Jumat, 24 Juli 2009

gerimis di senja ramadhan

cerpen ini dimuat di majalah Anggun edisi 9/II/Okt 09

SETIAP kali menjelang senja, Juwita selalu bangun seakan ia menemukan sebuah pagi yang mencemaskan. Mirip sebuah pagi yang dijumpai Juwita, sewaktu ia masih duduk di bangku sekolah dasar saat ia harus bangun dengan rasa galau karena menemukan matahari akan segera terbit dan ia harus mandi, memakai baju seragam lantas sarapan sebelum pergi ke sekolah. Sebuah pagi yang tak mungkin ia lupakan, nyaris sama seperti senja hari yang kini ia temui, setelah bangun di petang hari yang cukup melelahkan. Alangkah risaunya Juwita, ketika bangun tidur lalu melongok keluar jendela, ia menjumpai matahari sudah tenggelam.


Begitulah Juwita menjalani hidup. Seperti di senja ini saat ia bangun dari tidur. Ia terpaksa bangkit melangkah ke sudut kamar, mengambil handuk di dekat almari, lalu masuk ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, ia menyembul dari balik kamar mandi dengan tubuh yang dililit handuk, rambut panjang yang tergerai basah serta bau segar dari aroma wewangian yang menyeruak ke penjuru kamar. Ia lantas masuk ke kamar yang hanya dipisahkan dengan tembok, duduk di depan cermin untuk sekedar bersolek.

Duduk di depan cermin, Juwita bersolek agar terlihat secantik mungkin tak beda dengan kesiapannya sebelum pergi ke sekolah ketika masih kecil dulu. Ia harus terlihat mempesona, jelita dan menarik tetapi bedanya kali ini harus tampil menggairahkan dan sexy. Karena itu, ia membaluri ketiak dengan rexona, menjentikkan bulu mata, menghitamkan alis sebelum mengambil pakaian di almari dan memilih yang pantas untuk dikenakan. Di depan cermin ia berkacak pinggang sebelum kembali duduk lalu memoleskan bedak dan merias seraut wajahnya dengan kosmetik, lalu berakhir dengan ritual menggoreskan lipstik di bibir mungilnya yang selalu basah.

Di luar kamarnya, senja belum sepenuhnya gelap. Dia memandangi cermin untuk memastikan yang kurang dari riasan di senja itu seraya mengambil tas di bawah laci di meja rias, memasukkan celana dalam yang sudah dipersiapkan juga cermin kecil, bedak dan alat rias lain yang dibutuhkan sepanjang malam selama ia ada di luar nanti.

Lama ia bersolek, tiba-tiba hari sudah berganti petang. Langit nyaris pekat, hitam dan dia akhirnya keluar kamar, melangkah ke jalan raya, menunggu bus yang akan membawanya ke suatu tempat. Tak ada tetangga Juwita yang tahu, ke mana ia pergi. Juga tidak ada orang di sekitar kontrakannya yang tahu, apa pekerjaan Juwita. Orang-orang di sekitar kontrakannya hanya tahu Juwita pergi sebelum malam dan selalu pulang ketika hari menjelang pagi.
***

TETAPI hampir dua minggu selama bulan Ramadhan ini setiap kali Juwita bangun dari tidur siang saat menjelang petang ia tak lagi menemukan pagi yang mencemaskan seperti dulu, ketika ia masih kanak-kanak. Ia nyaris tak beranjak dari ranjang meski hari sudah petang. Dia hanya melongok keluar jendela, lalu menggeliat. Dengan sebal, menengadah ke langit-langit. Tak dapat dibayangkan, kalau kini dia harus menghabiskan malam di kamar kontrakan sejak peristiwa di malam pertama bulan Ramadhan itu membuat Juwita takut dan bergidik.

Malam belum larut ketika awal bulan Ramadhan itu, ia berdiri mematung di luar pagar sebuah gedung tua. Di angkasa tak ada bulan, langit sepenuhnya berwarna seperti kerak habis terbakar. Hanya percik bintang-bintang, menyala di hamparan langit. Hati Juwita pedih mirip hamparan langit yang hitam legam. Malam terlihat murung, tak satu pun lelaki yang mengajaknya pergi dari gedung tua itu sejak ia datang di petang itu.

Dia sebenarnya tahu, di malam bulan Ramadhan itu seharusnya dia tidak berangkat karena di malam Ramadhan itu selalu jadi musim paceklik. Tetapi, ia harus berdiri dan mematung di pinggir keremangan jalan karena di hari lebaran nanti dia harus pulang ke kampung membelikan baju baru buat anaknya dan biaya untuk mudik. Karena itu, ia terpaksa pergi meski malam itu malam pertama pada bulan Ramadhan. Dia harus berdiri mematung di luar pagar gedung tua, menanti laki-laki yang akan membawanya pergi entah ke mana dan ia bisa pulang membawa sejumlah uang setelah menukarnya dengan cinta.

Dengan cinta? Ah...., Juwita tak tahu! Apakah yang Juwita berikan itu cinta atau sekedar gairah. Karena bagi wanita desa seperti Juwita sudah cukup menderita ketika mempercayai laki-laki yang datang dan menawari akan menikahi Juwita. Ia tahu, jika tawaran itu seperti gigitan nyamuk, yang pada malam itu mulai mengerubuti kaki dan tangannya, serupa luka yang meninggalkan kepedihan saat seorang lelaki yang dia percayai tiba-tiba pergi dan hilang tanpa jejak. Padahal, dalam perut Juwita ketika itu sudah tersimpan janin. Ia pun terpaksa merawat bayi yang lahir dari buah lelaki itu sejak lima tahun lalu.

Malam kian muram saat di sebuah masjid sebelah gedung tua, terdengar keriuhan orang melaksanakan shalat tarawih. Dan bersamaan dengan keriuhan di masjid itu, sekelompok orang memakai seragam tiba-tiba datang. Sayup-sayup ia sempat mendengar derap langkah sepatu lalu disusul teriakan, "Lari. Lari!!!!"

Tidak sempat dia berlari jauh atau bersembunyi di gedung tua, seorang petugas telah menarik tangannya. "Mau lari ke mana kau pelacur tengik?"

"Ampun pak, mohon saya jangan dibawa ke kantor!" pekik Juwita.

Tapi petugas itu seperti tak mendengar teriakannya. Ia digeret paksa, dinaikkan dalam sebuah truk. Untung, esok paginya, Juwita dilepaskan. Dengan jaminan tidak akan berdiri mematung lagi di pagar gedung tua dalam keremangan malam. Tetapi, hati Juwita tersayat. Bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk pulang kampung saat lebaran tiba kalau tak kembali berdiri mematung, menunggu di keremangan malam untuk menanti lelaki yang mau membawanya pergi?

Senja belum gelap. Ia tergeragap dari lamunan saat mendengar teriakan anak-anak di luar kamar, menjerit serta berteriak kencang. Ia menelungkupkan tubuh, meraih bantal untuk menumpahkan air matanya yang perlahan mulai jatuh. Sebuah air mata kepedihan yang telah dia simpan nyaris lima tahun lalu. Dan, rengekan anak-anak yang menolak diajak pulang ketika ibu-ibu mereka berkata hari sudah senja, terasa menyanyat kerinduan Juwita untuk bisa memeluk Atika, putrinya yang tinggal di kampung terpencil dan jauh dari pelukan.

Ia tersedu. Air matanya mengalir deras, tatkala senja nyaris berganti petang.

***

"APA sebenarnya pekerjaanmu di kota, Nduk?" tanya ibu Juwita, di hari lebaran tiga tahun lalu, ketika ia pulang ke rumah.

"Ah ibu, bukankah Juwita sudah bercerita berkali-kali kepada ibu jika Juwita kerja di sebuah salon kecantikan!" jawab Juwita, sedikit jengah. "Lagi pula, untuk apa ibu perlu tahu segala?"

"Jelas, Nduk! Ibumu harus tahu. Kamu tidak tahu perasaan ibu, setahun ini orang-orang di kampung seperti sengit melihat ibumu.." tegas ibunya, "Ibu hanya tak ingin mendengar kalau yang diceritakan orang-orang itu benar, bahwa kamu itu sebagai...?" Hampir saja ibunya meneruskan ucapannya tetapi tercekat rasa pedih.

Ibu Juwita, akhirnya hanya memandangnya dengan perasaan serba salah.

"Sebagai pelacur...?!? Ibu percaya dengan cerita bohong itu?"

Juwita membuang muka. Lalu berdiri, melangkah ke kamar. Hatinya luka, pedih dan perih. Omongan orang di kampungnya seperti runcingnya bambu runcing yang tajam telah menggores tepat di kulit Juwita. Tapi ia tak bisa berbohong. Memang dulu sempat bekerja di sebuah salon kecantikan, tetapi tuntutan hidup di kota tak dapat menjadi gantungan kalau ia harus bertahan bekerja di salon sehingga empat tahun lalu ia memutuskan hidup di keremangan malam dan menanti lelaki yang akan membawanya pergi ke mana saja, asal dia bisa pulang membawa sejumlah uang!

***

SENJA itu, mendadak, Juwita tiba-tiba teringat ibunya di kampung. Air matanya seperti tak terbendung lagi, tumpah membasahi bantal. Ingin ia pulang secepatnya agar bisa mencium telapak kaki perempuan yang telah melahirkannya, minta maaf dengan tulus. Apalagi, kini tinggal ibunya semata sebagai orangtua satu-satunya yang dia miliki sejak lima tahun lalu, ayahnya meninggal setelah mendengar ia hamil tanpa lelaki yang akan menjadi ayah Atika, anak yang lahir dari rahim Juwita.

Tapi, keinginan untuk pulang itu justru membuatnya kian pening. Sudah dua minggu di bulan Ramadhan ini dia tidak mendapatkan sepersen pun uang. Dan dia tak lagi memiliki tabungan, karena selalu terkurang habis lantaran setiap awal bulan Juwita selalu mengirim uang ke rumah guna mencukupi kebutuhan anak semata wayangnya dan ibu kandungnya di kampung. Ia tak habis pikir, bagaimana mendapatkan uang untuk pulang di hari lebaran nanti? Juga bagaimana dia dapat uang guna membelikan baju baru buat anaknya saat lebaran nanti jika ia pulang ke kampung?

Adzan maghrib berkumandang. Juwita menarik napas panjang, dan menyeka air matanya yang masih tersisa. Ia melangkah sempoyongan ke arah meja, meraih gelas, lantas menuangkan botol aqua yang masih separuh. Petang itu ia berbuka puasa, dengan hanya minum air putih dari aqua dengan bibir gemetar.

Di luar, gerimis tiba-tiba turun, membuat Juwita ingin menangis lagi. Juwita tidak tahu, apa yang akan terjadi esok pagi. Air matanya sudah seperti gerimis yang turun di senja bulan Ramadhan itu. Dia merasakan pedih. Gerimis di senja Ramadhan itu membuatnya sadar sehingga dia memutuskan untuk pergi ke masjid guna melaksanakan tarawih di malam itu, dan bertekat akan meminta maaf kepada ibunya di hari lebaran nanti, tatkala pulang ke kampung meski dia tahu dia pulang tanpa membawa uang.***


Cibubur, Ramadhan 1427

3 komentar:

KELUARGA ARI WIBOWO mengatakan...

aku suka cerpen Om Mursid, dia punya kegigihan sebagai seorang browser di alam imajinasi tokoh-tokoh yang ditulisnya, and detail, alur cerita juga ga mboseni. cuman Om kita kok disajikan tema2 yang klasik banget. Ya oke lah masalah sosioreligio itu ga habis digali, tapi temanya yang sedikit dibalut dengan setting kejadian realita yang up to date mungkin lebih OK Om,,, salam dari keponakanmu Azis-Mataho

Sophal J. mengatakan...

bagus kang, aku suka...

penulis mengatakan...

@keluarga ari: nek awakmu kurang terima, suatu saat aku tulis jadi cerita loh....

@ sophal j: makasih, kawan