RENCANA pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi pada tanggal 1 April 2012 memang batal. Sidang Paripurna DPR mengesahkan Pasal 7 ayat (6A) sebagai kompromi politik yang secara tidak langsung "membatalkan niat" pemerintah menaikkan harga BBM --setidaknya untuk saat ini- 1 April 2012. Kendati demikian, pasal itu memberi ruang bagi pemerintah bisa menaikkan harga BBM jika harga Indonesia Crude Oil (ICP) rata-rata mencapai 15% dari asumsi awal 95 dollar AS per barrel pada 6 bulan terakhir dihitung mundur ke belakang.
Hasil Sidang Paripurna itu memang bagai "buah simalakama" bagi pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah seperti dipaksa untuk bersabar. Pada sisi lain, pemerintah dihadapkan situasi sulit ketika dihadapkan gelombang [goncangan] dari sisi ekonomi lantaran harus bisa menjaga APBN tetap sehat dan terjaga setelah keputusan Sidang Paripurna membatalkan kenaikan BBM 1 April 2012.
Tapi di tengah kondisi sulit itu, rupanya pemerintah tidak mau sekadar berpangku tangan. Sebagai langkah antisipasi, pemerintah pun mencanangkan "Gerakan Penghematan Nasional" yang akan dimulai pada awal bulan depan (Mei 2012). Tujuan dari gerakan itu, tidak lain adalah untuk mengurangi risiko defisit APBN 2012 yang bisa jadi akan meningkat akibat harga BBM yang batal naik. Bahkan demi tujuan mulia itu, pemerintah minta dukungan masyarakat luas, dunia usaha, lembaga negara, pemerintah pusat hingga daerah.
Pemerintah harus BercerminApakah "gerakan" yang dicanangkan pemerintah untuk melakukan penghematan itu akan berhasil? Tentu, hanya waktu yang akan bisa menjawab. Sebab gerakan penghematan nasional itu --tidak dapat ditepis-- tak memiliki kekuatan. Memang, rencananya Presiden akan mengeluarkan instruksi baru, termasuk peraturan-peraturan presiden yang diperlukan. Tetapi, gerakan penghematan nasional itu tetap bisa dikata tak lebih sebatas himbauan. Walau demikian, apa yang dicanangkan presiden itu tetaplah langkah yang mulia.
Bagaimana tidak? Dengan lantang, presiden meminta dukungan kepada masyarakat luas, dunia usaha, lembaga negara hingga pemerintah pusat dan daerah untuk hidup hemat. Karena, presiden yakin, pengehematan itu dapat mengurangi dampak negatif yang timbul kalau kelak BBM naik. Dengan kata lain, presiden meminta semua kalangan mengencangkan ikat pinggang supaya pemerintah tak lagi menambah utang --mengingat utang Indonesia sudah tinggi.
Tapi, seruan gerakan penghematan nasional yang dicanangkan oleh presiden kali ini, --entah kenapa-- terasa kehilangan kekuatan. Bahkan bisa jadi terasa sumbang dan menggelora tanpa makna. Setidaknya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan alasan kenapa bisa dikatakan demikian. Pertama, seharusnya "gerakan penghematan nasional" ini dicanangkan sejak dulu bukan sekarang. Sebab bukan rahasia lagi bahwa kenyataanya tak sedikit anggaran negara yang terkuras habis untuk belanja dan kepentingan yang tidak urgen --terbilang boros.
Dalam konteks ini, sebenarnya pemerintah bisa melakukan koreksi anggaran yang seharusnya tidak perlu -seperti upacara seremonial yang banyak digelar pemerintah. Padahal, tidak sedikit upacara seremonial itu memakan dana milyaran rupiah. Selain itu, rencana pembelian pesawat kepresiden pun tak ditepis masuk kategori boros dan tak menunjukkan rasa empati kepada rakyat. Karena kondisi bangsa sekarang ini sedang dirundung "beban" anggaran belanja dan tak sedikit rakyat yang hidup dalam himpitan kemiskinan.
DPR yang seharusnya memberikan teladan karena merupakan wakil rakyat, ternyata tak kalah boros. Untuk biaya kunjungan kerja (Kunker) saja, DPR akan menghabiskan Rp265 miliar pada 2012. Itu hanya sekelumit dari anggaran DPR yang dianggap boros. Sebab setumpuk kisah lain soal anggaran boros DPR tidak kalah heboh, seperti renovasi toilet sebesar Rp 2 miliar, pembangunan parkir dua lantai untuk sepeda motor sebesar Rp 3 miliar, pengadaan absensi finger print 3,7 miliar. Bahkan, proyek renovasi ruang banggar sempat mengundang kontroversi karena menelan biaya RP 20 milyar. Wajar, dari semua biaya yang dianggarkan itu mengundang kecaman banyak kalangan. Sebab, biaya itu dianggap terlalu besar sehingga melukai hati rakyat yang saat ini masih banyak yang hidup kesusahan.
Kedua, kelahiran gerakan penghematan nasional ini tidak lebih karena kepepet. Dengan kata lain, tidak didasari sikap hidup hemat yang tulus. Hal ini bisa dibaca dari kemunculan gerakan penghematan setelah BBM tak jadi naik. Bisa jadi, kalau BBM naik pada tanggal 1 April, gerakan penghematan itu dipastikan tak akan dicanangkan. Padahal, kalau saja pemerintah dengan tulus menggelindingkan gerakan penghematan dari dulu bisa dipastikan anggaran itu bisa memberikan sumbangsih yang besar bagi kepentingan rakyat.
Butuh KeteladanTapi, tidak ada kata terlambat untuk berbuat mulia terlebih untuk memulai gerakan penghematan nasional dari sekarang. Karena itu, tak ada salahnya jika gerakan penghematan itu tidak hanya digemakan tapi harus diwujudkan dalam aksi dan tindakan nyata yang dimulai dari elite politik, dan pejabat pemerintah. Sebab, kalau presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang mengajak semua kalangan untuk hidup berhemat maka tak ada pilihan lain harus dimulai dari tindakan nyata presiden SBY [Susilo Bambang Yudhoyono] lebih dulu. Seiring dengan hidup hemat yang diteladankan Presiden Susilo Yudhoyono, harus diikuti pula oleh elite politik dan pejabat lain seperti para anggota dewan, menteri, gubernur, bupati hingga pejabat pemerintah yang lain.
Sebab, tak dapat dimungkiri lagi, jika rakyat Indonesia saat ini benar-benar mendambakan keteladanan hidup dari para pejabat yang benar-benar hidup hemat, sedehrna dan memiliki empati kepada rakyat. Tanpa teladan dari elite politik, terlebih dari tindakan nyata presiden Susilo Bambang Yudhoyono, gerakan pengehematan bisa jadi tak lebih hanya isu sensual yang hanya menggelegar sesaat, lalu redup dan tidak memiliki makna. Sebab, selama ini, rakyat telah disuguhi kehidupan hedonis dan mewah para pejabat, termasuk para wakil rakyat. Tak salah, jika Busyro Muqaddas sempat menuduh anggora DPR hidup hedonis dan dalam kubangan kemewahan.
Karena itu, jika gerakan penghematan itu tidak ingin bernada sumbang dan tanpa makna, tidak ada pilihan lain, kecuali dibutuhkan gerakan nyata keteladaan elit politik mulai dari presiden hingga pejabat pemerintahan yang lain. Sebab rakyat tak dimungkiri akan melihat keseriusan niat pemerintah setelah melihat secara nyata dalam bentuk tindakan dan aksi, bukan sekadar janji atau himbauan tetapi dalam bentuk teladan dari mereka semua yang duduk di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.
*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar