Sabtu, 12 Mei 2012

Gema Azan dan Toleransi dalam Beragama

Opini ini dimuat di Jurnal Nasional Jum'at 11 Mai 2012

BEBERAPA waktu lalu, Wakil Presiden RI Boediono mendapat kehormatan dari panitia muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) untuk membuka acara akbar muktamar DMI ke-VI yang digelar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta (27/4). Tetapi, dalam acara akbar itu, rupanya Wakil Presiden tidak sekadar membuka acara, melainkan juga memberikan pengarahan yang kemudian mengundang perdebatan. Maklum, dalam pengarahan itu Wapres mengungkapan sekelumit kegelisahan tentang penggunaan pengeras suara (azan) yang dikumandangkan dengan keras sehingga dirasa perlu diatur.


Di balik imbauan itu, tak lain karena Wapres merasa suara azan yang diperdengarkan sayup-sayup akan merasuk dalam sanubari dibanding suara keras yang bisa jadi mengganggu bahkan tak menutup kemungkinan tidak toleran terhadap pemeluk agama lain. "Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalat.

Namun, yang saya rasakan barangkali juga dirasakan orang lain, yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa akan lebih merasuk ke sanubari kita dibanding yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita. Al Quran pun mengajarkan pada kita untuk merendahkan suara kita sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya," kata Wapres Boediono saat membuka Muktamar DMI ke-VI di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Substansi Gema Azan

Kegelisahan yang diungkapkan Wapres Boediono terkait suara azan memang bisa dianggap masalah "sepele". Apalagi, azan sejatinya--dalam lintasan sejarah Islam--bukan hal yang ada sejak awal mula tatkala Muhammad mendapatkan mandat sebagai Rasul. Bahkan, ketika Rasulullah masih hidup di Makkah, azan belum diberlakukan. Azan baru diberlakukan tatkala Rasulullah dan umat Islam hijrah (sudah menetap) di Madinah. Hal itu pun dilatarbelakangi dengan kondisi umat Islam yang sudah bertambah dan bahkan kemudian ada beberapa umat yang sibuk bekerja sehingga lupa mengerjakan kewajiban shalat.

Jika ditinjau dari aspeks sejarah, azan substansinya merupakan seruan untuk mempermudah umat Islam saat waktu shalat telah tiba. Tapi, di balik seruan itu, azan--tidak lantas dilihat--sekadar sebagai pertanda, pengingat, atau panggilan shalat. Sebab, kalau sekadar sebagai "tanda" untuk mengingatkan umat ketika waktu shalat telah tiba, bisa saja umat Islam "diberitahu" dengan cara meniup terompet (seperti dalam tradisi Yahudi), membunyikan lonceng (seperti tradisi Nasrani), menyalakan api (seperti tradisi Majusi). Tetapi, seruan untuk melaksanakan itu kemudian diberlakukan dengan tanda azan.

Sebagai seruan atau penggilan suci, azan pun disunnahkan agar dikumandangkan dengan suara yang indah. Itu yang tidak dapat disangkal ketika Nabi kemudian memilih Bilal sebagai muazin pertama dalam sejarah Islam. Sebab, Bilal memiliki suara yang indah. Ketika azan dikumandangkan dengan suara indah, hal itu bisa merasuk ke dalam hati sanubari sebagaimana diharapkan oleh Wapres Boediono. Ketika lafal-lafal azan digemakan dengan "indah", ada asupan gizi keimanan yang membuat umat Islam bisa bergetar lantaran seakan-akan mendapatkan panggilan (langsung) dari Tuhan.

Sebaliknya, ketika gema azan diserukan dengan keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga, substansi azan itu bisa jadi akan dirasakan lain. Itulah yang tak diharapkan oleh Wapres Boediono. Sebab, azan--sekalipun bisa disebut pangilan shalat--tetap memancarkan getaran suci yang bisa jadi menjadi mukjizat atau mengandung hidayah. Hal itu tidak saja dirasakan oleh umat Islam, tapi juga oleh orang-orang dari pemeluk agama lain.

Tak sedikit kisah yang dituturkan pemeluk agama lain bahwa dia memiliki empati dan kemudian memeluk Islam lantaran mendapatkan hidayah setelah mendengarkan azan (yang dikumandangkan dengan indah). Tapi sebaliknya, jika azan dikumandang dengan suara jelek, akan bisa berbuah kurang manis.

Sa`di, seorang penyair Iran, dengan nada sarkartis pernah menuturkan sebuah kisah yang bisa dijadikan bahan renungan. Alkisah, di sebuah kota ada seorang muazin yang memiliki suara jelek. Suatu hari, seorang Yahudi mendatangi rumahnya seraya membawa hadiah. "Aku membawa hadiah ini untukmu karena engkau telah menolongku," Muadzin itu terheran-heran. "Aku merasa tidak menolongmu," "Ketahuilah, anak perempuanku sejatinya ingin masuk Islam tapi ia mengurungkan niatnya setelah mendengar suara azanmu. Jadi, terimalah hadiah ini!"

Toleransi

Dari kisah di atas, ada pelajaran penting yang bisa dijadikan renungan jika ingin dikaitkan dengan kegelisahan Wapres Boediono. Pertama, imbauan yang dikemukakannya tentang suara azan yang keras, bahkan menyentak, sehingga tidak merasuk ke sanubari seharusnya dijadikan kritik membangun. Karena, azan yang menyentak--apalagi jika dikumandangkan kurang bagus--, tidak menutup kemungkinan akan menjauhkan simpati dan empati. Padahal, substansi azan itu adalah "ajakan suci" yang diharapkan menggetarkan hati.

Kedua, sejatinya hal paling penting terkait azan adalah suara yang indah, seperti disunnahkan Nabi. Maka, di balik kisah sarkartis Sa`di di atas sebenarnya terkandung sindiran telak bagi umat Islam, termasuk umat Islam di Indonesia. Sebab, tidak jarang "gema" azan dari masjid-masjid (di negeri ini) dikumandangkan dengan suara keras, apalagi kurang bagus. Tentu, hal itu membuat hati kurang bergetar.

Ketiga, meski di negeri ini umat Islam merupakan penduduk mayoritas, namun Indonesia bukan negara Islam. Maka, dalam menjalankan ibadah, umat Islam pun dituntut bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain, termasuk bagaimana mengumandangkan azan agar tetap menjaga toleransi atarumat beragama.

Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 8 dan 9 tahun 2006--tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakada dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (KUB), Pemberdayaan Forum KUB, dan Pendirian Rumah Ibadat. Jadi, dalam menjalankan ibadah, umat Islam tetap dituntut toleran terhadap umat lain.

    *) N Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

1 komentar:

away mengatakan...

Terimakasih sudah di perbolehkan mampir dan membaca, semoga sukses terus