Minggu, 15 Februari 2009

Pernikahan yang Hampa



/1/

MALAM itu, Anita sungguh merasa hambar. Ia menggeliat, memeluk guling dan hanya mampu mendesah sedih. Anita menatap jam di dinding. Pukul sebelas lewat lima menit. Sudah berulang kali, ia memejamkan mata tapi di sudut kelopak matanya seperti ditimbuni kepedihan yang semakin menusuk tajam; membuat hati Anita seperti diterjang perih. Ia tahu, tak ada yang bisa ia lakukan selain memandangi potret pernikahan yang terpajang di dinding kamar untuk sekedar mengenang secuil kisah saat sepi menyelinap diam-diam, lalu menjebol tanggul matanya; mengantar air matanya tumpah.



Setahun yang lalu, ketika ia hendak melangsungkan pernikahan dengan Arjuna, dia tidak membayangkan akan mengalami sebuah masa yang rumpil dalam kehidupan rumah tangganya. Ia tahu, memang tak semua pengantin baru bisa merajut kehidupan manis dipenuhi untaian kisah-kisah bahgaia. Sebab tidak sedikit teman-teman Anita dari kampung yang mengadu nasib ke Jakarta dan sudah melangsungkan pernikahan tiga sampai lima tahun, ternyata hidup biasa-biasa saja!

Anita tidak menutup mata bahwa sebagian besar dari mereka itu adalah orang-orang urban yang bekerja di Jakarta dengan gaji yang tidak terlalu besar. Wajar, meski sudah menikah sekitar lima tahun dan memiliki anak; sebagian besar dari mereka masih ngontrak rumah dan tidak memiliki tabungan untuk mampu membeli rumah sendiri.

Anita sebenarnya beruntung. Selepas kuliah, dia bisa mendapatkan pekerjaan di Jakarta dan kariernya tak tersandung-sandung. Ia bekerja di sebuah bank ternama dan menduduki posisi lumayan. Tapi ketika beberapa teman wanita yang dikenalnya mulai menikah satu per satu, ia diterjang iri. Bukan karena ia tidak memiliki kekasih yang siap diajak menikah, tapi ia bingung menerima kenyataan; kekasihnya pengangguran.

“Kini, kamu sudah kerja, mapan dan memiliki calon! Apa lagi yang kamu tunggu sehingga kamu tidak segera menikah, padahal banyak temanmu yang sudah menikah dan punya anak,” tanya ibu Anita saat Anita pulang ke rumah. “Aku sudah tua, sudah tidak sabar menunggu lama lagi menimang cucu!”

Pertanyaan ibu Anita itu, membuat Anita seperti tersudut. Setiapkali ia pulang ke rumah pada awal bulan, ibunya selalu mendesaknya menikah. Ia tidak bisa mengelak. Ironisnya, ia tidak sanggup untuk menjawab jujur; bagaimana mungkin ia akan menikah, sementara Arjuna masih menganggur? Di sisi lain ia tak mau dianggap tidak setia untuk meninggalkan Arjuna, laki-laki yang menjadi kekasihnya sedari awal masa kuliah.

“Tak usah kamu pikir! Jika kamu sudah cocok dengan Arjuna, menikahlah segera karena pernikahan itu bisa mengundang datangnya rezeki. Siapa tahu, setelah menikah nanti Arjuna mendapat pekerjaan,” ucap ibu Anita, seperti tahu keraguaan hati Anita.

“Tapi bu! Apa nanti kata famili dan keluarga kita? Jauh-jauh aku kuliah, dan kini sudah bekerja, ternyata harus menikah dengan suami pengangguran!”

“Kau ini masih muda, belum pernah mengalami terjangan badai bahtera rumah tangga. Serahkan pada Tuhan, apa yang terjadi hari esok!”

Anita merasa mendapat angin. Maka ia pun mendesak Arjuna meminangnya. Empat bulan kemudian, Anita dan Arjuna melangsungkan pernikahan.

Malam semakin menua. Anita menghapus kristal-kristal air mata yang mengalir di sudut matanya. Ia sadar, apa yang dulu dikatakan ibunya itu ternyata benar. Tiga bulan setelah menikah, Arjuna mendapat panggilan kerja.

Kini, Arjuna sudah mendapat pekerjaan sebagai editor bahasa di sebuah koran harian. Hanya saja, perkejaan Arjuna harus membuat Anita diterjang sepi tatkala malam tiba --lantaran jam kerja Anita dan Arjuna nyaris seperti bulan dan matahari. Keduanya nyaris tak pernah bertemu dan bercengkrama, meski pun tinggal dalam satu atap.

/2/
MALAM hampir pagi. Anita sudah tertidur, saat Arjuna pulang ke rumah. Seperti kepulangan Arjuna di malam yang lain, Arjuna meraih kunci dari saku celananya, lalu memasukkan benda mungil itu ke lubang pintu. Selanjutnya, dia memutar kunci dengan pelan. Pintu pun terbuka tanpa halangan.

Arjuna mengunci pintu, sebelum memasuki rumah dengan langkah yang nyaris sempoyongan lantaran ditikam kantuk. Dia berjalan seperti tak menginjak lantai, seraya melepas jaket dan masuk kamar. Seperti di hari-hari yang lain, Arjuna menjumpai istrinya tidur pulas, bagai sosis dalam setangkup roti. Arjuna menatap Anita, ia merasa iba.

Malam kian memucat. Arjuna menatap jam dinding. Pukul dua dini hari. Setelah mengganti baju dengan kaos, ia meringkuk di sebelah Anita dan cepat-cepat menarik selimut. Rasa kantuk yang menggumpal di sudut matanya membuat Arjuna tidak kuat menahan kelopak matanya terjaga lebih lama lagi. Akhinya, ia tertidur pulas kala kota Jakarta mulai terlihat murung karena masih ditingkupi gelap.

/3/
ANITA terbangun ketika gema adzan subuh menggema. Serasa tergeragap dari mimpi, Anita segera menyibak selimut. Dingin merayap pelan menjalar ke sekujur tubuh Anita. Ia tatap wajah Arjuna yang tidur pulas, tidak berdaya. Dengkur Arjuna terdengar sendu. Anita serasa sesak napas. Kebiasaan buruk Arjuna itu yang kerap kali membuat Anita merasa sebel dan kesal. “Mas bangun, sudah subuh. Shalat dulu, setelah itu nanti bisa tidur lagi!” bujuk Anita seraya menggoyang-goyang tubuh suaminya.

Tetapi Arjuna tidur seperti selongsong peluru. Dia seperti tidak mendengar suara Anita. Juga, tak merasakan tangan Anita yang menggoyang-goyang dengan kesal.

Anita tahu, Arjuna masih perlu tidur untuk beberapa waktu lagi. Di pagi itu, Anita membiarkan Arjuna, lantaran merasa iba. Malas Anita beranjak dari ranjang melangkah ke kamar mandi; mengambil wudhu. Dan pagi itu, sehabis shalat Anita berdoa dengan khusuk. Ia berdo`a meminta untuk segera diberi keturunan.

Saat Anita memasak di dapur, sebelum sinar matahari muncul dari ufuk Timur, ia mendengar langkah Arjuna keluar dari kamar lantas muncul di ambang pintu dapur. “Kenapa kamu tidak membangunku untuk shalat subuh?”

“Sudah aku bangunkan! Mas aja yang tidur seperti batu!”

“Jika aku tidur menjelma menjadi batu, kenapa kamu mau menikah denganku?” lgurau Arjuna, “Jika boleh tahu, hari ini kamu masak apa?”

“Aku memasak batu!” jawab Anita, tak mau kalah.

Arjuna tidak menanggapi, karena buru-buru melangkah ke kamar mandi. Arjuna tahu matahari sebentar lagi akan terbit. Maka ia harus segera menunaikan shalat. Sejak Arjuna bekerja, Anita tahu kebiasaan Arjuna; setelah shalat shubuh selalu melanjutkan tidur lagi. Padahal di awal pernikahan dulu, Arjuna biasa bangun pagi; mencuci piring, menyapu bahkan masak. Sementara Anita, setelah shalat melanjutkan tidur. Kini, Anita merasa benar-benar menikah dengan batu!

/4/
SEBELUM berangkat bekerja, Anita menulis di secarik kertas untuk memberitahu Arjuna.

Masakan sudah tersedia di meja makan. Makanlah seakan-akan aku berada di sisimu, meski aku tidak ada di rumah! Aku berangkat kerja dulu!
(Anita)

Ia letakkan kertas itu di meja riasnya, lalu cepat-cepat meraih tas kecil di atas meja karena ia tahu mobil jemputan dari kantor sudah hampir tiba.

/5/
SIANG itu, Arjuna terbangun ketika adzan dhuhur berkumandang. Ia menggeliat, menyibak selimut dan meregangkan otot seakan merasakan tulang rusuknya ada yang patah, akibat ditikam capek. Dengan malas, Arjuna bangkit dari ranjang.

Seperti hari-hari sebelumnya, Arjuna melangkah ke meja rias istrinya dan meraih secarik kertas yang ditinggalkan oleh Anita. Entah kenapa, setiap kali Arjuna membaca pesan yang ditulis Anita itu, ia merasa mendapat kiriman sepucuk surat cinta yang ditulis oleh kekasihnya yang cukup jauh dan sudah lama tidak bertemu. Padahal, Anita baru meninggalkannya lima jam yang lalu.

Siang itu, Arjuna tahu Anita sedang istirahat. Maka, buru-buru ia menelpon Anita untuk menumpahkan rasa kangen sebagaimana sepasang kekasih muda yang berada di sebuah tempat yang jauh dan sudah lama tidak ketemu…

/6/
SEHABIS menunaikan shalat maghrib, Arjuna meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat kerja. Tetapi hari itu, Arjuna seperti diburu waktu. Kantor tempat Arjuna bekerja sudah menelponnya untuk segera datang lebih awal dari biasa. Arjuna pun tak sempat menulis sepucuk pesan di secarik kertas buat Anita sebagaimana biasa.

Dua jam setelah Arjuna meninggalkan rumah, Anita tiba di rumah. Seperti di hari-hari sebelumnya, Anita menjumpai rumah dalam keadaan lengang. Sepi bahkan mati. Anita menjatuhkan diri di atas sofa, lalu meregangkan persendian tangan dan menarik napas panjang. Tetapi, ia tidak pernah bisa membohongi diri sendiri; hatinya merasa lengang.

Sejak Arjuna mendapatkan pekerjaan dengan jam kerja malam, dan pulang di ujung pagi Anita sudah didesak hasrat kuat untuk segera memiliki momongan. Ia merasa kelahiran seorang anak, akan bisa memberinya teman di kala sepi menyelinap kuat di malam-malam yang rumpil. Jika dulu Arjuna masih menganggur, dia memang sengaja menunda sementara waktu untuk memiliki anak.

Kini, ia merasa waktu yang ia tunggu itu sudah tiba. Tetapi, kenyataan ternyata berbicara lain. Arjuna bekerja di malam hari, dan Anita bekerja di siang hari. Keduanya nyaris tidak pernah bertemu meski hidup dalam satu atap kecuali di malam minggu --di saat Arjuna libur. Padahal satu hari selama seminggu itu, bagi Anita tidaklah cukup untuk membuat hidupnya bisa menepis sepi.

Malam itu, Anita kembali merasa getir. Sepi seperti merengguk sampai ke lubuk hatinya. Maka, sebelum tidur, Anita kembali menulis di secarik kertas untuk memberitahu pada Arjuna tentang secuil perasaan sepi yang tidak bisa ditanggungnya sendiri dalam diam. Pasalnya, Anita dan Arjuna sudah punya rumah sendiri, sukses kerja dengan karier lumayan. Hanya satu yang belum tercapai, keduanya belum dikarunia anak.

/7/
MALAM hampir pagi. Anita sudah tertidur nyenyak, tatkala Arjuna pulang. Tetapi, di malam itu Arjuna terperangah dan nyaris tidak percaya ketika ia memasuki kamar dan menjumpai secarik kertas yang ditulis Anita.

Kapan kita punya anak kalau kita menjalani pernikahan seperti ini? Untuk apa menikah, jika kita hidup seperti matahari dan bulan, datang dan pergi di saat berlainan!
(Anita)

Arjuna membaca pesan Anita itu dengan tubuh gemetar. Ia sadar, kota Jakarta telah melindasnya; dia dan Anita harus menjalani pernikahan yang hampa. ***

Ciputat, 10 Januari 2009
ilustrasi foto: bayu ngenggo

7 komentar:

Nugroho AS mengatakan...

waduh,yo apik kono tho mas, aku rung enek 'ababe' hee, nuwun mas wes komen, terus beri masukan mas, saya butuh banget, biar bisa dimuat di media massa. bisa kasih tips ga, kira2 cerpen saya cocok kemana gitu. soal salamnya, insya Allah, nanti saya sampaikan. terimakasih

Nugroho AS mengatakan...

mas boleh ngelink blog dua2nya ga? makasih

penulis mengatakan...

jika mau sharing seputar cerpen, krm aja email-ku, silahkan di link ke2-nya. amin, ternyata blog-ku ini bermanfaat bagi orang lain......

Nugroho AS mengatakan...

oke mas, nanti saya kirimkan. terima kasih banyak.memang betul. mas blog mas sangat insipiratif, iki tenan, ga ngapusi. beruntunglaha mas, semoga jadi ibadah mas mursidi. amin

penulis mengatakan...

ok, aku tunggu! wah, seneng sekali blog-ku dikunjungi terus (meski aku belakangan ini mulai jarang nulis cerpen). jadinya, blogku msh tulisan lama terus.....

Unknown mengatakan...

ceritanya bagus.....
semoga tidak terjadi pada saya :)

penulis mengatakan...

oh, dibaca juga ya blog-ku???