Jumat, 04 Januari 2008

perempuan berhati belati

cerpen ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 21 Juli 2007

SORE yang gamang di musim kemarau yang sudah menua. Matahari terlihat pucat dengan sinar lembayung yang jatuh pelan, mengusap kaca jendela dan merekas di dinding memantulkan cahaya pudar di dasar lantai. Angin berembus dari balik tirai jendela dan pembantu apartemen itu hanya mendesah. Rambutnya terburai diterjang angin. Jendela yang terbuka sejak pagi hari itu serasa menggenapi luka di wajahnya. Memar. Matanya lebam, merah menyala. Di tangannya, ada goresan yang legam.



Angin kembali berembus. Lalu dia melangkah ke jendela, tubuh tirusnya membayang di lantai membentuk bayangan memanjang. Sesampai di balik jendela, ia hanya termangu. Kini ia sadar bahwa ia tak lagi bermimpi bahwa merantau itu bisa mengumpulkan banyak uang. Padahal kontrak yang harus dia jalani masih jauh dari angan-angan. Tapi dia tak mau lagi menambah memar, lebam di pelipis matanya yang sudah menyala merah dan goresan di tangan.

Ia kembali melongok jendela, keinginan kabur dari apartemen seketika meneguhkan hatinya.

Angin sore kembali menerobos masuk jendela dan ia kembali mendesis. Dadanya sesak. Tetapi hamparan senja di luar mendidihkan luka di tubuhnya, menyanyat-nyanyat. Ia sudah kesal. Karena itulah ia ingin segera kabur dari neraka penyiksan itu. Jika dia bisa keluar, tak akan ada pukulan mendamprat wajahnya. Tidak akan ada lagi ketakutan bersitatap pandang dengan dua wajah angker majikannya yang membuat bulu kuduknya berdiri meradang.

Perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu, memang sudah lama digayuti keinginan untuk minggat. Tapi, setiap kali sore datang ia selalu tak punya nyali. Ke mana akan pergi jika negeri di mana ia dilahirkan sudah tak terjangkau? Tapi, apalah artinya mendekam di apartemen yang mirip neraka jika setiap tindakan adalah kesalahan yang bisa menambah luka?

Sesaat ia terpaku. Lalu ia melongok ke luar jendela, udara memberinya suatu keberanian. Tapi tatkala ia meneliti dengan cermat, di bawah hanya tampak mobil berlintasan seperti mobil-mobilan milik anaknya yang sempat ia belikan sebelum ia pergi ke luar negeri, ia seperti bergidik. Maklum, apartemen itu ada di lantai 15. Tubuhnya pun gemetaran. Keringatnya bercucuran.

Sore tampak muram. Luka di wajahnya serasa diiris. Sudah empat bulan dia hanya menghitung hari seakan berjalan lambat. Hanya dari sinar lembayung yang jatuh mengusap kaca jendela merekas di dinding lalu memantulkan cahaya pudar di lantai, dia menghitung hari yang ia lalui dari pagi yang suram, siang yang terik dan senja yang berganti malam. Jika malam tiba, ia menangis dalam sepi. Air matanya menitik ke lantai yang menjadi alas tidurnya.

Apartemen senyap, tidak ada wajah dua orang majikannya yang membuatnya takut bersitatap pandang. Ia tahu, senja itu dua majikannya sedang bekerja dan sebentar lagi akan pulang setelah gelap. Karena itu, ia ingin segera meninggalkan apartemen itu. Ia sudah bertekat. Langkah kaki menuntunnya beranjak ke kamar, lalu cepat-cepat ia mengambil seprei, selimut, tirai dan beberapa pakaian.

Pelan langkah kakinya meniti petak lantai dengan sendal jepit kusam yang meninggalkan jejak yang tersiksa. Di dekat jendela ia lantas menggulung seprei, selimut, tirai dan pakaian itu menjadi tali. Tapi saat semua kain sudah tergulung, kegamangan tiba-tiba membuatnya letih. Ia melongok ke bawah. Ia menarik napas panjang. Ia berusaha menenangkan gemuruh.

Lalu, ia mengikatkan kain pada sebuah pipa. Ia tak mau membuat sepi menjadi runyam. Maka di sore itu, ia mengangkat kaki duduk di bahu jendela sebelum kakinya terjuntai dan tak lagi menyentuh lantai. Pelan-pelan ia kencangkan ikatan meski tangannya gemetaran. Setelah ikatan kain diyakini tidak lepas, kembali kebimbangan membuncah. Ia mematung di jendela. Untung tubuhnya tidak terjatuh saat angin berhembus kencang.

Setelah menemukan hatinya tidak bergemuruh, dia turun ke bawah. Turun dari jendela dengan berpegangan kain, pelan-pelan, dia merambat turun, meski kedua tangannya serasa berat menanggung tubuhnya yang bergelantungan.

***

KISAH manis tentang orang yang bekerja di negeri orang, memang membuatku seperti tergiur. Air liurku metitik, setiap kali tetanggaku juga adik perempuanku yang bekerja di negeri orang mengirim uang ke rumah, aku seperti ditusuk belati, apalagi aku kakaknya yang sudah dilahirkan lebih dahulu dan dibesarkan dengan pedih oleh ibu tetapi belum bisa membalas jerihnya. Maka aku ingin mengikuti jejak adikku.

Suamiku hanya seorang petani. Hidup kami sederhana. Apalagi, perjalanan hidup kami setelah buah hati kami lahir dan tumbuh besar, membuat kami kian sedih. Meski kami kerja keras membanting tulang, sayang kerja keras suamiku sebagai petani tak bisa mengubah jalan hidup kami. Anak sulungku pun harus keluar sekolah karena kami tidak bisa membayar SPP. Harga barang melambung tinggi. Maka, aku kemudian pergi ke negeri orang menjadi pembantu rumah tangga.

Tetapi kisah manis orang yang kerja di negeri orang yang bisa mengumpulkan uang mudah lalu dikirim ke rumah ternyata ibarat mimpi di siang bolong. Sejak aku kerja, jangankan mengirim uang ke rumah, menggenggam gajiku belum pernah aku terima. Pekerjaan yang harus kutanggung justru di luar kemampuanku. Bayangkan! Dari pukul enam pagi, aku membersihkan rumah, mencuci dan mengerjakan hal-hal remeh lain hingga menata dan menyiapkan dokumen majikanku sebelum orang bermuka angker itu marah jika aku berbuat salah. Aku baru bisa tidur, setelah jam dua dini hari dengan alas di lantai.

Aku selalu termenung sebelum tidur. Untuk apa aku kerja jika tak dihargai justru diperlakukan kasar. Aku disiksa, ditampar. Meski hanya melakukan kesalahan kecil yang tidak berarti, seperti sehelai rambut yang jatuh tercecer di lantai, aku bisa dipukul dengan keras. Mukaku memar, mataku pun lebam akibat pukulan. Kedua majikanku tak memiliki belas kasihan. Sejak empat setengah bulan bekerja, aku pun tak digaji. Makan hanya sekali sehari dan aku pun tak diizinkan menjalankan ibadah.

Hatiku pedih dan aku harus meninggalkan apartemen di sore yang gamang di musim kemarau yang sudah menua itu....

***

SORE yang gamang di musim kemarau yang sudah menua. Matahari terlihat pucat dengan sinar lembayung tua jatuh pelan mengusap kaca jendela apartemen, merekas di dinding memantulkan cahaya pudar. Jerit pembantu apartemen itu pun membuat orang-orang yang melihat tubuhnya bergelantungan, segera berdatangan.

Tak jauh dari tempat itu, seorang pelatih petugas pemadam kebakaran sedang latihan. Tetapi tiba-tiba telpon genggam di pinggangnya menyalak. Ia terima panggilan. Suara di seberang memerintah dia untuk segera datang ke tempat keributan. Ia langsung berlari kencang dan saat melihat keributan di bawah apartemen, ia tercengang ada orang bergelantungan. Ia menyangka, orang itu akan bunuh diri!

Dia menarik napas panjang, lalu berlari ke atas apartemen. Sejenak kemudian, ia sudah ada di atas dan pelan-pelan turun menggunakan seutas tali. Ketika ia dekat dengan perempuan itu, ia tersadar setelah melihat luka di wajahnya. Ia mendekat, dan perempuan itu lalu mendekapnya erat-erat.

Ia rasakan napas perempuan itu naik turun. Lalu ia rengkuh tubuh perempuan itu dibawa turun ke bawah.

***

SESAMPAI di bawah apartemen, aku bernapas lega. Matahari yang terlihat pucat dengan sinar lembayung yang jatuh pelan, mengusap kaca jendela apartemen, dan merekas di dinding memantulkan cahaya pudar, sudah tak membuatku bergidik. Aku masih diberi umur panjang. Aku tak membayangkan jika aku bisa selamat.

Ceritaku heboh. Aku seakan seorang pahlawan yang berani menempuh maut, hanya ingin kabur dari apartemen. Tetapi, aku masih menunggu keputusan kepulanganku saat matahari tidak lagi terlihat pucat. Aku tak tahu kapan matahari tak terlihat pucat sebab sejak aku tinggal di apartemen majikanku, aku selalu melihat dari balik tirai, matahari selalu tampak pucat dengan sinar lembayung tua yang jatuh pelan mengusap kaca, lalu merekas di dinding memantulkan cahaya pudar di lantai.

Aku tak mau melihatnya lagi. Aku ingin segera pulang ke tanah air...

***

TANGIS perempuan yang menghebohkan itu, akhirnya pecah tatkala ia menjejakkan kakinya di bandara tanah air. Saat ia menuruni tangga pesawat, jauh di pelupuk matanya, sejumlah orang tampak terharu menahan tetes air mata. Ia mengitarkan pandang, wajah orang yang sudah lama tak dilihatnya, menanti dengan cemas.

Tak ia diduga, bocah cilik berusia 5 tahun, anak bungsunya, berlari membawa sekuntum bunga menyongsongnya. Ketika berhadapan dengan ibunya, bocah cilik itu menyorongkan bunga dengan tangan gemetaran. Dari mulutnya tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Setelah itu, tangisnya meledak saat ibunya yang baru datang dari negeri orang itu menggendong dan menciumnya lembut.

Semula perempuan itu berusaha untuk tegar. Tapi ketika sang suami datang dan memeluknya, derai tangisnya seperti tak terbendung. Tapi sore itu, langit memang tidak lagi gamang seperti musim kemarau yang sudah menua di negeri orang tempat ia menjadi pembantu rumah tangga. Karena kini, ia sudah menginjakkan kaki di tanah air.

***

TIBA-TIBA, tanpa kusadari air mataku menitik. Dari layar televisi, aku tak bisa membayangkan tekat perempuan itu ketika menuruni apartemen lantai 15 dengan sambungan tali yang digulung-gulung dari kain seprei, tirai, pakaian dan selimut.

Aku merinding. Sebagai lelaki, aku jelas belum tentu berani melakukannya.

Aku sepenuhnya tahu, perempuan itu sungguh berhati belati. Karena ketika itu aku tak sedang menonton film, tetapi berita tentang seorang perempuan pembantu rumah tangga di negeri orang yang ingin kabur lantaran tidak kuat disiksa kedua majikannya yang sungguh kejam. Sore itu, aku menengok ke luar jendela, langit tidak lagi gamang seperti musim kemarau yang sudah menua di negeri orang.

Cerita untuk Ceriyati, di Brebes
Cileungsi, Juni 2007

Tidak ada komentar: