Selasa, 20 November 2007

Merindukan Buku Pendobrak dan Langgeng

(Tulisan Tanggapan buat Ahmad Fatoni)
Oleh: n. mursidi *)


KERINDUAN Ahmad Fatoni (Merindukan Buku Jaminan Mutu, Surya Minggu, 17/06/07) terhadap buku-buku yang bermutu di tengah euforia perbukuan Indonesia sejak reformasi bergulir sembilan tahun lalu memang menjadi harapan bagi pembaca dan penggila buku di seantero negeri ini. Tapi, harapan itu ternyata kekecewaan. Karena buku-buku yang beredar di pasar dan dijejer di sejumlah toko buku, nyaris dipenuhi dengan buku-buku yang tak bagus (meski tak seluruhnya), alias mutunya tak menjadi jaminan. Wajar jika Ahmad Fatoni --saya juga pembaca di Indonesia-- kemudian geram!



Kegeraman Ahmad Fatoni itu, tak lain lantaran dunia perbukuan kita lagi "dijangkiti" penyakit akut berupa kelatahan. Pertama, demi meraup untung, sebagian penerbit lantas latah menerbitkan buku asal-asalan dan kurang menggugah. Semisal, setelah buku Jakarta Undercover (Moammar Emka) meraih sukses, penerbit lain ikut menerbitkan buku serupa. Kedua, kelatahan lain juga terjadi pada judul buku. Salah satu kasus, ketika penerbit Qisthi Press berhasil meraih penjualan buku La Tahzan (Aidh Al-Qarni) secara fantastis, penerbit lain pun ikut-ikutan menerbitkan buku dengan judul nyaris serupa, seperti La Taghdhab (Jangan Marah), La Takhaf (Jangan Takut) La Tanza (Jangan Lupa).

Selain penerbit, pengusung ide (penulis buku), parahnya tak mampu mendobrak kebuntuan itu. Dengan latah pula, Ahmad Fatoni mensinyalir jika penulis pun latah ingin menjadi penulis, asal menulis (meski saya tahu tidak sepenuhnya penulis demikian), untuk numpang nama, dan mencari status sosial. Dengan konteks itu, maka wajar jika kemudian buku-buku yang beredar dan berjejer di rak toko adalah setumpuk buku yang dipenuhi buku-buku kurang bermutu. Sungguh menyedihkan!

Karena itu, menurut Ahmad Fatoni, dibutuhkan ketajaman melihat arus perubahan zaman baik bagi penerbit maupun penulis supaya tidak sekadar menerbitkan buku-buku yang laku di pasaran, tetapi harus diimbangi dengan kualitas dan mutu yang baik. Tapi di balik ketajaman itu, Ahmad Fatoni seperti terjebak pada kerinduan semata, tanpa ada jalan keluar bagaimana melahirkan buku bermutu, terlebih buku yang bisa mendobrak pasar sekaligus bisa langgeng.

Mendobrak Kejenuhan
Di tengah kejenuhan pembaca setelah digencar dengan buku-buku serupa hasil investigasi seks karya Moammar Emka dan buku-buku fiksi yang berbau seks dan menggoda sahwat seperti novel Saman (Ayu Utami) dan Jangan Bermain-main dengan Kelaminmu (Djenar Maesa Ayu), dunia penerbitan tanah air "boleh lega" dengan kahadiran sastrawan Habiburrahman El-Shirazy yang merilis novel dengan corak lain, Islami dan mampu mendobrak kejenuhan itu. Kehadiran novel Ayat-ayat Cinta pun seakan mengisi kehausan minat pembaca. Alhasil novel dengan setting Mesir yang memesona itu pun meraih sukses.

Akan tetapi dobrakan El Shirazy itu harus diakui baru sebatas kejelian membangun warna baru dari kecenderungan pasar yang sudah digelontor dengan novel-novel bertema seks. Bisa dipahami, jika sambutan pembaca seperti diguyur air saat tatkala pasar sudah lama 'digantang' dengan terik panasnya buku-buku berbau seks sehingga novel "Ayat-ayat Cinta" sekan membawa angin surga yang menawarkan kesejukan dan pencerahan.

Tetapi, sayang! Seiring dengan itu, lagi-lagi "kelatahan" penerbit dan juga penulis di Indonesia tak serta merta tersadarkan. Justru fenomena keberhasilan Ayat-ayat Cinta, kian melengkapi kelatahan penerbitan buku di tanah air ini. Jika sebelumnya kasus kepiawaian Moammar Emka sempat mendobrak kejenuhan pasar, kini pun pasar seperti digeser dengan demam Ayat-ayat Cinta. Kelatahan pun terjadi, penerbit dan penulis ikut-ikutan menerbitkan novel bertema sama dengan corak Ayat-ayat Cinta.

Mendobrak dan LanggengDobrakan El Zhirazy dalam merilis Ayat-ayat Cinta memang patut diajungi jempol. Tapi apakah dobrakan ide yang digemakan oleh El Zhirazy itu akan tetap mendobrak dan luar biasa setelah satu abad kemudian? Jelas belum tentu! Karena saya melihat "dobrakan" yang dilakukan El Zhirazy sebatas tawaran baru ketika sastra Indonesia lagi diramaikan tema seks, tapi ide tersebut tanpa disertai pemikiran baru (seperti dari tinjauan sejarah, sosiologi, atau ilmu pengetahuan). Karena itu, ide El Zhirazy masih tidak bisa menyandingi kebesaran karya-karya Pramodya Ananta Toer yang mampu mendobrak dan langgeng.

Sebagian besar novel Pramoedya selain mendobrak, punya mutu, ternyata juga memiliki bobot yang langgeng. Pramoedya tidak saja menawarkan novel yang enak dibaca, melainkan menawarkan ide dan gagasan baru -merekonstruksi sejarah dan menawarkan sastra aliran realisme sosialis di Indonesia. Tak berlebihan, meski Pramoedya sudah meninggal dunia, hingga kini pun novel-novel Pramoedya masih terus didekap dan dibaca oleh banyak orang!

Tapi memang tak mudah menemukan buku atau novel yang bermutu setaraf karya Pramodeya. Terkadang ketika ada buku (novel) yang punya pengaruh luas dan mendobrak, belum tentu buku (novel) itu bisa langgeng. Itu persoalannya! Lagi-lagi kelatahan akan terus menjadi fenomena yang menjangkiti dunia penerbitan di tanah air kita jika tidak lahir pengarang baru yang menggantikan Pramodya, karena pengarang kelahiran Blora itu harus diakui mampu melahirkan buku pendobrak sekaligus langgeng!***

*) n. mursidi, cerpenis dan esais asal Lasem, Jateng.

Tidak ada komentar: