Kamis, 29 November 2007

ibu

cerpen ini dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 7 Nov 04

"UNTUK menjadi wanita cantik kamu harus menderita terlebih dahulu!" ujar ibuku perlahan sembari memasang kancing pada baju-baju dagangan dengan telikungan jemari yang lincah seolah di telapak tangan ibu ada sepasang mata yang lebih tajam dari cahaya lampu yang berkedip ringan di ruang tengah, di rumah kami. Sejenak kemudian, ibu --seperti biasanya-- mulai bercerita untuk menghiburku setelah mengajari mengerjakan PR, menuntunku membaca dan menulis yang baik.



Tapi aku sempat terperanjak. Sebab sebelum ibu bercerita, aku sempat mendengar ibu bergumam, "Kau gadis kecil yang cantik. Aku tak menyesal telah melahirkanmu. Juga, perlu kauketahui sayang... kecantikan seorang wanita itu bukan terletak pada wajahnya melainkan pada tingkah lakunya. Untuk itu, kamu jangan tergantung pada suamimu kelak, jika sudah bersuami!!!!"

Aku tak berani menanyakan apa maksud ibu berkata demikian. Aku hanya tertunduk mendengarkannya dengan khidmat, sewaktu ibu memulai sebuah cerita. Karena memang cerita ibu itu yang kutunggu, sehingga aku tak pernah berminat untuk bertanya macam-macam. Sesekali, kulihat ibu membetulkan letak kacamata minus yang sudah tua --dari geseran gerak tangannya akibat keletihan. Cerita ibu pada malam itu, entah kenapa atau kebetulan, mengisahkan derita si Bawah Putih yang selalu mengalah dan disia-siakan oleh si Bawah Merah dan ibunya.

Saat ibu sampai pada klimaks dengan mengisahkan derita yang harus di tanggung si Bawah Putih, yang harus mencuci pakaian sementara si Bawah Merah menghabiskan waktu sepanjang hari serta malamnya dengan bersolek, membuatku sempat menitikkan airmata. Aku diam, tertegun dan terpukau. Airmataku, lalu menitik. Jatuh ke pipi.

Tanpa kusadari, ibu sudah selesai memasang kancing pada semua baju dagangan. Ia lalu melipat satu demi satu pakaian dengan lipatan halus, tanpa perlu menyeterikanya terlebih dahulu. Aku hanya memandang dengan rasa kantuk karena malam memang sudah terlampau murai. Apalagi, ibu tak menyuruhku untuk membantu. Malah, tanpa kusadari ibu berucap: "Tidurlah sayang, hari sudah terlalu malam. Bukankah besuk pagi kamu harus ke sekolah?"

"Tapi, cerita ibu belum selesai?"

"Besuk akan ibu lanjutkan kembali. Lagi pula, pelajaran di sekolahmu lebih penting, sayang. Bukankah cerita ini dapat ibu teruskan kapan pun kamu mau?" rayu ibu dengan santun. "Sana sayang, tidur yang nyenyak supaya pagimu benar-benar ceria dan jangan sampai kau terlambat ke sekolah!"

Seperti biasanya aku tak pernah membantah. Aku melangkah dengan kaki sedikit tersengal karena rasa kantuk sudah mengganjal di mata. Membuka tirai kamar, membuatku tak harus menoleh ke belakang lagi. Aku tahu ibu pasti akan tidur larut malam lagi karena masih ada kerjaan lain yang harus ia kerjakan. Sementara aku, sebentar kemudian sudah terlelap dalam tidur di buai mimpi.

***

AKU terbangun saat kurasakan ada tangan yang kekar, yang menggenggam lenganku dan menggoyang-goyang tubuhku. Lamat-lamat, kudengar suara suamiku, Anton, membuyarkan mimpiku, "Kamu mimpi lagi, ya?"

Aku tak menjawab. Karena lamur kantuk di kelopakku masih menggelayut di sudut mata dan kesadaranku memang belum pulih. Aku menguap, dan berusaha sekuat tenaga untuk menajamkan penglihatan. Lalu, sedikit demi sedikit ada ruang kesadaran yang merasuk. Aku tersadar, ternyata baru menjumpai mimpi. Ya..., masih kuingat malam yang sudah terjadi duapuluh tahun lalu itu, kala ibu bercerita tentang kisah Bawah Putih dan Bawang Merah.

Bagaimana aku bisa melupakannya? Aku, sama sekali tidak paham dengan apa yang ibu katakan dengan "wanita cantik" serta "harus menderita terlebih dahulu" itu. Maklumlah, usiaku waktu itu, kalau tak salah, baru tujuh tahun. Tapi, kata-kata ibu pada malam itu hingga kini masih kuingat di lembar buku sejarah hidupku. Entah mengapa, kata-kata itu kurasai seperti tusukan jarum yang menancap kuat di dinding memoriku. Benang hari-hari yang tidak sanggup diurai dan kenangan itu tak bisa kulupakan...

"Kamu mimpi lagi, ya?" suamiku, Anton mengulangi pertanyaannya.

"Aku bermimpi lagi tentang ibu, mas..."

"Tapi, kamu tidak apa-apa, khan?"

"Tak tahu, mas. Entah kenapa aku selalu teringat ibu."

"Sudahlah! Ibu sudah tak ada, doakan saja ibu baik-baik di sana!"

Suamiku selalu berkata seperti itu jika aku teringat ibu. Tapi, bagi aku --sebagai anak perempuan satu-satunya- tentu lain persoalannya sebab ada semacam utang yang harus kubayar pada ibu. Utang? Ya, aku... entah mengapa, selalu menganggap apa yang telah ibu berikan kepadaku itu semacam utang dan cara aku membayarnya adalah dengan kubayarkan pada anakku kelak. Aku akan mendidik bagaimana ibu mendidikku. Aku akan mengajarkan tentang dunia dan kehidupan ini pada anakku seperti ibu dulu mengenalkan dunia dan kehidupan padaku.

Anak? Ah, itulah mungkin yang selalu membuatku bermimpi tentang ibu. Kini, usiaku sudah menginjak duapuluh tujuh tahun. Tidak ada yang kusesali dengan diriku sebagai seorang wanita memang, sebab aku adalah seorang wanita yang telah dididik ibu menjadi kuat, mandiri dan tak terlalu tergantung pada suami. Itulah alasannya, aku tidak mau keluar dari kerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan besar setelah menikah meski suamiku telah merajukku untuk meninggalkan pekerjaan itu.

Sementara, suamiku juga seorang lelaki yang baik, pengertian serta penuh tanggung jawab. Lantas? Ya, aku hanya belum dikaruniai seorang anak. Aku belum diberi Tuhan seorang momongan yang memanggilku "ibu". Lima tahun sudah aku menikah dengan Anton. Selama itu pula, hubungan kami juga terjalin baik, tanpa ada bahtera, meski kadang juga pernah ada "pertengkaran kecil". Tapi, itu biasa karena sebuah rumah tangga rasanya sulit tanpa ada perbedaan sebagai pemicu pertengkaran. Hanya saja, kami sudah ada ikrar untuk selalu terbuka dan menyelesaikannya dengan baik-baik. Sehingga lima tahun kulalui dengan indah dalam menjalani hidup di samping suamiku.

Namun satu hal, kurasa belum bisa sempurna, jika belum terlahir dari rahimku sendiri seorang anak dari darah suamiku. Aku juga tak tahu, kenapa sampai tahun kelima perkawinan kami belum juga dikaruniai jerit bayi yang bisa membuatku bahagia. Padahal, kami berdua juga subur-subur saja. Pernah, memang suamiku punya usul untuk mengambil anak angkat. Tetapi, entah kenapa aku selalu menolak. Anehnya, suamiku juga nurut dan tak membantah. Semuanya dikembalikan padaku karena jika toh memungut anak asuh, tentu aku yang akan merawat, memandikannya dan mengantarkan ke sekolah. Mungkin itulah alasannya ia tak mau memaksaku, meski ia juga tahu aku tersiksa karena belum memiliki momongan.

"Sudahlah, gak usah terlalu dipikirkan! Sudah jam tujuh, nanti kamu terlambat ke kantor!" rajuk suamiku dengan lembut, sementara tangan kanannya membelai rambutku yang terurai amburadul diderai gerak tidurku yang terbuai mimpi. Dan, kata-kata itulah yang membuatku bisa sedikit tenang dan bahagia menjalani hidup, meski dalam kehidupan kami belum ada suara tangis bayi yang selalu kudambakan....

Sebuah rumah tangga yang belum diberkati dengan seorang bayi dan aku amat, teramat sangat, mendambakannya.

***

PAGI itu, aku sengaja berangkat ke kantor dengan bus kota. Suamiku, memang sudah berungkali memaksaku untuk mengantar sebelum ia berangkat ke kantornya sebagai seorang desainer. Tetapi aku tetap ngotot untuk naik bus kota. Ia, akhirnya mengalah.

Saat berada di atas bus kota pagi itu, aku mengamati setiap jalanan. Bus kota melaju dengan pelan, seolah-olah berjalan merambat di jalan terjal padahal jalan itu datar. Kadang, malah berhenti sejenak, mencari penumpang. Terasa lambat sekali. Satu dua penumpang naik. Ada anak sekolahan berpakaian seragam. Ada ibu-ibu penjual sayur. Ada pula, seorang pegawai kantor kelas rendahan. Aku duduk di bangku belakang memperhatikan satu per satu penumpang yang naik dan turun. Aku tak khawatir terlambat ke kantor karena hari ini, sudah tidak ada lagi kerjaan yang membuatku tergesa-gesa ke kantor seperti pada hari-hari yang lain. Semua udah kubereskan kemarin sebelum aku pulang.

Tepat di sebuah perempatan jalan, gadis kecil dengan pakaian kumuh tiba-tiba naik dari pintu belakang. Wajahnya kusam, entah karena belum mandi atau debu jalanan telah menggoreskan jelaga pada raut mukanya. Aku memandang gadis itu dengan iba. Kasihan sekali, melihat gadis seusia dia tak mengenyam bangku sekolah. Ia tidak pakai seragam, tentunya. Setelah naik, ia berjalan ke depan dan dari saku di bajunya yang kotor dikeluarkan sebuah alat, entah apa. Aku tak tahu namanya. Sebuah kayu pendek tak lebih dari panjang pensil dan di sisinya dipasangi tutup botol.


Tak banyak kata, untuk sebuah prolog seperti saat aku memulai sebuah seminar, gadis kecil itu langsung menyanyi. Tak ada orang yang peduli seolah itu lumrah sebab memang sudah biasa dijumpai di atas bus kota. Aku mendengar nyanyian dari mulut gadis kecil itu, yang serak basah diterpa angin saat bus kota sudah melaju lagi. Tidak lama, nyanyian sudah berakhir. Ia mengeluarkan sebuah kaleng kecil dan berjalan, meminta imbalan. Satu dua orang memberikan uang receh.

Saat gadis kecil itu sudah berada tepat di depanku, baru tersadar... kalau aku lupa menyiapkan uang untuknya. Sambil kubuka tasku, kupersialahkan ia duduk di sampingku. Ia menurut, tangan kanannya masih menyodorkan sebuah kaleng kecil. Dengan cepat kilat, kurogoh uang dari dompet, dan aku tidak ingin melihat seberapa jumlah uang yang kuberikan.


"Kamu sudah makan?" tanyaku setelah kumasukkan selembar uang kertas tanpa aku mau melihatnya.

"Belum, tante! Tak terbiasa makan sepagi ini..."

"Apa ibumu belum memasak untukmu?"


"Ibu masak setelah aku pulang nanti karena dari situ kami baru bisa makan, tante."


"Lalu, ayahmu?" Kamu masih punya ayah khan?"


"Ibu bilang, ayah pergi jauh! Tapi, entah kenapa sampai sekarang tak kunjung juga pulang. Tapi kata orang sih, aku gadis yang tidak punya ayah, tante."

Deg! Hatiku hampir rontok oleh ucapan gadis kecil yang belum kukenal itu. Gadis berusia sekitar sebelas tahun, yang hidup di jalanan dengan jadi pengamen. Benarkah ia tak punya ayah? Barangkali benar kata orang, ia tidak punya ayah dan ibunya telah memaksa untuk kerja sebelum usia dewasa karena ia tak bisa mencari uang. Ia juga barangkali tak menyenyam pendidikan tinggi seperti aku. Jika benar, kasihan sekali gadis kecil di sampingku ini....

Aku lalu membelai rambutnya. Kumal. Penuh debu yang menempel di sana dan tanganku terasa terluka, bukan oleh debu yang mengotori tanganku, tetapi oleh bayanganku tentang ibunya. Seorang ibu yang juga bernasib sial dan dari nasib itu, gadis kecil yang di sampingku harus menelan getir jalanan, hidup terlunta. Aku tak bisa membayangkan seandainya aku menjadi dia.

Bus berhenti lagi di sebuah perempatan, karena lampu merah menyala mirip seperti bara. Bara api yang membuyarkan mimpi seorang wanita yang tak bisa menjadi ibu karena belum dikaruniai seorang anak.

Gadis kecil itu turun. Aku hanya bisa memandangnya dengan sorot mata yang tajam menghujam kumuh jalanan dan baju kotor yang telah menorehkan luka di perutku. Aku tiba-tiba merasa mual. Ingin muntah, bukan karena jijik oleh bau gadis kecil itu yang cukup sengak terciup di hidung, melainkan oleh ulah perasaanku yang meronta saat melihat gadis kecil itu beberapa hari yang lalu saat aku bersama suamiku melintas di sebuah perempatan dan melihat gadis itu menatapku dengan tajam.

Sejak itu aku merasa menjadi ibu bagi gadis kecil itu. Itulah alasan kuat yang membuatku ngotot naik bus kota, ketika suamiku mau mengantar pagi ini, karena aku mau memberikan sesuatu yang kupunya sekedarnya kepada gadis kecil itu. Ya, aku telah menjadi ibu angkatnya tanpa ia ketahui. Juga tanpa sepengetahuan suamiku dan ibu gadis kecil itu. Aku berjanji akan memberikan sesuatu padanya, setiap kali aku bertemu, meski aku bukan ibu kandungnya.***

Yogyakarta, Juni 04

Tidak ada komentar: