Sabtu, 12 April 2014

Golput dalam Pemilu 2014

opini ini dimuat di Bisnis Indonesia Sabtu, 12 April 2014

PEMILU legislatif (yang digelar 9 April 2014) telah usai. Meski, KPU (Komisi Pemilihan Umum) belum resmi mengumumkan hasil akhir perhitungan suara pemilu 2014, dari beberapa hasil hitung cepat bisa dipastikan PDIP menang. Pasalnya, dari hasil hitung cepat beberapa lembaga survey tidak jauh berbeda. Quick qount yang dirilis Cyrus-CSIS (Kamis 10/4/14) menempatkan PDIP pada posisi atas --di antara 12 partai politik peserta pemilu yang lain-- dengan mendulang suara 18,90 persen, disusul Partai Golkar 14,30 persen, dan Partai Gerindra 11,80 persen.


Partai Demokrat yang dalam pemilu 2009 menduduki peringkat atas, ternyata mengalami "terjun bebas" --hanya mendulang suara sekitar 9,70 persen. Peningkatan dratis diduduki PKB yang menempati peringkat lima dengan perolehan suara 9,20 persen, disusul PAN 7,50 persen, PKS dan Nasdem 6,90 persen, PPP 6,70 persen, dan Hanura 5,40 persen. Adapun PBB mendapat suara 1,60 persen dan PKPI 1,20 persen.

Peta politik hasil perhitungan sementara pemilu legislatif 2014 ini memang bisa dipastikan akan mengubah "masa depan" bangsa. Sebab, PDIP (pada pemilu 2009 menduduki peringkat ketiga dengan suara 14.45%) telah berhasil menggeser posisi Partai Demokrat (dalam pemilu 2009 meraih posisi atas dengan perolehan suara 20.85%). Tapi terlepas dari pergesaran perolehan suara yang mempengaruhi peta politik itu, ada satu hal yang kerap dilupakan; angka golput masih tinggi dalam pemilu 2014.

Angka Golput Selalu Tinggi
Setiap kali pemilu digelar, angka atau tingkat pertisipasi masyarakat yang abstain atau kerap disebut "golput" selalu pada kisaran angka yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam pemilu 2014 ini, angka golput masih tetap tinggi. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memperkirakan angka golput pada pemilu kali ini mencapai sekitar 34,02 persen. Jadi dengan angka 34,02 persen itu, golput sebenarnya bisa diklaim sebagai pemenang pemilu 2014 ini.

Angka golput yang tetap tinggi dalam setiap episode pemilu, memang bukan hal yang baru. Bahkan, dalam setiap episode Pemilu, angka golput secara rata-rata bisa dikata selalu meningkat. Dalam pemilu 1971, misalnya, golput mencapai 6.64 persen, pemilu 1977 pada kisaran 8.40 persen, pemilu 1982 naik menjadi 8.53 persen, pada pemilu 1987 turun menjadi 8.39%. Tapi, pada pemilu 1992 naik signifikan menjadi 9.09 persen, pemilu  1997  menjadi 9.42 persen, pemilu 1999 mencapai 10.21 persen, pemilu 2004 naik drastis menjadi 23.34 persen dan pada pemilu 2009 naik lebih tinggi menjadi 39.1 persen.

Jika dalam pemilu 2014 ini, angka golput diprediksi mencapai 34,02 persen, secara umum golput selalu meningkat. Meski pada pemilu tahun ini prosentasenya jauh di bawah pemilu tahun 2009, tetap saja angka golput menduduki posisi selalu "tinggi" -bahkan dalam tiga episode pemilu terakhir (2004, 2009 dan 2014). Tingkat partipasi masyarakat yang rendah dalam menggunakan hak suaranya, atau lebih memilih abstain (golput) dalam setiap pemilu pada era reformasi (sejak 1999 kemudian 2004, 2009, dan 2014 lantaran prosentase golput tinggi), tentu menimbulkan pertanyaan kritis: kenapa pada "era reformasi" justru angka golput bisa jauh lebih tinggi dibandingkan pada masa Orde Baru?

Ada satu catatan yang bisa dijadikan alasan. Era reformasi yang awalnya memberikan angin segar perubahan ternyata tak bisa memenuhi harapan itu pada tahun-tahun selanjutnya. Hal itu bisa dilihat dari angka golput pada pemilu 1999; 10.21 persen kemudian meningkat menjadi 23.34 persen (pemilu 2004) dan meningkat lagi lebih tinggi menjadi 39.1 persen (pemilu 2009). Jadi sebagian besar orang yang memilih golput berasalan pemilu bahkan pada era reformasi sekali pun tidak membawa perubahan.

Mengikis Golput
Satu hal yang perlu dicatat bahwa angka golput yang "tinggi" bukanlah semata-mata karena apatisme masyarakat. Karena, ada beberapa faktor yang "berkelit kelindan" dalam setiap pemilu yang membuat prosentase golput tetap tinggi. Pertama, teknis atau mekanisme pemilu. Golput tinggi bisa dikata tak hanya saja karena masyarakat apatis, tetapi Pemerintah yang diwakili KPU sebegai penyenggara pemilu, secara tak langsung kerap membungkam hak suara rakyat untuk bisa memilih. Tak sedikit rakyat yang kehilangan hak suara semata-mata karena tidak terdaftar dalam DPT.

Kedua, tak bisa disangkal jika faktor paling signifikan mendulang angka golput tinggi adalah sikap apatis masyarakat. Apalagi, sepuluh tahun ini elite partai politik dan anggota dewan yang duduk di senayan tidak banyak memberikan "teladan" dan mewakili aspirasi rakyat, tetapi lebih mementingkan golongan, partai, dan politik dagang sapi. Ujungnya, rakyat seperti muak, karena rakyat seperti dianggap/diperlukan saat menjelang pemilu tapi saat berkuasa dan duduk di senayan lupa dengan janjinya. Akumulasi kemuakan itu yang menjadikan orang apastis ikut pemilu. Kalangan ini kemudian lebih memilih bekerja daripada libur atau keluar rumah untuk mencoblos.

Ketiga, sumbangan angka golput bisa tinggi ditopang pula oleh kelompok golput idelogis. Kelompok ini justru diwakili kalangan terdidik atau orang-orang yang "melek" politik. Tetapi, karena kemelekan mereka pada politik itulah yang menjadikan mereka justru memutuskan untuk golput. Jadi, mereka golput karena mereka tahu apa yang harus dipilih; yakni golput.

Sebenarnya, angka golput bisa diminimalisir --paling tidak bisa berkurang. Sayang, pemilu yang selalu diselenggarakan setiap lima tahun sekali itu tidak dijadikan pengalaman dan pembelajaran yang "signifikan" dalam membuat sistem dan mekanisme pemilu yang baik untuk bisa meminimalisir golput. Justru, yang terjadi adanya upaya menjadikan pemilu bisa dimanipulasi untuk dimenangkan partai politik tertentu dengan penetapan DPT yang simpang siur. Ironisnya, hal itu masih ditambah lagi "bergulir wacana hukuman" penjara bagi golput dan fatwa haram bagi golput --yang ternyata tidak memberikan efek dapat menurunkan angka golput turun drastis.

Jadi, untuk mengikis golput setidaknya pemerintah ke depan menetapkan mekanisme yang bisa mewadahi semua rakyat ikut berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, hal penting lagi; elite partai memberikan teladan dan bisa menjadi aspirasi rakyat yang benar-benar mewakili segala keluh kesah di tengah masyarakat. Sebab, sebagian besar rakyat sekarang ini sudah kehilangan kepercayaan terhadap anggota dewan dan elite partai --karena tingkat korupsi tinggi, tidak betul-betul memperjuangkan rakyat, adanya skandal seks dan segala degradasi moral yang lain. Tanpa mempertimbangkan dua hal itu, golput tentu akan tetap tinggi dan tak terbendung.

*) N. Mursidi, pemerhati sosial-politik, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar: