Kamis, 22 November 2007

Ada Apa dengan Buku Berbau Lendir

(Tanggapan untuk Ahmad Fatoni/ dimuat di Jawa Pos, Minggu, 31 Okt 2004)


MEMBACA tulisan Ahmad Fatoni (Melirik Buku-Buku Berbasis Lendir, Jawa Pos, 24/10/2004) saya melihat ada keprihatinan yang ingin disampaikan berkaitan dengan maraknya buku-buku yang bersinggungan "kehidupan esek-esek" serta penyimpangan seksual. Apalagi, setelah Orde Baru tumbang, yang secara seporadis diikuti dengan pertumbuhan "dunia penerbitan" dan kemunculan buku bertema seks, ternyata menjadi idola pembaca. Tidak berlebihan jika kemudian Ahmad Fatoni menyayangkan fenomena itu. Dia tampaknya sangat geram!



Menurut kaca mata Ahmad Fatoni, buku-buku berbasis lendir itu (untuk menyebutkan buku-buku berbau seks) termasuk buku-buku "sampah" yang tak layak terbit, apalagi dijual ke pasaran. Lebih dari itu, ia juga mengecam pilihan judul yang memang kadang sengaja sensual demi tuntutan pasar. Seperti yang dicontohkan antara lain Selingkuh Itu Indah, Garis Tepi Seorang Lesbian, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, Sex in the Kost, Pantat Bangsaku, Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur dan Wajah Sebuah Vagina.

Sayang, Ahmad Fatoni seperti lupa kalau buku Pantat Bangsaku karya Islah Gusmian dimasukkan juga dalam kategori buku dengan judul yang berbau "lendir". Padahal, kalau mau jujur, buku itu adalah buku bertemakan politik dan pilihan judul itu tak lebih sebagai sarkasme terhadap kebobrokan mental elite politik di negeri ini yang tak punya malu. Untuk itulah, kasus isi dan pilihan judul buku Pantat Bangsaku jelas beda sekali dengan buku karya Muhidin M. Dahlan, yang berjudul Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur maupun buku Naning Pranoto yang berjudul Wajah Sebuah Vagina, yang boleh dikata sungguh "saru" untuk masyarakat kita yang menjunjung bahasa dan etika ketimuran karena tidak dimaksud menyindir (dengan simbolisme).


Selain masalah judul yang diklaim saru, soal tanggung jawab maupun "tugas suci" penulis sebagai penyampai pesan moral juga tak luput dari gugatan dan cacian. Tak pelak, karena buku Muhidin dianggap berbasis lendir, makanya Ahmad Fatoni ikut mengutuk "niat" yang ingin dicari penulis, yang tak lebih sekadar untuk mencari uang. Terlepas dari hal itu, saya yang sempat bermain ke rumah Muhidin agak terperanjat. Saya dulu mengenal Muhidin ke sana-kemari selalu memakai sepeda butut dan ia hidup sederhana (kenyataan ini sempat dikisahkan Muhidin dalam buku Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta). Namun kini ia sudah mampu menyewa rumah di perumahan asri dengan ada sedikit perabotan elit. Dia kini juga mengendarai sepeda motor.


Selain itu, Muhidin juga dituduh telah terjebak dalam niat yang tak terhormat, karena menulis seperti berak saja. Apa saja ditulisnya. Tanpa ada sebuah perenungan, karena keluar begitu saja. Bahkan lebih ekstrim, Muhidin dituduh telah murtad setelah menulis buku Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur. Kritik pedas dan kecaman serupa juga diterima Naning Pranoto atas buku Wajah Sebuah Vagina. Karena alasan itulah, dua buku tersebut dianggap buku murahan, kacangan, dan menjijikkan. Ujungnya, tak layak dibaca, dan sebaiknya "dibuang" saja. Benarkah?


Saya tidak meragukan kalau Ahmad Fatoni sudah membaca dan memahami betul isi buku Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur maupun Wajah Sebuah Vagina. Bisa jadi, saya yakin ia membacanya berkali-kali. Tapi, terus terang, pembacaan dan pemahaman saya terhadap dua buku tersebut ada perbedaan prespektif. Bagi saya, buku Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur adalah sebuah buku sastra/novel yang menggelorakan nada pemberontakan dengan diselipi renungan akan percikan pemikiran filosofis. Sebab dari kisah yang dituturkannya akan nasib tragis Nidah Kirani (tokoh utama), Muhidin tidak lebih cuma menjadikan kisah itu sebagai wadah belaka. Dengan kata lain, dia menggunakan "style of philoshopy" dengan menjadi sastra sebagai media dalam penguraian/pengukuhan pemikiran filosofis. Tak salah, jika dalam buku itu, pengarang cukup berani menggugat konsep kenabian, dosa, dan juga moralitas. Hal senada bisa ditilik dalam Sabda Zarathustra karya filsuf agung berkebangsaan Jerman, Nietzsche.


Sementara dalam buku Wajah Sebuah Vagina, siapa pun memang tak dapat menyangkal kalau buku itu tergolong novel berbau seks. Tetapi dengan menulis novel itu, Naning bukan berarti tidak tahu batas nilai dan pesan yang harus disampaikan pada pembaca. Dalam cerita novel itu memang seperti tanpa ada tedeng aling-aling. Semua dituturkan apa adanya. Vagina digambarkan dengan leleran lendir dan darah, akibat sebuah pemerkosaan. Tapi satu hal yang tak boleh dilupakan adalah adanya gugatan terhadap kekuasaan laki-laki atas kaum hawa.


Tak pelak novel ini berbau gerakan "feminisme" karena membicarakan filosofi vagina sebagai mahkota wanita. Karena, menurut Naning, vagina bisa membuat si pemiliknya terperosok jika tidak bisa menjaganya dengan baik, sekaligus bisa memuliakan si wanita jika vagina itu dijaga dengan baik. Untuk itulah, di balik dua novel itu sebenarnya tidak sekadar nilai kejujuran yang disampaikan. Sebagaimana pengakuan Muhidin, dengan jujur ia mengatakan bahwa ia menulis novel itu tidak lebih sebagai olok-olok atas kemunafikan manusia. Itu sangat masuk akal, sebab baik kisah novel Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, maupun Wajah Sebuah Vagina bisa dikatakan berangkat dari sebuah kisah nyata. Kisah yang ada di dunia ini. Namun, kenapa harus diingkari?


Haruslah diakui bahwa sastra merupakan arsip sosial yang coba merekam kondisi masyarakat sesuai dengan tempat dan waktunya. Karena itulah tak salah jika sastra yang baik seringkali diukur dari seberapa "kuat" karya itu mampu merekam tradisi, adat, moral dan juga pernik-pernik persoalan satu masyarakat tertentu. Alasan dewan juri memilih Saman karya Ayu Utami sebagai pemenang sayembara bisa jadi didasarkan nilai "arsip sosial" yang digambarkan pengarang dalam masa pergolakan di akhir pemerintahan Soeharto yang memang cukup piawai dilukiskan oleh Ayu. Padahal novel Saman lebih "jorok" daripada novel Muhidin dan Naning.


Senada dalam mengeksploitasi seks seperti yang digemakan Ayu, para penulis perempuan seperti Clara NG, Djenar Maesa Ayu dan sekawanan kelompok mereka malah lebih berani menghadirkan adegan syur dengan cukup detail, dan cukup vulgar. Mungkin Muhidin dan Naning belumlah seberapa jika dibanding dengan mereka. Lalu, apa di balik dari semua itu? Apa pula "tujuan" mereka harus susah-susah menulis sebuah buku atau novel yang berbau seks? Ada baiknya di sini saya sebutkan Marquis de Sade, satrawan Prancis yang cukup dikenal jorok dalam karya-karyanya. Sampai begitu joroknya dalam mengumbar detail tubuh dan organ kelamin, Sade pernah dipenjara dan diusir dari Prancis. Sebab ia mengambarkan kejahatan dan seks secara terang-terangan, brutal, dan tanpa basa-basi.


Salah satu dari roman karya Sade Justine ou les Malheurs de la vertu menggambarkan kejahatan dan kecabulan cukup mengerikan sehingga usai terbit, kecaman keras langsung datang. Malah pemerintah Prancis kala itu sempat pula menerbitkan selebaran bahwa, "Mereka yang belum dewasa dilarang membacanya, sementara yang telah dewasa dan dapat membedakan yang baik dan buruk dan tak mudah tergoda disarankan untuk membuangnya segera setelah usai membaca."


Tetapi, benarkah Sade benar-benar menganjurkan pembaca untuk cabul dan bertindak jahat? Dalam kata-kata persembahan di salah satu novelnya yang ditujukan Constance, ia mengatakan bahwa dengan mendedahkan kejahatan secara berlebihan, begitu "telanjang" dan provokatif, ia ingin pembaca muak, mual, dan jijik, lalu berpikir menyimpang untuk kembali ke arah kebaikan.
Sade pun dalam menulis novel-novelnya tak mengharap dunia ini semakin buruk, tapi dalam keterpencilan hidup masih mengharapkan dunia yang lebih baik, untuk kehidupan semua orang. Ia bukan penghamba seks dan kejahatan meskipun seks dan kejahatan selama bertahun-tahun telah jadi sahabatnya yang paling setia, juga telah menjadikan sebuah inspirasi untuk mengubah dunia.


Untuk itu, open yuor mind untuk buku-buku berbasis lendir. Untuk apa harus takut membaca dan sampai membuang segala! Tanpa membaca karya berjenis seperti itu, bagaimana kita tahu keadaan sekitar dan dunia? Karena, di balik kehidupan seks, tetap ada hikmah yang bisa dijadikan pelajaran untuk sebuah kebaikan.[]


*) Nur Mursidi, cerpenis, kelahiran Rembang, Jateng.

Tidak ada komentar: