirnya terbius ceritamu. Kau mungkin pencerita ulung yang membuatku terkesima. Setidak-tidaknya, kamu selalu membuatku kembali, meski dalam perjalanan, aku dirundung capek. Tapi ada semacam kerinduan, meski aku harus dihajar derai tangismu ?dari sorot matamu yang sedih itu? setelah aku bertemu denganmu kembali.

***

KAMU itu adalah perempuan terluka, yang kebetulan aku kenal. Setidaknya, itulah penilaianku tentangmu. Entah kenapa saat angin malam berhembus dan aku haus darah ingin membunuh perempuan yang sudah kukenal, kau justru memulai sebuah cerita. Aku hanyut dalam linang air matamu. Sepasang mata yang setiap kali aku tatap lekat-lekat, selalu mencegahku untuk membunuh. Karena itu, aku selalu urung membunuhmu.

Terus terang, aku kasihan padamu. Sorot matamu yang sedih itu, membuatku menunggu saat yang tepat. Sudah banyak perempuan yang kubunuh. Tetapi aku tidak bisa berbuat seperti itu padamu. Aku seperti mati di pelukanmu dan selalu lupa akan niatku; kalau sejak awal aku akan membunuhmu.

Kurasa, dua bulan hidup bersamamu di sebuah kampung terpencil bersama tujuh teman, sudah cukup membuatku dewasa sebagai lelaki. Ceritamu telah menghantarkanku punya perhatian pada setiap perempuan dan kau juga telah mengajariku bagaimana cara bercinta yang dahsyat.

Tetapi, aku adalah pengembara yang harus pergi dan tak terikat pada apa pun, tak terkecuali padamu. Untuk itu, saat tugasku selesai, kutinggalkan kampung itu untuk selamanya, aku pun berpisah denganmu setelah bercinta ?di bawah bulan purnama. Lalu, aku pergi jauh. Tak jadi membunuhmu. Itu sepenuhnya, karena aku banyak berhutang padamu, ceritamu dan sorot matamu yang sepenuhnya sorot mataku sendiri sepuluh tahun yang lalu.

***

TETAPI selang satu tahun sejak berpisah itu, kami bertemu kembali di sebuah

Aku tatap matamu, kamu masih terus menceracau dengan cerita sedihmu seperti dahulu. Akan tetapi, aku sudah tidak lagi menemukan sorot matamu yang kelabu. Sudah tak ada batu karang, lumpur dan keruh sebuah dasar sumur yang membuatku sedih. Kau tampak sudah berubah.

Ketika kapalmu akan berlayar dan kita akan berpisah, sekelebat camar menyibak duka; kamu bercerita sudah memiliki kekasih dan sebulan lagi mau melangsungkan pernikahan. Betapa terkejutnya aku. Di sudut mataku, keruh dengan kabar itu. Aku kecewa. Hampa. Kosong, tapi sepenuhnya tak basah kuyup oleh dukaku sendiri seperti sepuluh tahun yang lalu.

Rasanya, aku Ingin membunuhmu. Setidaknya, karena kamu telah mengobarkan obor duka di mataku. Sepasang mataku tiba-tiba sedih akibat rencana pernikahanmu yang akan membuatku terlunta. Tapi entah kenapa, aku lagi-lagi tak tega menyibakkan pedangku di lehermu. Aku rasa, mungkin karena kamu telah membekaliku pelajaran bercinta, menebar simpati pada perempuan dan membuatku sebagai lelaki kembali ?secara psikologis akibat ceritamu yang tidak kusadari telah menjadi obat lukaku yang pernah aku kira tak ada obatnya.

Ketika kapal berlayar meninggalkan pelabuhan membawamu ke seberang pulau, aku menatap layar yang mengembang diterpa angin. Kapal semakin menjauh, dan aku tahu kalau mataku mulai nanar oleh air mata. Juga aku tahu, ternyata sepasang mataku menatap kepergianmu dengan sedih.***

Yogya, 2003

1 komentar:

Fitria Zulfa mengatakan...

Hiks..hiks...
aku ikut nangis deh...
Sang pembunuh itu akhirnya...
patah hati...
wkakakakak...:-p