Minggu, 30 September 2012

Ijazah

cerpen ini dimuat di Tabloid Cempaka, edisi 29 Sep - 5 Okt 12
      
DIA datang ke kontrakanku seperti dibawa angin. Aku bahkan tidak mendengar irama sumbang derit sepeda mungilnya yang digayuh dengan leleran keringat, dengan napas yang tersengal. Dia tiba-tiba berdiri di ambang pintu, melengok seperti kenet bus yang mencari penumpang. Keringat mengucur dari dahinya yang mengkilap. Basah dan licin. Napasnya berdegup, seperti orang kesurupan.   

Dia itu adik kelas di kampusku. Tubuhnya dekil, tingginya tidak lebih dari 150 sentimeter. Dia bernama Sukir. Dan kali ini, dia datang tiba-tiba… membuatku tersedak dan kaget. “Kau tidak menyuruhku masuk?” ucapnya memelas, seperti pengemis yang minta sedekah.

Aku duduk di meja komputer, hanya menatap dengan heran dan mengangguk.

Ia masuk ke kamar, duduk tersipu.

“Aku kemarin pulang ke kampung,” ucapnya terbata-bata. “Aku sempat mampir ke rumahmu. Karena itu,  aku ke sini mau menyampaikan pesan ayahmu.”

Aku diam, menunggu ia bercerita…    

“Ayahmu bertanya tentangmu.”

Aku diam, menunggu ia bercerita. Ia bercerita kehidupanku dan kesibukanku di kota sebagaimana ia bercerita kepada ayah sehingga aku tak sempat mengerjakan skripsi.

“Aku pikir, ayahmu akan bangga setelah mendengar ceritaku tentang kegiatanmu menulis. Tapi, dugaanku itu ternyata salah….”

“Kau serius? Lalu, apa yang dikatakan ayahku?”

Ia menggeleng, “Ayahmu sama sekali tak bangga kepadamu. Ayahmu…, bahkan menganggapmu gagal kuliah,” kata bocah mungil itu.    

“Apa?”

“Ayahmu bilang, ‘Sehebat apa pun anakku, aku tak bangga selagi dia tidak bisa merampungkan skripsinya’.” 

Hatiku panas. Jantungku berdegup. Mukaku merah mendengarnya.

“Ayahku bilang seperti itu?” Aku bertanya ragu sebab Sukir kerap bohong padaku. Aku tak yakin padanya. Aku masih ingat, beberapa kali ia berbohong padaku. Pernah satu malam, ia datang ke kostku. Aku sedang sakit.

“Kau punya uang?”

“Kenapa kau tanya uang?” balasku.

“Mana?” mintanya, menengadahkan tangan, “Biar aku keluar beli obat buatmu!”

“Aku berat berdiri, kau bisa ambil di saku dompetku!”

Ia bangkit, merogoh saku di celanaku di gantungan pintu dan meraih uang dari dompetku, lalu menunjukkan satu lembar uang dua puluh ribu.

“Ini untuk beli obat. Tunggu, sebentar ya!”

Aku mengangguk.

Dia segera menghilang dari kamarku.

Lima menit, sepuluh menit berlalu, ia tak kembali. Lima belas menit, tidak ada derap langkahnya menginjak lantai kamarku. Hingga satu jam lewat, kemudian genap dua jam berlalu. Ia tak muncul. Malam itu, aku menunggunya sia-sia. Padahal tubuhku demam. Panas dingin.

Ia datang esok harinya. Dengan muka tanpa dosa, tanpa bersalah.

“Maaf, semalam aku tak beli obat. Uangmu kubelikan nasi. Kau harus mafhum, kemarin aku belum makan.”

Pagi itu, sakitku sudah baikan, tiba-tiba kembali pening. Ingin aku kepalkan tanganku, meninju bocah keparat itu, tetapi aku iba. “Kenapa kau tak jujur?”

“Aku takut kau tak memberiku uang. Jadi, terpaksa aku bohong…”

“Tapi, seharusnya kau tak bohong saat aku sakit. Payah, gitu bilang saudara! Saat aku sakit, kau malah menyiksaku!”

“Berarti jika kau tak sedang sakit, aku boleh membohongimu?”

Aku geleng-geleng kepala. Tak sekali itu ia membuatku geram. Itu salah satu peristiwa yang membuatku kenapa aku tak percaya padanya.

“Benar, ayahku bilang seperti itu?”

“Kau ini selalu tak percaya padaku. Aku ini sudah mengangapmu saudara. Jadi, apa untungku membohongimu. Lagi pula, ini pesan ayahmu. Aku wajib menyampaikan…”

Aku diam, tubuhku lemas. Apa yang selama ini aku bangga-banggakan ternyata tak bisa membuat ayahku bangga. Aku paham, kenapa ayah tidak bangga padaku.
                                00O00
    
AKU menyangka, ayah tak peduli kuliahku. Tapi, dugaanku salah. Ayah masih menaruh perhatian. Aku memang berniat keluar kuliah, dan tidak lulus. Tetapi, pesan ayah yang disampaikan Sukir itu benar-benar menyadarkanku. Pagi itu, masih kuingat peristiwa yang tak pernah aku lupakan ketika aku duduk kelas tiga SMU.

“Benar kau ingin keluar?” tanya ayah, tidak sedikit pun kaget. Mungkin ayah sudah bosan dengan kelakukanku yang kerap bolos sekolah dan membuat ayah malu karena harus sering dipanggil ke sekolah.

“Ya, ayah.”

“Apa sudah kau pikir?”

“Sudah!’ jawabku tanpa ragu.

Lama ayah diam, hingga akhirnya angkat bicara. “Kamu ini termasuk anak yang beruntung. Tapi aku heran, kenapa kau kurang bersyukur? Coba kau lihat anak-anak yang putus sekolah? Padahal, mereka tak pernah meminta dilahirkan untuk jadi anak jalanan. Aku yakin mereka ingin sekolah. Keadaan membuat mereka hidup di jalanan dan tak sempat sekolah. Kenapa kau yang aku sekolahkan, kini tiba-tiba ingin keluar?”

“Aku mau kerja!”

“Mau kerja apa? Jadi kuli?”

Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Tapi itu tetap sebuah pekerjaan halal…!”

“Aku tak berkata itu haram, tapi perlu kau ingat! Aku mampu membiayaimu sekolah. Aku minta kau tak keluar dan aku hanya minta kau lulus SMU. Setelah itu, aku tak melarangmu jika kau ingin pergi ke mana kakimu melangkah. Aku hanya minta kau lulus SMU. Itu saja!”

“Tetapi, aku sudah tak betah sekolah!”

Lagi-lagi, ayah diam agak lama.

“Aku mau cerita sedikit. Mungkin ini bisa kau jadikan pertimbangan. Ayahmu hanya lulus SR. Kau tahu yang kupikirkan sepanjang hidupku? Aku sungguh menyesal kenapa dulu tidak sekolah tinggi. Maka, aku berjanji, kelak kalau aku punya anak, aku tak ingin anakku sepertiku. Aku ingin anakku kelak bisa sekolah, paling tidak tamat SMU. Sekarang aku sudah menyekolahkanmu sampai SMU, tapi aku heran kenapa kau malah ingin keluar ...”

Aku diam, tidak berkata sepatah kata pun.

“Jika kau mau berpikir, rasakan apa yang aku rasakan, kau pasti tahu betapa menyesalnya ayahmu. Sekarang mungkin kau tak menyesal. Tetapi bagaimana sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, ketika kau butuh ijazah? Apa yang akan kau lakukan? Aku yakin, kau menyalahkanku karena kau anggap aku tak bisa menyekolahkanmu. Dan aku tidak ingin, nanti kau menyalahkanku karena aku tak mengarahkanmu. Aku yakin, dua puluh tahun kemudian kau butuh ijazah SMU! Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau menyalahkanku karena aku tidak mencegahmu?”

Aku terdiam, serasa kata-kata ayah itu menampar ulu hatiku.

“Pikirkan matang-matang, lihatlah ke depan, sepuluh tahun ke depan. Jangan berpikir pendek. Ke depan, tantanganmu lebih besar dibandingkan zamanku sekarang ini. Sekarang tidur, jika kau besok mau keluar sekolah, aku tak akan menghalangimu. Aku sudah mengarahkanmu. Jadi jangan salahkan aku jika nanti, kau menyesal karena tidak lulus sekolah...”

Ayah bangkit dari kursi. Kata-kata ayah itu mendenging di telingaku, terpatri dengan kuat dan menghuni sudut otakku.
                                00O00
      
Tiga bulan kemudian, aku pulang. Aku pulang untuk mengabarkan kepada ayah dan ibu bahwa aku berhasil meraih gelar sarjana.

“Dua minggu lagi, aku wisuda. Aku harap ayah dan ibu bisa datang...” mintaku.

Aku melihat ibu memendam perasaan senang dan bangga, “Ibu tak menyangka kau bisa lulus. Tapi ibu dan ayahmu tak bisa datang. Sudah tua, tak kuat seperti dulu lagi untuk pergi jauh, apalagi ke Yogja...”

Tapi ayah seperti dingin, tak menanggapi dengan secuil perasaan bangga. Dan tiba-tiba keluar dari mulut ayah ucapan yang membuatku eperti tersudutkan di pojok ruang tamu. “Jangan-jangan kamu ini bohong, baru tiga bulan yang lalu Sukir ke sini dan bercerita kamu tidak mengerjakan skripsimu, tapi kini datang-datang bilang kau sudah lulus.”

Aku diam, melirik ke arah ayah.

“Jika ayah tak percaya anakmu ini sudah lulus ayah datang ke acara wisudaku. Dengan begitu, ayah akan tahu, anakmu ini benar-benar sudah lulus.”

Ayah dingin, diam tak menjawab. Aku tak tahu apa yang berkecamuk di benak dan pikiran ayah. Ia termangu, menatap langit-langit. Aku hanya bisa menatap dengan sorot mata bimbang.

Beberapa hari kemudian, aku kembali ke kota dengan kecewa. Aku tidak ikut wisuda.
                                00O00

AKU kira, ucapan ayah itu bercanda tatkala menanggapi tentang kelulusanku. Tapi dugaanku ternyata keliru. Aku baru tahu setengah tahun kemudian, waktu Sukir bermain ke kostku.

“Ibumu pesan, sebaiknya kau fotocopy ijazahmu lalu kau kirim ke rumah agar ayahmu percaya jika kau sudah lulus kuliah.”

“Kau ini ada-ada saja!” jawabku sekenanya. “Jika memang ayahku tak percaya  aku ini lulus, aku justru heran kenapa waktu aku wisuda dulu ayah tak mau datang.”

“Aku punya usul...” kata Sukir yang dari tadi memegang buku kecil wisuda yang mencatat namaku sebagai sarjana, ”Gimana jika buku wisuda ini aku bawa pulang, aku tunjukkan pada ayahmu! Aku yakin, setelah ayahmu melihat fotomu ada dalam buku wisuda ini, pasti tidak memiliki alasan untuk menuduhmu bohong...”

Aku memandang Sukir, kemudian bergantian melihat buku wisuda yang ada di tangannya. Aku pikir, buku mungil yang memuat foto dan daftar beberapa orang yang telah wisuda itu tidak aku butuhkan lagi. Jadi, aku tidak keberatan Sakir membawa buku wisuda itu pulang.

“Kapan kau pulang?”

“Tiga hari lagi...”

“Ya sudah, bawa buku wisuda ini dan berikan pada ayah...”
                                00O00

Setahun setelah aku lulus, ayah wafat. Aku merasa telah memenuhi harapan ayahk. Aku sudah lulus kuliah. Aku yakin, ayahku sudah melihat buku wisudaku. Aku membayangkan ayah melihat fotoku dalam buku wisudaku dan saat melihat foto itu, aku yakin, ayah pasti bangga kepadaku.

Sebulan setelah ayahku dimakamkan, aku bermain ke kost Sakir. Aku benar-benar terkejut menjumpai buku wisudaku yang pernah aku titipkan, ternyata ada di kamarnya.

“Jadi, kau tak menyerahkan buku wisuda itu kepada ayahku?” tanyaku sambil meraih buku wisuda itu dari rak buku di kamarnya.

“Maaf... Aku khilaf tidak menyerahkan buku ini pada ayahmu.”

“Kenapa?”

“Aku tak bisa menceritakan ini padamu!” jawabnya terbata-bata.

“Kau menyembunyikan rahasia dariku?”

“Kau harus janji tak akan marah padaku, jika aku bercerita.”

Aku mengangguk, “Ya, aku tak akan marah.”

“Waktu aku mengusulkan buku wisudamu ini aku bawa pulang, sebenarnya aku butuh buku wisudamu ini. Kamu tahu, kenapa aku butuh buku wisadamu ini?” tanyanya seraya merebut buku wisuda itu dari tanganku.

“Kau ini jangan menambah dan membuatku kian bingung...”

“Di buku wisudamu ini, jujur kukatakan, ada wisudawati yang aku taksir. Jadi, aku butuh biodata cewek tersebut. Sayangnya, setelah itu, aku lupa membawa pulang buku wisudamu ini untuk kuserahkan pada ayahmu.”

“Jadi...” rasanya berat aku mengatakan..., “Jadi, jadi sampai ayah wafat, ayah masih meragukanku bahwa aku sudah lulus kuliah?”

“Bisa jadi...!”

Kepalaku terasa pening, dan aku ingin berbuat sesuatu. Dia telah membuatku marah. Dia telah menggenapi dosanya yang bertumpuk-tumpuk yang pernah dilakukan padaku. Aku tak sabar lagi, meskipun aku sudah berjanji padanya tidak akan marah, aku tetap tidak kuasa memendam emosi. Aku bangkit, mengepalkan tanganku kuat-kuat, kemudian kuhentakkan kepalan tanganku tepat ke perutnya.

Ia terpental... Jauh, jauh sekali dan seketika itu, matanya terpajam. [ ]

Lasem-Jakarta, 2011-2012
   
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Anggun, Majalah Femina, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surya, Surabaya Post, Batam Pos, Lampung Post, Inilah Koran, Haluan Padang, Tabloid Cempaka, Suaara Merdeka, dan Solo Post. Selain menulis cerpen, dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).

Tidak ada komentar: