Sabtu, 30 Juli 2016

Tanggung Jawab Moral Penulis Biografi

Satu tahun yang lalu (tepatnya tanggal 7 Agustus 2015), aku menerima "sebuah e-mail" dari seseorang yang tidak kukenal. E-mail tersebut diberi judul "permohonan". Dari judul yang dibuat, rasanya tidak ada yang menarik untuk kubaca lebih jauh. Sejenak aku berpikir: ah, ini paling-paling surat elektronik dari seseorang yang ingin minta sumbangan, atau bisa jadi surat elektronik dari orang di luar negeri untuk minta bantuan kepadaku lantaran dia dinikahi orang asing, lalu suaminya meninggal (biasanya kecelakaan), dan dia memiliki dana cukup besar yang ditawarkan kepadaku untuk bisa kurahasiakan.

Aku yakin, kamu pasti pernah menerima surat elektronik semacam itu. Jadi, beberapa detik, aku merasa tak ada hal yang istimewa dari email tersebut. Tapi, entah kenapa email tersebut seperti menggedor-gedor rasa penasaranku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk membaca email tersebut --lantaran ada sesuatu yang melintas di sudut otakku bahwa semua ini, tak semata-mata kebetulan. Setelah aku membaca dengan cermat, teliti, dan seksama, aku seperti disentak halilintar. Kutengok ke luar kamarku. Langit cerah dan hari tidak sedang dirundung mendung.

    Tapi, di sudut hatiku yang paling dalam sekali, seperti ada yang berdenyut-denyut setelah kutahu bahwa email tersebut ditulis oleh anak dari seorang bandar narkoba yang namanya sangat terkenal dan tak asing di negeri ini. Dalam email tersebut, dia bercerita ayahnya sedang dijatuhi hukuman mati. Dia menceritakan bahwa dia menghubungiku lantaran sang ayah ingin menulis sebuah buku biografi dan dia menawariku untuk menulis biografi tersebut. Selain ingin dikenang, sang ayah ingin mengungkapkan kehidupan gelap narkoba dan yang lebih penting lagi --sebagaimana kupahami--, kebobrokan para penegak hukum di negeri ini. Di akhir email tersebut, sang anak memohon (bantuan) dengan sangat kepadaku agar aku bersedia menulis buku biografi sang ayah.

    Aku tak langsung menjawab email tersebut. Aku tiduran di atas kasur, menatap langit-langit dan merenung; siapakah aku ini? Aku bukan penulis terkenal, apalagi penulis biografi yang mumpuni. Aku hanya penulis jalanan yang kadang-kadang mengirim tulisan di koran. Itu saja! Tetapi, kenapa dia menghubinguku? Apa "alasan" dia menulis e-mail dan menghubingiku untuk menulis buku biografi sang ayah?

    Mungkin, sampai sepuluh tahun pun jika aku menebak-nebak sendiri semua pertanyaan itu, aku tak akan menemukan jawaban yang memuaskan dan melegakan. Aku akhirnya memutuskan untuk menyimpan semua pertanyaan itu, dan menjawab pendek jika aku bisa membantu untuk mewujudkan penulisan biografi itu, tentu aku bantu. Apalagi jika buku itu kelak bisa dipetik sebagai pelajaran dan bermanfaat bagi pembaca.

    Tetapi, sebenarnya hatiku masih bimbang. Aku diselimuti rasa bersalah, dan tanggung jawab moral jika aku akhirnya mau menerima tawaran tersebut. Aku pun berusaha melupakan email tersebut, tetapi tiap jam berlalu; jantungku seperti berdugup tak henti-henti. Apalagi, tidak selang lama dia membalas emailku; mengajak bertemu dan ingin mempertemukanku dengan sang ayah.

    Tapi aku tidak langsung menyanggupi. Berhari-hari aku bertanya pada hati nuraniku, dan bertanya kepada beberapa teman tentang implikasi apa yang akan aku terima jika aku menerima tawaran tersebut. Setidaknya, ada beberapa jawaban dari beberapa teman yang bisa aku kelompokkan dalam beberapa kategori.

    Pertama, aku diminta untuk menerima tawaran tersebut sebab bayarannya pasti besar. Kedua, ada yang menyarakankan agar aku bekerja (baca: menulis) dengan profesional. Jadi, tidak usaha memandang yang aku tulis itu siapa --yang penting: berkerja secara profesional. Ketiga, beberapa teman memintaku untuk menanyakan hal itu kepada hati nuraniku. Ini yang menurutku paling membuatku tambah bimbang. Sebab, jika memintaku untuk kembali ke hati nuraniku, kenapa aku minta saran padamu???

    Berhari-hari, aku tak kunjung memutuskan apakah aku menerima atau menolak tawaran ini. Akibatnya, aku selalu mengulur waktu ketika sang anak dari bandar narkoba tersebut memintaku untuk dipertemukan dengan sang ayah. Hingga suatu hari, setelah datang email bertubi-tubi dan meminta waktuku untuk bertemu, aku memutuskan TIDAK MENERIMA TAWARAN tersebut.

    Kini, setelah satu tahun berlalu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kabar "eksekusi mati" yang dilakukan oleh "tim regu tembak" di Nusakambangan -dan tragisnya lagi salah satu dari yang dieksekusi itu ada "orang" yang riwayat hidupnya sempat mau kutulis biografinya. Sebenarnya, berita itu tidak mengejutkanku. Sebab kabar tentang hukuman matinya pun sudah lama kudengar. Tapi di balik cerita eksekusi itu, ada yang membuatku terkejut --sebagaimana yang diungkapkan oleh Haris Azhar-- jika selama ini almarhum yang telah dieksekusi mati itu, ternyata sudah menyetor uang (baca kurang lebih) 450 milyar ke BNN dan 90 milyar ke pajabat di mabes Polri.

    Saat saya membaca kesaksian Haris Azhar tersebut, aku langsung diingatkan dengan peristiwa setahun yang lalu. Aku pun langsung mengobrak-abrik surat elektronik yang sempat kuterima dari anak yang ayahnya dikenal sebagai bandar narkoba dan juga hampir saja riwayat hidupnya mau kutulis dalam sebuah "biografi". Aku kembali membaca email itu: satu per satu, dan menemukan jawaban kenapa dia menawariku untuk menulis sebuah buku biografi. Dari beberapa email tersebut, ia menceritakan bahwa ayahnya sebenarnya ingin mengungkap semua ini lewat buku biografi. 

    Dini hari ini, waktu aku menulis catatan ini, sempat aku membayangkan apa yang terjadi jika aku dulu menerima tawaran tersebut? Aku membayangkan apa reaksi orang-orang. Sejenak aku bahkan membayangkan buku biografi itu ada di deretan buku-buku yang pernah kutulis, dan aku mengenang bahwa dalam sejarah perjalanan kepenulisanku, aku sempat menulis sebuah buku "biografi orang yang dieksekusi mati". Tetapi, semua itu hanya bayanganku. Sebab, aku tak pernah memutuskan untuk menulis biografi itu. Dan aku sama sekali tak menyesal dengan keputusan yang telah kubuat.

    Sudah hampir satu bulan setengah aku tidak menulis satu tulisan pun --baik di koran, di tempatku bekerja atau di blog yang aku miliki. Tapi dini hari ini, tiba-tiba tanganku seperti digerakkan oleh keinginan untuk menulis. Keinginan yang tidak bisa aku bendung, dan semua itu mengalir begitu saja. Itu saja yang bisa aku lakukan! Aku menulis "catatan" ini untuk sedikit mengenang masa laluku --setidaknya hal itu sebagai tanggung jawab moral penulis biografi atau mungkin catatan di balik sebuah eksekusi mati.

    Setelah saya panjang lebar menulis catatan ini, pasti kamu tahu: siapa orang itu. Jadi, kalau kamu ingin menulis buku biografi, saranku cuma satu: jangan menghubungiku!!! Sebab, aku tidak tahu bagaimana nasibmu di masa yang akan datang.  

Jakarta, dini hari 30/07/2016

2 komentar:

Untung Wahyudi mengatakan...

Salam Pak Nur Mursidi. Lama gak baca tulisan sampean. Ternyata blognya masih aktif dan update. :)

Anonim mengatakan...

salam kembali mas untung, hehehe. msh aktif lah