Minggu, 24 Februari 2008

perempuan yang memukul punggungku

cerpen ini dimuat di Jakarta Post Minggu, 24 Feb 2008 (dalam versi Indonesia)

LAGI-LAGI ia datang tak pernah kuduga. Ia datang bersama gerimis yang turun menggigilkan kaca jendelaku, mengakibatkan resah rintik hujan membasahi ujung sprei kamar tidurku. Aku menutup jendela, lalu berlari ke pintu depan. Nyaris aku tak melihatnya, kalau saja gelegar petir tidak membuatku terhenyak kaget. Aku tertegun, ketika melihat sesosok tubuh basah kuyup di pintu pagar. Ia berdiri bersidekap, diguyur gerimis.

"Hei, mengapa kamu diam di situ?" Aku berteriak memanggilnya. Guyuran gerimis di senja itu telah membuat tubuhnya basah.

"Kamu itu tolol! Tentu saja aku tidak bisa masuk selama pintu pagarmu ini masih kamu kunci!"

Aku lupa, jika pintu pagarku terkunci. Lebih tepat, aku telah sengaja menguncinya, lantaran tak ingin diganggu siapa pun, juga oleh perempuan yang kini basah kuyup di pintu pagar, karena sejak pagi tadi aku mengurung diri di dalam kamar untuk melukis.

Kulihat ia menggigil.

Aku segera menghambur ke halaman. Setitik air, tergelincir dari ujung rambutnya, menetes tepat di dadanya. Aku menelan air liurku, sebentuk kabut menutupi apa yang kulihat, apa yang kubayangkan ketika kubuka pintu pagar. Ia mengumpatku. Aku hanya membisu karena merasa bersalah telah membuatnya basah, lalu cepat-cepat berlari ke rumah.

Ia mengikutiku di belakang, mendedahkan resah gerimis yang melekat di baju ketika jenjang kakinya menginjak tangga beranda. Butir-butir air menetes dari bajunya, membasahi lantai.

"Sebentar aku ambilkan baju agar kau tak masuk angin!" pesanku seraya masuk kamar.

"Aku tadi tidak punya niatan ke sini, gerimislah yang membuatku harus berteduh dan mampir," ia berkata untuk meneguhkan raut mukaku yang kusam saat aku membawakan pakaian dan handuk. Ia selalu punya seribu alasan untuk mampir ke rumahku, dan aku selalu tak punya satu alasan untuk menolak kedatangannya. Ia datang seperti gerimis, tanpa pernah aku duga.

Ia mengambil pakaian serta handuk dari tanganku, sekelebat berikutnya ia melangkah ke kamar untuk mengganti baju, kemudian menjemur pakaiannya yang basah di tempat jemuran. Sementara aku, menyeduhkan teh manis --menghidangkan di beranda.

Ia muncul dari balik pintu, mengeringkan rambut panjangnya yang basah dengan handuk, seraya berjalan ke beranda. Aku melihat sesuatu yang menyembul dari balik bajunya. Jantungku berdebar gigil, dalam dingin.

Gerimis telah reda, ketika ia duduk di sebelahku. Aku menatap matanya yang coklat, seperti kerak dinding gua yang membuatku merinding takut. Dengan rambutnya yang basah itu, aku memandangnya. Diam. Tidak suka saat aku menatap matanya, ia melempar handuk ke mukaku. Aku berdiri, ingin menubruknya.

Tapi seorang pengemis yang sedang berdiri di pintu rumahku, tiba-tiba mengejutkanku, "Pak, minta sedekah...!"

Aku tidak jadi menubruknya. Aku melangkah ke pintu pagar, mengulurkan uang recehan. Lalu, aku kembali ke beranda lagi tetapi belum sempurna tubuhku berbalik, sebuah pukulan telah menghunjam di punggungku. Aku terkejut. Kaget. Dadaku sesak dan mataku berkunang-kunang. Aku nyaris roboh. Di selangkangan, ada salah satu ototku seperti bergetar ganjil. Samar-samar, kulihat sekelebat bayangannya di belakangku. Aku berusaha menangkapnya. Tetapi lepas.

Aku mengejarnya, untuk membalaskan marah. Tapi, akhirnya tak jadi. Ia keburu menumpahkan tangis. Setengah memaksa ia memintaku meminum teh yang aku suguhkan. Aku meminumnya, ingin tahu apa yang ia rasakan. Seteguk air teh itu ternyata membuatku linglung. Aku merasakan, teh yang kusuguhkan itu asin.

"Maaf, rupanya aku tadi salah mengambil garam! Ok, kubuatkan lagi teh untukmu!"

"Tak usah!!" isak tangisnya masih pecah, "Ambilkan segelas air putih, jika kau tak keberatan!"

Kuambilkan segelas air putih. Juga tissue. Ia meminumnya lalu menyeka air matanya yang tumpah. Kulihat mukanya merah. Tubuhku seakan terbakar. Aku julurkan tanganku menyentuh wajahnya menghapus tetes air mata yang luput dari goresan tissue. Tubuhku panas, basah oleh keringat. Lalu kutuntun ia memasuki kamar. Dingin di senja itu, masih menggigilkan tubuhnya. Aku tahu apa yang ia inginkan. Ia pun tahu apa yang kubutuhkan seperti di senja yang lalu dan kami seringkali bercinta dalam gigil gerimis.

***

LAGI-LAGI, ia datang tak pernah kuduga.

Seperti gerimis yang turun tiba-tiba. Juga, ketika dia datang pertama kali di suatu petang. Langit belum turun gerimis ketika ia bersama kekasihnya datang ke rumahku, membuatku terhenyak kaget. Ia datang ke rumahku, memintaku untuk melukis potretnya.

Aku sudah lama tak melukis. Karena itu, aku berusaha menolak. Tapi ia memaksaku. Katanya, ia tahu dari beberapa kawanku yang bercerita padanya jika aku ini seorang pelukis.

Gerimis turun, dan aku merasa konyol, karena begitu saja menyanggupi pesanannya. Aku tak tahu kenapa aku menyanggupi permintaannya. Tetapi, entah kenapa, aku merasa yakin kalau aku akan mendapatkan obat sepiku. Apa salahku menerima pesanan itu? Akhirnya, aku memberinya tenggat waktu seminggu. Seusai gerimis reda, ia dan kekasihnya pulang. Di wajahnya, aku lihat selaksa bening embun yang membuatku tertegun.

Aku hanya seorang pelukis yang sudah setahun ditinggal pergi istriku, dan kini seorang diri menghuni rumah besarku yang angkuh. Aku sungguh merana karena sejak kepergian istriku itu aku tak punya kekuatan untuk melukis lagi. Kepergian istriku seakan membuat lengang hari-hariku. Aku diterpa sepi. Lebih tragis, aku sering melamun untuk menunggu keajaiban yang mampu mengembalikan kekuatanku. Dan, perempuan itu seperti membawaku kembali ke masa laluku yang menentramkan.

Kesepian yang kerap melanda hidupku, setelah istriku memilih menikah dengan lelaki lain, membuatku kerap menghabiskan hari-hari yang menjengkelkan di rumah. Aku jarang pergi. Sepanjang hari, aku selalu menantikan kedatangan istriku di ujung senja. Aku yakin, ia tidak mungkin kembali. Tapi, aku selalu menunggu kedatangan istriku seperti menunggu matahari yang tenggelam di ufuk barat. Kedatangan perempuan itu bersama kekasihnya, memintaku untuk melukis, seperti mengobati kesepianku yang menanti kedatangan istriku dengan sia-sia. Alasan itulah yang membuatku menerima permintaannya untuk melukis lagi.

Meski aku sudah lama tak melukis, entah kenapa saat melukis perempuan itu, aku seperti dituntun kekuatan gaib. Aku seakan punya tangan cekatan yang lihai menorehkan kuasku di atas kanvas. Aku tidak bimbang mengenali komposisi warna. Tidak sampai tiga hari, lukisan perempuan itu rampung nyaris mendekati sempurna. Tenggat waktu yang aku janjikan pun tiba. Seminggu tepat, perempuan itu datang di suatu senja yang tua, bersama gerimis yang datang tanpa pernah kuduga.

"Ke mana kekasihmu?" tanyaku seraya memintanya duduk di beranda.

"Kekasihku pergi ke kota seberang untuk tugas baru. Aku ke sini tidak ingin mengambil lukisan melainkan hanya memastikan apa lukisan itu sudah jadi atau ..."

"Kamu bisa melihat sendiri di kamar kerjaku! Jika merasa kurang puas, tentu aku bisa melukis ulang," potongku, memintanya segera ke ruang kerjaku.

"Tidak salah apa yang dikatakan orang, kau pelukis berbakat," pujinya sewaktu masuk ruang kerjaku setelah melihat lukisan yang ia pesan.

Aku mengangguk. Entah kenapa pujian itu membuatku bisu.

Aku persilahkan ia melihat-lihat lukisanku, sementara aku beranjak ke dapur untuk membuatkan teh. Sekembaliku dari dapur, aku mencarinya. Sekelebat kulihat sosoknya ada di ruang koleksi lukisanku. Ia berdiri mematung, menatap sebuah lukisan.

"Kau tertarik dengan lukisan itu?" kataku membuatnya kaget karena aku tiba-tiba muncul di belakangnya. "Jika kau tertarik, kau bisa membawa lukisan itu pulang..."

Ia hanya diam menatap lukisan itu, lukisan telanjang istriku yang aku buat tepat di malam pertama pernikahan kami. Aku masih ingat, di tengah malam pernikahan kami, setelah malam menjadi sepi lantas istriku dibakar gelora api cinta, justru aku melihat tubuh istriku perlu kuabadikan dalam sebuah lukisan sampai-sampai aku tak tertarik bercinta, melainkan lebih tertarik melukisnya. Istriku melongo ketika aku beranjak bangun, lantas menerangi tubuhnya dengan sorot lampu. Anehnya, istriku hanya diam termangu, saat aku melukisnya selama dua jam.

Setelah itu, kututupi tubuhnya dengan selimut. Di balik selimut, kami berdua akhirnya bercinta pada malam pertama dalam temaram lilin yang memilin.

Ia masih termangu, melihat setiap detail tubuh istriku dalam lukisan. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Aku hanya ternganga, hampir tak percaya saat ia tiba-tiba menantang, "Bagaimana jika aku minta kamu melukisku telanjang?" mintanya seraya melangkah ke ranjang.

Sejurus kemudian ia menanggalkan bajunya. Jakunku tercekat. Tak ingin kegugupanku terlihat olehnya, aku segera mengambil kuas. Sesekali, aku perlu berhenti sekadar memandangi setiap lekuk tubuhnya.

Maklum, aku belum pernah melukis perempuan telanjang selain istriku. Dan aku tahu, selama aku melukis, perlahan di balik selangkanganku, kurasakan geliat aneh yang membuatku menjadi laki-laki kembali setelah satu tahun yang lalu, istriku pergi meninggalkanku.

Dua jam berikutnya, pekerjaan melukisku selesai. Aku tak menyangka ia tiba-tiba menutup tirai jendela. Selanjutnya, aku tidak ingat lagi siapa yang memulai. Ia melumatku dalam kehangatan senja. Dan sejak senja itu, hari-hari sepiku diwarnai gerimis yang membuatku tak lagi sepi. Ia datang ke rumahku di senja hari, tanpa ada alasan yang mampu membuatku bisa menolaknya. Ia datang dengan menggedor pintuku dan aku selalu menuntaskan kebuntuanku melukis tanpa ada kesulitan, setelah bercinta.

Hingga gerimis di senja itu, ia memukul punggungku dari belakang.

***

LAGI-LAGI, sudah menjadi satu kebiasaan kami kalau sehabis bertengkar selalu menuntaskan sengketa dengan bercinta. Tapi di senja itu, aku tak tahu, kenapa aku tiba-tiba terkulai lemas.

Ia menghempaskan tubuhku, cepat-cepat mengenakan pakaian, berjalan ke arah pintu lalu pergi dengan beringas. Dari balik punggungnya, kulihat kulit halus perempuan itu dipenuhi gambar tato kupu-kupu. Sekelebat, satu kupu-kupu terbang dari balik punggungnya melewati jendela lalu terbang ke taman samping rumahku. Aku diam termangu, memandangi kupu-kupu itu pergi, mengepakkan sayap ke cakrawala.

Dan sejak itu, aku tak lagi menemukan senja yang menghangatkan.

Cibubur, 2006-2008

Tidak ada komentar: