Jumat, 06 Juli 2012

Menggugat "Komitmen Moral" Calon Gubernur

opini ini dimuat di Jurnal Nasional Jumat 6 Juli 2012

PILKADA DKI Jakarta sudah di depan mata. Rencana, pesta demokrasi itu akan digelar 11 Juli depan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta telah menetapkan enam pasangan kandidat. Beda dengan Pilkada DKI Jakarta 2007, pilkada kali ini istimewa lantaran dimeriahkan tampilnya calon independen Faisal Basri-Biem Benjamien dan Hendardji Soepandji-Achmad Riza Patria. Ini sejarah baru dalam Pesta Demokrasi DKI.

Selain itu, dalam pesta demokrasi DKI ini yang turun laga adalah pasangan cagub/cawagub berbobot dan berkualitas. Wajar, jika dalam perebutan suara nanti dapat dikata sengit--karena dipastikan akan melewati dua putaran. Siapa yang akan terpilih sebagai "nahkoda" kapal DKI Jakarta? Waktu yang akan menjawab.

Dari enam cagub yang siap berkompetisi dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, ada "dua cagub" yang menyisakan tanda tanya, yakni terkait majunya Alex Noerdin dan Jokowi. Sebab, kedua calon itu ditengarai melanggar etika politik--keduanya masih memiliki tanggung jawab untuk masa tugas yang harus diemban karena belum berakhir. Sebab Alex Nordin sekarang masih sebagai Gubernur Sumatra Selatan, sedangkan Jokowi masih tercatat sebagai Walikota Solo.

Melanggar Etika
Kesediaan Jokowi dan Alex untuk maju menjadi gubernur DKI Jakarta tentu patut dipertanyakan. Karena, kedua calon guburnur ini secara tidak sadar telah melanggar komitmen moral yang selama ini harus dipegang dengan teguh dan penuh tanggung jawab. Apalagi, kedua calon gubernur itu tak lain dan tidak bukan adalah dua pemimpin dan putra terbaik bangsa. Tetapi, hal itu tampaknya dikesampingkan.

Demi kekuasaan di Ibu Kota, Alex Noerdin rela meninggalkan jabaran sebagai gubernur di Sumatra Selatan. Padahal, masa jabatan sebagai Gubernur Sumsel itu hingga tahun 2013. Demikian juga Jokowi. Bahkan, masa jabatan JokoWi lebih lama lagi. Jabatan sebagai Wali Kota Solo itu akan berakhir tahun 2015. Padahal, baik Jokowi maupun Alex Noerdin, sudah mengikatkan diri untuk memimpin selama lima tahun di Kota Solo dan Sumatra Selatan.

Namun, di tengah jalan, kedua pemimpin itu sudah tinggal glandang demi kekuasaan di daerah lain. Tidak salah, jika masalah itu kemudian menimbulkan polemik. Meski kepergian Jokowi dan Alex Noerdin untuk mengadu nasib untuk Kota Jakarta tak melanggar aturan (secara yuridis/hukum), tetapi dengan niat melenggang pergi dari jabatan yang harus diselesaikan hingga masa jabatan berakhir, tetap meninggalkan sekelumit perdebatan terkait dengan etika dan komitmen moral yang mau tidak mau harus dipertanggungjawabkan.

Secara hukum, memang tidak ada yang dilanggar Jokowi maupun Alex Noerdin. Sebab hal itu tidak dilarang undang-undang. Awalnya, memang ada aturan yang dimuat dalam UU No 32 Tahun 2012 tentang Pemerintahan Daerah yang mengharuskan seorang kepala daerah mundur kalau mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah lain. Tapi aturan itu telah dibatalkan oleh putusan MK. Kekuatan putusan MK inilah yang menjadi "batu pijakan" bagi Jokowi maupun Alex Noerdin. Mereka seolah tidak memiliki dosa politik ketika maju sebagai cagub DKI Jakarta--bahkan tanpa perlu harus mundur dari jabatannya sekarang.

Secara moral dan etika politik, kedua pemimpin itu bisa dinilai telah mengkhianti konstituen atau pemilih di Solo maupun di Sumatra Selatan. Sebab, konstituen atau pemilih kedua pemimpin itu (baik di Solo maupun di Sumatra Selatan) telah mempercayakan kedua pemimpin itu untuk menjabat selama lima tahun. Jadi, dalam konteks ini, ada unsur-unsur "pencideraan" terhadap hak warga yang dilakukan oleh Jokowi dan Alex.

Aturan yang Tegas
Niat Alex Noerdin dan Jokowi untuk pindah menjadi nahkoda di daerah lain, bagi warga setempat di mana kedua pemimpin itu menjabat, bisa jadi serupa dua sisi mata uang. Pada satu pihak, pasti ada yang bangga karena menilai kedua pemimpin itu--di mata warganya--dianggap telah mengukir prestasi sehingga dicalonkan bahkan dipercaya oleh partai politik untuk menjadi calon gubernur di DKI Jakarta yang merupakan miniatur Indonesia. Tetapi, di lain pihak, tetap ada yang kecewa lantaran merasa ditinggal pergi merantau atau mengadu nasib di daerah lain.

Terkait majunya Jokowi dan Alex Noerdin inilah, setidaknya ada beberapa hal yang patut dijadikan poin penting atau catatan bagi pembenahan hukum pada masa yang akan datang. Pertama, bagi warga yang ditinggal pergi oleh Jokowi dan Alex Noerdin, tentu di sini ada hak warga yang diciderai. Sementara, bagi warga yang ingin protes karena merasa dikecewakan, tidak tersedia "payung hukum" untuk menuntut hak-hak mereka itu, meski telah diciderai. Maka, polemik majunya Alex maupun Jokowi ini diharapkan bisa menjadi semacam masukan untuk perubahan aturan hukum ke depan nanti.

Sebab, jika tidak diatur dengan aturan hukum yang tegas, tentu hak warga tidak terlindungi. Tak berlebihan jika ke depan nanti dapat dibuat aturan yang meneguhkan bahwa periodisasi kepemimpinan kepala daerah harus dipegang dengan "amanah" hingga selesai, kecuali jika dalam keadaan sakit parah sehingga tidak mampu menjalankan jabatan (sebagaimana mestinya), atau karena meninggal. Dengan begitu, akan ada perlindungan bagi warga sehingga pemilih tidak gampang ditinggal pergi oleh pemimpinnya hanya semata-mata karena ingin meraih kekuasaan di daerah lain.

Kedua, soal surat izin. Padahal, secara hukum kepala daerah yang meninggalkan jabatan (apalagi kalau kemudian menjadi gubernur di daerah lain) harus mendapatkan restu dari DPRD dan mendagri. Pada aras ini, akan dapat menimbulkan masalah rumit bahkan pelik kelak di kemudian hari andai Alex Noerdin atau Jokowi ternyata terpilih jadi gubernur DKI. Sebab, baik Jokowi dan Alex Noerdin belum mengantongi surat izin dari DPRD dan Mendagri.

Karena itu, kalau kelak salah satu dari Jokowi atau Alex Noerdin terpilih, bisa terbuka peluang terjadinya perdebatan yang sengit secara konstitusional. Dan perdebatan itu akan runyam dan pelik, ketika DPRD dan Mendagri tidak memberikan surat izin atau memberikan restu. Tentu, baik Jokowi maupun Alex, tidak akan bisa dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta. Bahkan, Pilkada DKI Jakarta bisa diulang atau dibatalkan.

*) N Mursidi, Peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: