Selasa, 01 Januari 2008

menantu jauh


cerpen ini dimuat Sinar Harapan, Sabtu 5 Mei 2007


"Kelak, kalau kamu lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, ibu cuma tak ingin melihat kamu tiba-tiba pulang mengajak seorang gadis dari pulau seberang yang kau perkenalkan kepada ibu sebagai calon istrimu. Jika ingin mencari jodoh, tak usah jauh-jauh! Nanti bisa merepotkan," pesan ibu pendek saat aku mencium khitmat tangannya untuk meminta doa restu sebelum berangkat ke kota melanjutkan kuliah.



Sungguh, tangan ibu yang biasanya dingin tiba-tiba kurasakan mengalirkan hawa nyenyat. Aku memandang ibu dan ibu juga memandangku. Aku tidak mampu mengangguk dan menggelengkan kepala! Bagaimana mungkin aku sampai jauh memikirkan soal pernikahan, sementara kuliah saja belum sempat aku jalani? Aku justru iba melihat ibu yang nyaris menitikkan air mata ketika ingin melepasku pergi dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah.

Tetapi, siapa yang tahu jodoh seseorang? Bukankah jodoh, rezeki, dan kematian itu berada di tangan Tuhan? Karena itu, setibaku di kota, aku menjalani kuliah dengan sungguh-sungguh. Aku hanya tak ingin mengecewakan ibu. Itu saja! Tetapi dua tahun kemudian saat aku aktif kegiatan extrakampus dan hatiku terjerat pesona seorang gadis manis asal Kalimantan, Fitri, kami pun kemudian memutuskan untuk pacaran secara diam-diam. Setiap pulang ke rumah ketika liburan, aku pun tidak pernah bercerita kepada ibu kalau aku dekat dengan Fitri. Aku selalu berbohong, jika aku tak memiliki pacar.


Tetapi kami berdua, jelas tak mungkin berbohong untuk selamanya. Apalagi, setelah aku lulus, mendapatkan pekerjaan di Jakarta dan orangtua Fitri selalu mendesak kami agar segera menikah. Aku tidak bisa mengelak. Aku tak bisa bertindak pengecut. Akhirnya kuajak Fitri pulang ke rumah. Sengaja, aku pulang tak memberitahu ibu terlebih dulu, karena aku takut ibu akan menolak Fitri mentah-mentah. Aku mengenal watak ibu. Ibu cukup keras.


Setibaku di rumah, mungkin itu merupakan satu malam yang teramat ruyam bagiku. Ibu belum tidur saat aku tiba. Aku masih ingat! Kulihat ibu ada di kamar. Aku masuk ke dalam, meraih tangan ibu, lalu menciumnya dengan khitmad dan takut.


"Tumben, kamu pulang malam-malam begini, bahkan tanpa memberitahu ibu terlebih dahulu! Gimana kabarmu...?"


"Baik, bu! Gimana juga dengan ibu? Pasti ibu sehat, khan?


Ibu mengangguk. Aku langsung menggeret tangan ibu keluar dari kamar seraya berbisik. "Aku datang ingin memperkenalkan pada ibu, seorang perempuan yang baik. Pasti ibu akan senang jika nanti melihat dan mengenalnya lebih dekat...."

"Siapa perempuan itu? Dari mana dia?" tanya ibu dengan muka terkejut.

Tubuhku serasa dijalari ketakutan yang sungguh luar biasa. Hatiku ciut. Tetapi aku sudah siap menerima murka ibu. Dengan tangan gemetar, aku lalu menuntun ibu ke ruang tamu. Fitri yang sedang duduk termangu langsung menyambut tangan ibu, menyalaminya dengan lembut, "Saya ini Fitri, bu, dari Kalimantan." Fitri tercekat, tak mampu meneruskan kata-kata yang sudah kami susun sebagai skenario. Mungkin amat berat baginya untuk mengucapkan kata semanis apapun, apalagi di depan ibu yang sudah terlihat muram. Karena itu, aku segera menimpali, "Bu, teman perempuanku ini calon menantu ibu yang sengaja aku ajak pulang agar ibu bisa mengenal lebih dekat."


Ibu terperanjat kaget, diam. Tetapi, sorot mata ibu tidak berpaling dari gadis yang lagi berdiri di hadapan beliau, mengamatinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan rona wajah ibu berubah. Tak pernah kulihat muka ibu jadi seram seperti malam itu. Aku masih ingat, ibu lantas mempersilahkan Fitri duduk di ruang tamu dan menggeretku ke arah dapur.


Sungguh, tidak aku bayangkan ibu akan murka segarang itu. Juga, belum pernah aku lihat ibu memarahiku sampai sedahsyat itu. Aku seakan bukan lagi anaknya, yang diumpat dan dimarahi dengan cukup kejam. Aku hanya mengingat, kalau semua ucapan ibuku yang kasar tumpah ke mukaku. Seakan, aku ini tong sampah yang menjadi tempat pembuangan dari kekesalan dan kekecewaan ibu terhadapku. Aku diam. Di ruang tamu, aku tahu Fitri pasti mendengar semua itu dengan jelas. Dan, seperti janjiku yang pernah kuucapkan pada Fitri sewaktu aku bujuk dia pulang, aku akan membelanya mati-matian. Ia sudah aku pilih sebagai calon istriku.

"Ibu, maaf kalau anakmu ini lancang tidak menuruti pesan ibu, tetapi tolong tahan amarah ibu selama Fitri ada di rumah ini. Ia tamu, bu! Tidak baik kita tak menunjukkan sikap hormat kepadanya!"


Entah apa yang ada di pikiran ibu. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu ibu tiba-tiba luluh. Aku lihat muka ibu keperakan, terkena tempias cahaya lampu neon di ruang tamu. Aku lihat ibu tidak lagi sangar. Aku memang sudah mengenal watak ibu. Sehabis marah, biasanya ibu tak lagi menyimpan dendam. Dan ibu adalah orang yang cepat berubah pikiran. Aku tidak kaget dengan watak ibu!

"Kamu sudah mantap, mau menikahi Fitri?" tanya ibu kemudian, yang membuatku terhenyak.

"Ya, bu! Dia adalah pilihanku satu-satunya" jawabku, tak ragu.

"Kalau memang sudah jadi keputusanmu, ibu tak bisa melarangmu! Ibu hanya berpesan, kelak jika kamu sudah berkeluarga, sempatkanlah menjenguk ibu kalau ada waktu. Ibu tidak ingin kehilangan kamu! Apalagi ketika lebaran tiba, kamu tak pulang dan tak ada di sisi ibu! Saat itu, ibu pasti sedih!"

Aku langsung menciumi pipi ibu, dan dengan girang segera berlari ke ruang tamu. Fitri terpaku dan bengong saat menatapku yang tiba-tiba muncul dari pintu dapur dengan mata yang berbinar...

***

KINI aku dan Fitri sudah enam tahun hidup berumah tangga dan sudah dikaruniai seorang putri yang manis dan seorang lelaki yang tampan. Kehadiran dua buah hati kami itu, tentunya membuat kami bahagia. Meski kami tidak tergolong keluarga kaya, karena aku hanyalah wartawan yang berpenghasilan pas-pasan --apalagi hidup di kota metropolitan-- dan Fitri hanya seorang guru di sebuah sekolah swasta, tapi kami hidup berkecukupan. Kami, selalu masih dapat menyisakan uang mudik ke kampung halaman masing-masing, membawa oleh-oleh, memberi uang kepada keluarga yang tinggal di kampung meskipun harus mudik secara bergiliran dari tahun ke tahun.

Seperti lebaran kemarin, kami sekeluarga sudah bersilaturahmi menjenguk ibu di Sidoarjo dan sesuai kesepakatan antara aku dan Fitri, berarti pada lebaran tahun ini, kami harus mudik ke kampung halaman Fitri di Kalimantan. Tetapi, tiga minggu menjelang lebaran tiba, aku bimbang. Bagaimana aku membujuk Fitri juga kedua anakku agar batal mudik ke Kalimantan. Sebaliknya, aku akan ajak mereka, mudik ke Sidoarjo. Tak mungkin aku mudik ke rumah mertuaku di Kalimantan sana, sementara ibu yang sudah sepuluh tahun ditinggal pergi ayah dan kini hidup bersama kakakku (istrinya dan satu anaknya) di Sidoarjo sedang dilanda kesusahan.

Empat bulan lalu rumah ibu di Sidoarjo terendam lumpur panas. Ibu terpaksa harus mengungsi. Untung dua bulan yang lalu, ibu mendapat uang ganti rugi untuk mengontrak rumah. Karena itu, lebaran tahun ini aku bertekat akan mudik ke Sidoarjo untuk menjenguk ibu.


"Jumlah uang THR mas kok masih utuh?" celetuk Fitri, tatkala menemukan amplop THR-ku di almari yang masih tersimpan rapi, tepat tiga minggu menjelang lebaran. "Mengapa dari dulu mas selalu saja telat untuk pesan tiket! Coba kalau kehabisan! Apa kata ayah dan ibu di Kalimantan sana! Pasti ibu dan ayah Fitri akan mengira kalau kita ini...."

"Kalau kita ini tak lagi punya uang?" potongku, menggoda Fitri.

"Ya, jelas dong!!!"

"Lho..., siapa bilang kita tak punya uang? Aku sudah beli tiket untuk mudik, dan uang THR-ku bahkan masih utuh. Aku juga masih memiliki tabungan. Tetapi...," rasanya berat sekali aku membuka mulut, "Tiket yang aku beli untuk lebaran kali ini tidak untuk mudik ke Kalimantan, tetapi ke Sidoarjo."

"Apa? Mas tak sedang bercanda, khan?"

"Tidak!" ucapku seraya mengambil tiket Jakarta-Surabaya PP dari dompetku.

Fitri meraih tiket yang aku sodorkan, lalu membacanya dengan teliti dan kulihat wajah istriku langsung berubah merah merona. "Tahun kemarin, khan, kita sudah lebaran ke Sidoarjo, mengapa kini ke Sidoarjo lagi? Ini tak adil!" bantah istriku! Ia berang, lalu berdiri dan berkacak pinggang.

Aku mendekat, dan memegang kedua tangan istriku. Matanya menatap tajam ke arah mataku.

"Sayang, kita jelas tidak bisa senang-senang di Kalimantan saat ibu sedang kesusahan. Apabila lebaran tahun ini kita tak ada di sisinya. Saya tak dapat membayangkan kepedihan yang akan dirasakan ibu!" bujukku, lembut.

"Tapi sejak rumah ibu tenggelam lumpur, mas khan sudah dua kali menjenguk ibu? Bagaimana aku nanti menjawab pertanyaan ayah dan ibu jika mereka bertanya, kapan kita mudik?"

"Kemarin aku menjenguk ibu sewaktu beliau masih tinggal di pengungsian. Tapi kini ibu sudah mendapat uang ganti rugi untuk sewa rumah. Jadi, ibu kini tinggal di rumah kontrakan. Apa tidak perlu kita tahu seperti apa kontrakan ibu, menjenguk dan menghibur ibu agar tidak larut sedih di hari lebaran tahun ini? Aku janji, dua lebaran besok akan kubayar. Kita mudik ke Kalimantan dua kali berturut-turut. Aku yakin, ayah dan ibumu pasti memaklumi kondisi ini," rayuku.

Fitri diam. Ia menatap kembali mataku. Aku merasa takut. Aku beranikan menantang tatapan matanya. Dia, akhirnya mengangguk. Kulihat kecantikan istriku bersemi tak merona merah. senyumnya pecah dari bibir mungilnya yang membuatku teringat kembali saat-saat dulu, kami masih pacaran. Aku lega dan kelembutan hati Fitri itulah yang dulu meneguhkanku bahwa aku tak salah memilihnya sebagai istriku.

Tetapi aku pasti bingung kalau nanti dua buah hatiku, Galang yang berusia 3 tahun dan Bunga, adik perempuannya yang berusia satu setengah tahun bertanya padaku.

***

DUA hari menjelang lebaran, akhirnya kami sekeluarga mudik ke Sidoarjo. Ibu senang. Ibu tak menduga kami akan mudik ke Sidoarjo sehingga menyambut kami dengan riang. Kakakku --beserta istri dan satu putrinya-- juga turut gembira. Aku melihat melihat aroma kegembiraan mereka ketika sedang menyambut kedatangan kami. Terlebih kehadiran Galang serta Bunga di sisi ibu, nenek mereka, seakan menjadi obat kesedihan beliau, yang sedang dirundung malang. Ibu nyaris selalu bercanda dengan kedua anak kami, seakan lupa dengan rumah lama beliau yang telah tenggelam lumpur.

Tapi kebahagia itu rupanya tak berlangsung lama. Lima hari kami sekeluarga tinggal di rumah kontrakan ibu yang sempit, rupanya mulai jadi masalah bagi anak kami. Bagaimana tidak jadi masalah saat rumah kontrakan ibu yang hanya memiliki dua kamar itu harus dihuni oleh delapan orang?

Tepat di malam kelima, tatkala kami menginap di rumah kontrakan ibu, Galang terbangun dan menangis. Dengan wajah kusut, ia tiba-tiba keluar dari kamar lalu memeluk ibunya, "Mama, kapan kita balik ke Jakarta? Rumah nenek jelek. Galang tak bisa tidur..."

Kami semua ketika itu sedang berkumpul di ruang tengah. Aku terperanjak, kaget. Kami saling melempar pandang. Aku melirik ke arah ibu. Kakakku, juga melirik ke arah ibu. Semua mata tertuju ke arah ibu. Ibu tersenyum. Aku tak ingin ibu mendengar ucapan Galang. Tetapi, itu tak mungkin. Ibu jelas mendengarnya!

Aku berdiri, lalu beranjak keluar halaman. Aku pandangi bentangan tanah luas di depan rumah kontrakan ibu, sepenuhnya genangan lumpur....***

Lasem - Cileungsi, akhir Ramadhan 1427

Tidak ada komentar: