Senin, 05 Desember 2011

Setumpuk PR buat (Pimpinan Baru) KPK

Opini ini dimuat di Jurnal Nasional, Senin 5 Desember 2011

SETELAH sempat tertunda, akhirnya Komisi III DPR-RI, (Jumat, 2/12/11) resmi memilih 4 pimpinan baru KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Keempat pimpinan yang terpilih itu adalah Abraham Samad (berhasil mendapat 55 suara), Bambang Widjojanto (55 suara), Adnan Pandu Praja (51 suara), dan Zulkarnain (37 suara). "Formasi baru pimpinan KPK" terpilih itu akan bahu membahu memberantas korupsi bersama dengan Busyro Muqoddas. Tetapi, dalam empat tahun ke depan (2011-2015), KPK tidak lagi dinahkodai Busyro Muqoddas, melainkan oleh Abraham Samad --setelah ia berhasil mengumpulkan 43 suara dalam pemilihan Ketua KPK.

Terpilihnya Abraham Samad sebagai Ketua baru KPK bisa dikata sungguh di luar dugaan. Maklum, namanya kalah populer dibandingkan dengan Bambang Widjojanto yang sebelumnya santer digadang-gadang jadi calon Ketua KPK terkuat untuk menggantikan posisi Busyro Muqoddas. Tapi, janji Abraham Samad, rupanya cukup memukau sehingga ia bisa unggul dan kemudian dipilih sebagai Ketua. Kini, setelah pemilihan pimpinan KPK itu, rakyat tidak lagi butuh janji melainkan butuh kerja nyata dari formasi baru pimpinan KPK. Karena, dalam empat tahun ke depan, pimpinan KPK itu menghadapi setumpuk PR (Pekerjaan Rumah) yang harus segera dituntaskan.

Mengembalikan Kepercayaan Publik
Sebenarnya, orang-orang yang tergabung dalam formasi baru yang sekarang ini menjadi pimpinan KPK memiliki Pekerjaan Rumah yang tidak bisa dikata ringan. Bahkan, PR yang harus dipanggul pimpinan baru KPK itu tergolong berat dan cukup akut. Pasalnya, tugas empat tahun ke depan yang berada di pundak KPK itu tidak semata-mata sekadar memberantas korupsi, melainkan juga bagaimana "mengembalikan" kepercayaan publik terhadap KPK yang dalam dua tahun belakangan ini sedang dihimpit krisis kepercayaan. Padahal, KPK sebagai lembaga antibody diharapkan independen dan tidak tebang pilih dalam memberantas kasus korupsi.

Sayangnya, setelah Antasari Azhar --mantan Ketua KPK-- "terlilit" kasus pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain kemudian divonis bersalah dan harus meringkuk di balik jeruji penjara, KPK sebagai "lembaga antikorupsi" seperti terjerembat di lumpuh yang cukup dalam. Sebelum posisi Antasari Azhar digantikan oleh Busyro Muqoddas, KPK seperti lembaga tumpul dan kehilangan wibawa. Praktis, KPK minus Antasari Azhar --yang kemudian hanya digerakkan oleh Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto, Haryono Umar dan Mochammad Jasin- serupa bangunan megah tetapi kehilangan satu tiang penyangga.

Belum selesai kasus Antasari Azhar membuat KPK seperti tersungkur, kasus lain kembali melanda. Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditimpa beban berat lantaran dituduh menerima suap dan melakukan pelanggaran prosedural. Kasus yang sempat menghebohkan publik dan dikenal dengan kasus cicak dan buaya itu sempat mengantarkan kedua pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto "mendekam di balik penjara". Kasus cicak dan buaya itu pula yang menjadikan KPK dan kepolisian seakan saling serang. Tetapi, setelah mendapatkan desakan dari masyarakat, akhirnya Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dibebaskan. Bahkan, akhirnya kedua pimpinan KPK itu pun mendapat putusan deponeering dari Kejaksaan Agung.

Kedua pimpinan KPK itu pun dapat kembali aktif duduk di kursi pimpinan KPK. Di balik tudingan suap yang melilit Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, banyak pihak yang menilai bahwa tudingan itu tidak lebih merupakan bentuk kriminalisasi KPK untuk melemahkan KPK.     Tetapi, belum pupus ingatan publik dengan kasus yang melilit Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, publik kembali dikejutkan dengan isu atau rumor yang digelontorkan oleh Nazaruddin dari balik persembunyiannya di luar negeri. Bankan, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu menuding Chandra M Hamzah tidak saja telah bertemu dengannya sebanyak lima kali, tetapi juga Chandra telah dituduh "menerima uang" dan dia mengklaim memiliki rekaman CCTV.

Dari tudingan Nazaruddin itulah, kemudian dibentuk komite etik. Meski pada akhirnya Chandra diputuskan tidak terindikasi pelanggaran pidana dan pelanggaran kode etik tetapi tudingan Nazaruddin itu telah membuat publik digelayuti keraguan terhadap reputasi Chandra M Hamzah. Sederet kasus yang melilit beberapa pimpinan KPK periode 2007-2011 itulah, yang menjadikan lembaga KPK nyaris kehilangan kepercayaan. Karena itulah, tugas formasi baru pimpinan KPK periode 2011-2015 ini cukup berat lantaran mereka itu harus mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPK yang terjadi di masa lalu.
   
Dituntut Menuntaskan Setumpuk PR
Dengan terpilihnya empat pimpinan baru KPK, sekarang ini KPK seperti memiliki "napas baru" untuk bernapas kembali. Jadi, moment ini harus dijadikan sebagai senjata bagi pimpinan baru KPK untuk kembali menegakkan keadilan demi memberantas korupsi. Pasalnya, dalam 4 tahun ke depan, ada setumpuk PR yang melilit bahkan menuntut untuk segera dituntaskan. Setidaknya, beberapa PR yang menuntut KPK itu antara lain; pertama, KPK harus berani menuntaskan kasus-kasus korupsi besar yang selama ini ditangani KPK tetapi terkesan mandeg. Di antara kasus besar itu adalah skandal Bank Century, kasus Wisma Atlet, mafian pajak, dugaan korupsi proyek Hambalang, serta suap travel cheque terhadap Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom yang melibatkan Nunun Nurbaetie yang hingga kini masih menjadi buron lantaran ditengarai ada kekuatan besar yang melindungi.

Kedua, KPK harus berhasil mengembalikan aset negara yang dikorup. Karena selama ini, ditengarai KPK telah menghabiskan biaya tidak sedikit tetapi tak berhasil mengembalikan aset-aset negara yang dikorup sebagaimana target. Tak pelak, jika KPK dituding lebih besar pasak daripada tiang. Ketiga, KPK harus memperkuat aspek pencegahan tak sekadar memberantas korupsi. Inilah salah satu titik lemah KPK yang selama ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak.

Keempat, KPK harus menunjukkan bukti sebagai lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pasalnya, selama ini KPK masih dianggap kurang greget --ibarat pisau yang hanya tajam ke bawah tetapi tumpul bagian atas. Dengan kata lain, KPK masih tebang pilih dalam memberantas kasus korupsi, dan kerap gentar ketika berhadapan dengan orang-orang yang ada di tubuh pemerintahan.

Dengan empat PR di atas, KPK  -mau tidak mau-- harus bisa menuntaskan bahkan harus bisa mengukir prestasi dengan gemilang. Itulah setumpuk PR yang tak bisa dihindari oleh formasi baru dari pimpinan KPK yang terpilih untuk periode 2011-2015 sekarang ini.

*) N. Mursidi, peneliti politik pada Lasem Institute, Rembang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar: