Kamis, 05 Januari 2012

Ironi Keadilan dan "Sandal untuk Kapolri"


Opini ini dimuat di Jurnal Nasional Kamis 5 Januari 2012

KAPOLRI Jenderal Timur Pradopo benar -benar sedang diuji. Belum usai kasus yang melibatkan jajaran polisi terkait pelanggaran HAM di Mesuji dan Bima yang menuntut tindakan tegas dan profesionalisme Polri bahkan sampai memunculkan suara miring agar Timur Pradopo mundur (dari jabatan Kapolri), kini ia harus disibukkan dengan urusan sepele. Gara-gara urusan sandal, ia seakan dipermalukan dan dibuat gerah.


Sebab, aksi pengumpulan "sandal untuk Kapolri" yang dilatarbelakangi sebuncah empati demi keadilan AAL, seorang pelajar SMKN 3 di Palu--yang dituduh mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi--seakan menegaskan protes masyarakat tentang "ironisme keadilan" di negeri ini.

Sebagai bentuk protes, aksi itu langsung membetot kesadaran banyak orang. Dalam waktu singkat, sejak digelar posko di beberapa daerah seperti di Tangerang, Bekasi, Depok, Jakarta dan Palembang, aksi itu menjadi pembicaraan hangat, bahkan menjadi berita koran di luar negeri. Kasus sandal jepit ini pun mengingatkan kita atas aksi pengumpulan "koin untuk Prita"--sebagai bentuk protes ketidakadilan yang dialami Prita Mulyasari setelah ia mengeluhkan (lewat milis) terkait pelayanan RS Omni Internasional.

Dukungan yang dilakukan sebagian kecil warga terhadap ALL dengan mengumpulkan sandal sebagaimana koin untuk Prita memang tak bisa dimaknai sebagai bentuk protes untuk menafikan bahwa tindakan ALL mencuri sandal itu dibenarkan. Aksi itu tidak lebih harus dimaknai sebagai metafora ketidakadilan hukum di negeri ini; bentuk protes kalangan bawah terhadap ironi hukum yang kerap tak berpihak pada orang kecil. Sebab hanya gara-gara mencuri sandal diancam lima tahun penjara. Kasus ini juga mengingatkan kita tentang tragedi hukum yang dialami Nenek Minah: hanya gara-gara mencuri 3 butir kakao ia harus diseret ke pengadilan.

Logika Hukum
Kisah yang memicu "pengumpulan sandal" ini bermula dari pencurian sandal yang dilakukan ALL. Kisah ini sudah terjadi sekitar setahun lalu, November 2010. Suatu hari, AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan kost Briptu Ahmad Rusdi dan ketika ia melihat ada sandal jepit, ia kemudian mencurinya. Aksi pencurian itu akhirnya diketahui, dan ALL dipanggil. Setelah diinterogasi, rupanya kasus ini berbuntut panjang. Kasus ini tidak berakhir damai, tetapi kemudian bergulir ke pengadilan. Bahkan, AAL didudukkan di kursi persidangan dan didakwa sebagai pencuri sandal.

Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana--sebagaimana pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan diancam lima tahun penjara. Tuntutan jaksa (lima tahun penjara) itu memang tuntutan maksimal. Jadi, dalam proses persidangan nanti, bisa jadi ALL dihukum lebih ringan--dan vonis tahanan final nanti ada di pundak hakim. Tapi tuntutan jaksa dengan ancaman lima tahun itu yang dirasa sebagian kalangan terlalu bombastis dan dirasa mencederai rasa keadilan masyarakat. Tuntutan itu yang "memunculkan protes" dan berujung aksi pengumpulan sandal untuk Kapolri.

Secara hukum, kasus (ALL yang mencuri sandal) ini memang menempatkan "posisi" penyidik dalam impitan. Sebab, bagaimanapun, mencuri adalah tindakan melanggar hukum karena telah merugikan orang lain. Hal ini pun telah diatur dalam KUHAP. Tetapi, dalam KUHAP tak diatur untuk mengesampingkan perkara, meski pun kasus pencurian tersebut menimbulkan kerugian materi yang kecil. Dalam hal ini kerugian materi itu berupa sandal yang tidak lebih berharga 30 ribu.

Tapi, jika kerugian materi kecil itu kemudian harus ditebus oleh pelaku dengan ancaman kurangan penjara lima tahun, memang mencederai logika hukum. Tak salah, jika tuntutan itu dirasa telah mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat. Dalam kasus ini penyidik memang tidak bisa mengesampingkan perkara, meski pun kasus pencurian tersebut menimbulkan kerugian materi yang kecil.

Ironi Ketidakadilan
Kasus yang mengundang dukungan terhadap ALL dengan aksi pengumpulan sandal jepit ini memang sepele. ALL hanya mencuri sandal. Jika dibandingkan dengan "setumpuk kasus besar" yang menimpa negeri ini, mulai dari penggelapan pajak, perampokan anggaran, korupsi di sejumlah lembaga kementerian, dan berbagai megaskandal korupsi yang nilainya mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah, kasus ALL ini nilainya memang tak seberapa. Sebab, sandal yang dicuri ALL itu cuma senilai kurang lebih 30 ribu rupiah. Tapi, justru di situ letak ketidakadilan yang hendak diprotes.

Pertama, aksi pengumpulan sandal untuk Kapolri ini adalah protes terhadap setumpuk masalah korupsi dan berbagai pelanggaran hukum di negeri ini. Sebab hampir sebagian besar kasus-kasus itu mengendap dan tak tertangani dengan baik. Jadi, aksi pengumpulan sandal jepit ini seakan menegaskan bahwa hukum di negeri ini bagai sebilah pisau--tumpul di bagian atas tetapi tajam di bagian bawah.

Dengan kata lain, orang miskin di negeri ini kerap tidak menerima keadilan sebagaimana mestinya. Tak pelak, kalau ALL harus diseret ke pengadilan dan diancam hukuman lima tahun penjara hanya gara-gara mencuri sandal. Demikian juga dengan Mak Minah, hanya gara-gara mencuri tiga biji kakao yang tidak seberapa harganya harus dijatuhi hukuman penjara.

Pada sisi lain, polisi yang menganiaya ALL konon memang telah dijatuhi sanksi. Tetapi lagi-lagi ada ironi ketidakadilan dalam kasus ini. Padahal selama interogasi, ALL telah dipukuli dengan tangan kosong dan benda tumpul. Tetapi, Polda Sulteng hanya menghukum Briptu Ahmad Rusdi dengan dikenai sanksi tahanan tujuh hari. Sementara itu, Briptu Simson J Sipayang dihukum 21 hari. Kenapa ALL yang hanya "mencuri sandal" diseret ke pengadilan dan diancam hukuman lima tahun penjara, sementara kedua polisi yang telah melanggar hukum melakukan penganiayaan dalam interogasi cuma dijatuhi sanksi ringan? Kenapa kedua polisi itu tidak dibawa ke pengadilan atas tuduhan penganiayaan terhadap ALL?

Kedua, aksi pengumpulan sandal untuk Kapolri ini tidak serta-merta menolak hukuman yang harus diterima ALL. ALL memang bersalah karena mencuri (walaupun cuma mencuri sandal). Tetapi maksud di balik itu adalah "tuntutan akan profesionalisme" yang harus diemban para penegak hukum di negeri ini. Dengan kata lain, di balik aksi itu terselip sebuah tuntutan bahwa hukum harus ditegakkan--"tidak pandang bulu" dan rakyat miskin yang kerap terluka harus tetap dianggap sebagai manusia yang memiliki kesamaan hukum di depan pengadilan. n 

*) N Mursidi, adalah Peneliti pada Al-Mu'id Institute, Lasem, Jawa Tengah

2 komentar:

Unknown mengatakan...

lha yo mas, kepiye kon iso bener neng negoro iki? lambang dasar negarane wae wes salah. lambang negara ko manuk mlengos, bendero yo mung merah putih tondo aras arasen ngawe bendero,mungkin yen allah kerso, rosul muhammad di uripke meneh kon mimpin indonesia, ora sanggup.

Unknown mengatakan...

hanya diam