Jumat, 28 Desember 2012

Penghulu Baru

Cerita pendek ini dimuat di Majalah Penghulu, edisi Desember 2012

SEBULAN lalu, Baihaqi tiba di pelosok Kalimantan. Harapannya untuk bisa menjadi penghulu, kini sudah terwujud. Tapi tak pernah terbayangkan, ketika dia menginjakkan kaki di daerah itu, kurang lebih 400 km dari Samarinda, dia menjumpai kenyataan yang nyaris jauh dari yang dia bayangkan. Pedalaman dan penuh dengan rawa-rawa. Hari pertama memulai dinas, dia merasakan getaran aneh yang membuatnya ciut dan menyadari jika pilihannya itu terbilang nekat.


Dia masih ingat, hari pertama masuk kerja di kantor KUA itu, dia datang lebih awal. Dua puluh menit setelah kedatangannya itu, muncul seorang lelaki tirus berbaju putih bersih dengan peci hitam yang datang membawa tas dan sepucuk surat.

“Jadi, Anda ini penghulu baru yang ditugaskan untuk membantu kami?” tanya lelaki tua yang kemudian diketahui Baihaqi sebagai Ketua KUA di tempat itu.

Baihaqi gugup, “Betul, Pak.”

Lelaki itu mengenalkan diri, memberikan ucapan selamat, “Selamat datang di tempat baru. Tempat yang mungkin tak pernah Anda bayangkan. Dan kebetulan, habis Dhuhur nanti saya akan menikahkan mempelai pengantin di tempat yang agak jauh. Saya akan senang, jika Anda mau menemani saya,” ujar lelaki tua itu, yang biasa dipanggil ustadz Mahmudi.

“Dengan senang hati, saya akan menemani,” jawab Baihaqi.

“Tapi jangan kaget, nanti menempuh perjalanan jauh. Tugas jadi penghulu di daerah ini tidak saja pengabdian, tapi juga sebuah tantangan. Apalagi jika harus berperahu dan menelusuri kampung-kampung terpencil.”

Tepat selepas Dhuhur, ustadz Mahmudi dan Baihaqi berangkat meninggalkan kantor KUA. Tapi, hati Baihaqi seperti tak menentu. Ini pertama kali Baihaqi melaksanakan tugas dan diajak untuk menikahkan mempelai di tempat yang tak pernah dibayangkan. Dan, dia hanya mengikuti ustadz Mahmudi, dan membonceng ustadz Mahmudi. Sedari awal, ia sudah mengira tempat pernikahan yang akan dituju itu jauh. Tapi, Baihaqi sama sekali tidak menduga ketika melewati tepi rawa, tiba-tiba ustadz Mahmudi menghentikan sepeda motor. “Kita turun di sini. Motor ini, kita titipkan di rumah penduduk, lalu kita menaiki rakit dan menyusuri rawa.”

Wajah Baihaqi langsung pucat. Dia tak mengira jika pengalaman pertamanya tugas jadi penghulu harus menyeberangi rawa-rawa. Padahal dia tak bisa berenang. Tapi dia diam. Setelah Ustadz Mahmudi minta bantuan seseorang menyusuri rawa itu, Baihaqi memendam rasa takut.

Syukurlah, meski dilanda takut, akhirnya ustadz Mahmudi dan Baihaqi selamat sampai di tempat mempelai --setelah dijemput oleh pihak keluarga di seberang rawa. Begitu seterusnya selama sebulan, sejak bertugas di tempat baru itu, Baihaqi selalu diminta menemani ustadz Mahmudi menikahkan calon mempelai dari satu kampung terpencil ke kampung yang lain.
***

SAAT masih kuliah IAIN, Baihaqi sudah berkeinginan jadi penghulu. Maka, setelah dia lulus kuliah, dia ikut mendaftar ketika beberapa kali Depag membuka lowongan. Tapi, mimpi Baihaqi bertepuk sebelah tangan. Tiga kali dia daftar, selalu tak diterima. Baihaqi sempat putus asa, dan berniat mengurungkan niat untuk jadi penghulu.

“Jika niatmu jadi penghulu semata-mata untuk mendapat pekerjaan atau jadi pegawai, jangan salahkan jika kau tak diterima. Jadi, luruskan niatmu itu. Ibu yakin, jika niatmu benar, kelak cita-citamu akan terwujud,” ujar Maimunah, ibu Baihaqi ketika melihat Baihaqi diliputi kesedihan ketika tak lulus ujian tiga kali berturut-turut.

Baihaqi hanya menunduk, menyadari kebenaran yang diucapkan ibunya. Sehari setelah ibunya menasehati Baihaqi, jalan itu terbuka. Dia ditelepon temannya dari Kalimantan.

“Datanglah ke tempatku. Nanti kau daftar di sini! bujuk Ridwan.

Setengah tahun kemudian, jalan lempang itu terjawab. Baihaqi mendaftar dan lulus seleksi. Dengan berat hati, Baihaqi berpamitan kepada ibundanya.

“Ingat, kerjamu ini bukan sembarang pekerjaan! Jadi, niatmu sejak awal harus kamu pegang dengan kuat!” pesan Ibundanya. Dan Baihaqi mengangguk, mencium tangan ibunya dengan sahdu, sebelum kemudian meninggalkan tanah Jawa dan bertugas di Kalimantan.
***
      
PAGI ini, sebulan Baihaqi menjalankan tugas sebagai penghulu. Dan pagi ini, Baihaqi mendapatkan telepon dari ustadz Mahmudi. Telepon yang membuatnya diselimuti kegugupan.

“Hari ini, saya tidak enak badan. Saya minta tolong, kau mewakili saya menikahkan calon mempelai di kampung seberang rawa.”

Baihaqi kaget, diliputi cemas. Tapi, dia tak bisa menolak permintaan ustadz Mahmudi. Dengan cara apa pun, dia sudah mendapatkan amanah itu dan mau tidak mau harus berangkat. Kampung calon mempelai tidak jadi persoalan bagi Baihaqi, karena dia pernah diajak ustadz Mahmudi menikahkan mempelai di kampung tersebut. Tetapi, ini adalah pengalaman Baihaqi menikahkan.

Selepas Dhuhur, Baihaqi berangkat. Dia meninggalkan kantor KUA, tapi kini jantungnya berdegup dengan kencang, pikirannya tak karuan. Usai menyeberang rawa, Baihaqi dijemput oleh pihak keluarga.

Sekitar setengah jam kemudian, Baihaqi tiba di tempat resepsi pernikahan. Tamu sudah berkumpul. Calon mempelai lelaki sudah siap. Bahkan, Baihaqi terbilang terlambat setengah jam. Tetapi, tiba-tiba, ayah mempelai wanita menyalami Baihaqi. Dengan gugup, Baihaqi pun berkata jujur jika ustadz Mahmudi berhalangan hadir dan ia mendapat amanah untuk mewakili beliau.

“Jadi, ustadz Mahmudi tidak bisa hadir?” tampak jelas rona kecewa yang terpanjar dari raut ayah mempelai wanita.

Baihaqi mengangguk.

“Rasanya, pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan!” ujar ayah mempelai wanita dengan keras. Tamu-tamu saling pandang. Baihaqi tercekat dan kaget.

“Tetapi, saya datang mewakili ustadz Mahmudi dan mendapatkan amanah dari beliau.”

“Tapi, orang-orang kampong ini akan merasa mantap dan bahkan terhormat jika ustadz Mahmudi yang menikahkan. Juga kami akan terkesan dan hitmad jika prosesi pernikahan itu dituntun ustadz Mahmudi. Ada cahaya di seberkas mata beliau yang menjadikan pernikahan yang dibimbing beliau itu berwibawa dan terhormat.”

Baihaqi tidak tahu, apa yang harus dia katakan. Juga, dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat. Dia merasa kehadirannya ditolak. Baihaqi hanya berdiri diam, seperti patung. Hingga kemudian, dia samar-samar mendengar suara yang tak asing di telinganya.

“Tidak ada pernikahan yang harus ditunda jika semuanya sudah siap…”

Baihaqi merasa suara itu sudah dia kenal. Dan dia menoleh. Dari kejauhan dia melihat sosok lelaki, yang tidak lain adalah ustadz Mahmudi. Dia pun buru-buru menyalaminya, dan memeluk ustadz Mahmudi.

Dengan pelan, ustadz Mahmudi berbisik di telinga Baihaqi. “Tugas penghulu itu ibadah. Dan aku sedang mengujimu! Jadi, kamu harus kuat menjalani tugas ini. Ini belum seberapa!”

Baihaqi mengangguk, menyadari jika dia masih muda dan bahkan belum menikah! ***
      
Condet, Oktober 2012

*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).

Tidak ada komentar: