Selasa, 11 Desember 2012

Jakarta, Banjir, dan Fiqih Lingkungan

opini ini dimuat di Harian Pelita, Selasa 11 Desember 2012

BUKAN berita mengejutkan ketika musim hujan datang, Jakarta dilanda banjir. Kota metropolitan dan ibu kota Republik Indonesia ini sekarang bahkan sudah menjadi kota yang "mengenaskan". Pasalnya, selain dikenal sebagai "kota macet", Jakarta hampir tiap tahun sudah dipastikan dilanda banjir. Ironisnya, dari tahun ke tahun, dua persoalan pelik --macet dan banjir-- yang melilit Jakarta itu tidak kunjung mendapatkan solusi, melainkan justru kian parah.

Hampir tiap hari kemacetan terjadi di sepanjang jalan-jalan besar di Jakarta. Sementara itu, wilayah yang digenangi banjir tiap tahun kian meluas. Tak pelak, jika wilayah Jakarta yang dilanda banjir tak lagi hanya terjadi di Kampung Melayu dan beberapa tempat yang dekat dengan sungai Ciliwung tapi sudah hampir terjadi di sebagian besar daerah di Jakarta.

Secara geografis Jakarta memang termasuk dataran rendah sehingga mudah diserang banjir waktu musim hujan tiba. Tapi kondisi itu diperparah dengan tata ruang kota Jakarta yang tak baik ditambah kesadaran dari setiap warga Jakarta yang bisa dikatakan rendah tentang fiqih lingkungan. Walhasil, Jakarta jadi kota yang berpotensi dan rentan disergap banjir (tahunan).

Kenapa Jakarta Bisa Banjir?
Kota Jakarta bisa atau mudah dilanda banjir karena kota ini memang merupakan kawasan delta yang berdataran rendah. Sebagian besar wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Tak bisa disangkal, jika Jakarta merupakan kota yang tidak saja memiliki potensi mudah dilanda banjir tetapi sekaligus kota yang secara pasti tidak dapat bebas dari ancaman datangnya banjir ketika musim hujan tiba. Apalagi, ketika curah hujan cukup tinggi. Banjir bisa dipastikan akan melanda Jakarta.

Pada sisi lain, tiap tahun Jakarta mengalami penurunan muka tanah, atau mengalami amblasan. Akibat dari penurunan muka tanah itu pun menjadikan sebagian wilayah Jakarta --terlebih lagi daerah Jakarta Utara-- berada di bawah permukaan air laut. Kondisi yang memprihatinkan secara geografis itulah yang menyebabkan Jakarta mudah dilanda banjir. Apalagi kondisi itu "diperunyam" dengan kesadaran yang rendah terhadap tata kelola sumber air. Air hujan tidak lagi dipandang sebagai berkah, atau sumber yang potensial bagi kehidupan. Air hujan justru dianggap bahkan diperlakukan sebagai biang keladi dari bencana --dalam hal ini bencana banjir.

Kesadaran yang rendah terhadap fiqih lingkungan (ditilik dari aspeks fiqih Islam) dalam "memaknai" air hujan ini kemudian berimplikasi terhadap cara yang kurang tepat dalam mengalokasikan pembuangan air hujan. Air hujan tidak dikelola dengan baik dengan menyediakan serapan, dan sebagai sirkulasi cadangan air bawah tanah melainkan justru dibuang ke laut. Padahal, dalam Islam, air hujan itu merupakan berkah dan hujan yang turun dari langit bukan sebagai malapetaka atau bencana, kecuali jika dipandang keliru atau salah dalam pengelolaan. Akibat air (hujan) yang "tidak dikelola" dan ditempatkan di ruang yang semestinya (ke bawah tanah) untuk memenuhi sirkulasi cadangan air bawah tanah, jadi "cadangan sumber air baku" untuk kehidupan --seperti persediaan air minum, mengaliri tanah pertanian dan memenuhi kebutuhan hajat hidup yang lain-- tak pelak kalau banjir pun datang sebagai bencana.

Pengelolaan air hujan untuk "sirkulasi cadangan" air bawah tanah itu memang tidak mudah. Maklum, Jakarta sudah penuh dan berjibun dengan bangunan beton dan aspal. Akibatnya, ruang terbuka hijau (RTH) yang seharusnya bisa menjadi lahan yang sangat berguna demi menyerap air hujan tak lagi tersedia dengan memadai. Padahal curah hujan di Jakarta rata-rata mencapai 2 miliar per tahun. Maka terjadi ketakkeseimbangan antara curah hujan yang turun dengan air yang diserap ke dalam tanah. Tak pelak, jika Jakarta tidak saja rentan dilanda banjir, tapi bisa mengalami krisis air bersis. Inilah masalah krusial yang sekarang ini benar-benar mengancam Jakarta.

Kesadaran Fiqih Lingkungan
Jakarta sebagai kota yang rentan digulung banjir, memang tidak dapat ditepis. Tetapi bukan berarti tidak ada "jalan arif" untuk mencegah kehadiran banjir yang akan menenggelamkan Jakarta. Setidaknya, ada beberapa hal urgent yang perlu diperhatikan. Pertama, kesadaran akan fiqih lingkungan untuk tetap menjaga Jakarta dalam keadaan yang seimbang dalam memperlakukan alam dan lingkungan Jakarta. Dalam hal ini, perlu perbaikan dan menormalisasi saluran air --termasuk saluran air sungai, situ dan kanal di Jakarta. Pada sisi lain juga perlu pengelolaan sampah yang baik. Sebab, bukan sesuatu yang mengherankan kalau warga membuang sampang sembarangan bahkan ada yang membuang ke sungai.

Kedua, mengalokasikan tempat atau ruang bagi resapan air. Jakarta mungkin bisa disebutkan sebagai tempat yang minim ruang terbuka hijau (RHT) yang bisa dijadikan resapan air. Maklum, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta kurang lebih hanya 9 persen.  Padahal, UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, telah menetapkan setiap daerah provinsi wajib mengalokasikan 30 persen lahan untuk RTH. Dengan ruang terbuka hijau yang minim, Jakarta perlu "memaksimalkan cara efektif" penampungan air hujan melalui lubang biopori bagi pemukiman dan sumur serapan. Tetapi, keberadaan sumur resapan yang sudah diatur dengan diberlakukannya Surat Keputusan (SK) Gubernur No 17 Tahun 1992 tentang Sumur Resapan yang kemudian direvisi lagi dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 115 Tahun 2001 dan Pergub DKI Jakarta No 68 Tahun 2005 tentang Sumur Resapan, ironisnya kurang ditaati.

Ketiga, perlu menata ulang atau merevitalisasi kawasan pantai di Jakarta secara baik. Tak berlebihan, jika diperlukan alokasi bagi lahan konservasi yang tidak serampangan. Sebab jika tidak, Jakarta yang penuh dengan bangunan gedung bertingkat, perumahan, jalan beraspal dan bahkan beton bisa kehilangan keseimbangan secara lingkungan. Tata ruang kelola kota yang sudah parah, jangan sampai diperparah lagi dengan ketiadaaan tempat di tepi pantai dan salah sataunya adalah dengan mengalokasikan lahan untuk konservasi.

Beban berat untuk menghalau Jakarta dari terjangan banjir memang tidak bisa dibebankan di pundak pemerintah provinsi semata, tetapi juga harus ditanggung oleh pemerintah pusat. Sebab, Jakarta adalah ibukota negara Indonesia. Tapi hal penting lain lagi adalah kesadaran setiap warga tentang fiqih lingkungan. Tanpa kesadaran (fiqih lingkungan) seperti itu, Jakarta tentunya akan kian parah dan tak tertolong lagi ketika hujan tiba. Air hujan yang turun dari langit tidak menjadi berkah, melainkan berubah menjadi bencana banjir.

*) N. Mursidi, pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar: