Minggu, 16 November 2008

sastra dan terorisme

esai sastra

TEKA-TEKI seputar eksekusi tiga terpidana mati pelaku kasus Bom Bali I –Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron yang sempat menghebohkan selama enam tahun sejak terjadi peledakan yang menewaskan 202 orang dan pelaksanaannya tertunda-tunda-- akhirnya terjawab. Minggu (9/11), dini hari (sekitar pukul 00.15 WIB), ketiganya dieksekusi mati di Lembah Nirbaya, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.



Selepas eksekusi itu, langsung mencuat pro-kontra. Sebagian besar penduduk di Indonesia dan warga dunia menilai hukuman mati terhadap tiga terpidana itu, pantas dan layak untuk diterima lantaran ulah Amrozi dkk telah merenggut 202 jiwa dan ratusan orang terluka. Ratusan jiwa yang melayang itulah yang dijadikan justifikasi atas eksekusi mati terhadap Amrozi cs itu.

Tetapi, bagi anggota jaringan terorisme, “hukuman mati” itu dianggap sebagai penghinaan terhadap agama Islam. Tak salah, jika anggota terorisme tidak gentar atau ciut bahkan dihinggapi rasa bangga sebab hukuman mati itu dianggap sebagai jihad tertinggi. Bangunan teologi jihad itu, yang memicu tindakan balas dendam di kemudian hari lantaran kelompok teroris menganggap akan mendapat janji tempat di surga.

Terlepas pro-kontra di atas, ada pertanyaan yang patut untuk diajukan; apakah pasca eksekusi tiga terpidana mati itu, Indonesia akan sepi dari serangan terorisme?

Sastra Terorisme
Tentu, tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Tetapi, ada dua buah novel yang bercerita tentang terorisme (yakni Terrorist karya John Updike dan The Attack karya dari Yasmina Khadra) yang bisa dikata cukup bagus dan layak untuk diapresiasi.

Novel Terrorist, mengisahkan “ulah militan” seorang pemuda --bernama Ahmad-- yang hidup di daerah bagian Utara New Jersey, AS. Dengan memegang teguh Islam, ia merasa muak di tengah kehidupan hedonis di AS. Dia terasing dan tidak punya teman. Keterasingan Ahmad kian lengkap sebab di rumah tak mendapatkan perhatian ibunya padahal ia ditinggal pergi ayahnya sejak usia 3 tahun. Rupanya, kekeringan jiwa Ahmad itu mendapat jawaban setelah ia pergi ke masjid dan berguru pada Syeikh Rasyid.

Di bawah bimbingan Syeikh, ia menimba ilmu. Tapi dengan bertambahnya ilmu, ia justru menganggap teman-temannya musuh karena beda agama. Guru BP di sekolah dan Joreelyn, teman perempuannya di sekolah tak bisa membelokkan Ahmad. Hanya perkataan Syeikh Rasyid yang membuat Ahmad tak bisa berpaling. Maka, saat Ahmad lulus SMU dan ia diminta menjalankan tugas rahasia Syeikh Rasyid (melalui Charlie --anak pemilik toko Excellency) meledakkan terowongan Lincoln dengan truk yang dilengkapi bahan peledak, ia menurut. Dengan dalih jihad, Syeikh Rasyid menyakinkannya bahwa tugas itu akan membawanya ke surga.

Dalam kondisi hidup kurang perhatian sang ibu, dan Jereelyn yang ia cintai lebih memilih Telynol, ia mantap mati. Jadi, ia ingin mati sebenarnya karena kecewa, bukan semata-mata mau merengkuh surga. Untung sebelum rencana terlaksana, Deparement of Homeland Security mencium tindakan Ahmad dan peledakan pun gagal.

Sementara novel The Attack mengisahkan tokoh utama dr. Amin Jaafari, dokter ahli bedah berketurunan Arab yang bekerja di rumah sakit Ichilov, Tel Aviv dan memilih bernaturalisasi. Ia punya istri, bernama Sihem. Di matanya, tak ada yang kurang dengan perhatian dan kebahagiaan yang diberikan.

Tapi, pada suatu malam, peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di restoran cepat saji membuat dirinya tidak habis pikir. Di luar dugaannya, di antara tubuh korban yang tergeletak, Amin dihadapkan tubuh Sihem yang hancur lebur. Lebih tragis, tubuh istrinya -menurut pemeriksaan kepolisian- diduga kuat sebagai tipikal pelaku bom bunuh diri.

Awalnya, dia tidak percaya jika wanita yang selama ini dicintai itu memilih jalan menemui ajal dengan melakukan bom bunuh diri. Tetapi, setelah ia menerima surat dari Suhem (yang dikirim sebelum mati), hatinya remuk karena Sihem mengaku memilih jalan yang tak ia ketahui. Amin lalu terbang ke Bethlehem dan Jenin untuk “menyelidiki dan membuktikan” keterlibatan Sihem.

Di sana, ia tersedak karena Sihem diketahuinya hidup tak bahagia bersamanya. Sihem tak mau menerima kebahagiaan yang ia tawarkan dan memilih menebus dosa dengan bergabung jadi pejuang bom bunuh diri untuk cita-cita kemerdekaan Palestina. Tragisnya, di Jenin, Amin meninggal dalam peristiwa peledakaan bom akibat ulah teroris yang ia tentang mati-matian.

Pesan apa yang dapat dipetik dari dua kisah novel itu? Pertama, gugatan telak aksi terorisme tentang makna hidup. Bagi Amin (seorang dokter), hidup adalah hal yang penting karena ia memiliki tanggung jawab menyelamatkan korban. Dilema memaknai hidup dan pilihan mati sebagai tujuan kemerdekaan dan untuk meraih surga itulah yang membuat novel The Attack mengajak pembaca “merenung” tentang arti hidup.

Kedua, agama tidak mengajarkan kerusuhan. Dua novel di atas mengelaborasi dengan baik arti hidup damai. Meski hidup di dunia ini memuakkan, tak lantas membuat kita marah dan menjadikan orang tak bersalah jadi korban. Sebab kelahiran Islam (juga agama-agama lain) membawa pesan perdamaian bukan justru merusak kehidupan!

Anomali Psikologi Teroris(me)
Meski, dua novel di atas tak bercerita ulah perjuangan teroris tiga terpidana mati –Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra- tetapi pesan tersirat dalam novel tersebut bisa dijadikan batu pijakan untuk mengurai benang merah terorisme a la Amrozi cs.

Pertama, dua novel di atas menggambarkan pelaku bom bunuh diri “dirundung” psikologis yang terbelah --baik Sihem maupun Ahmad hidup terasing dan tidak bahagia lalu keduanya menganggap hidup di dunia ini tak punya makna dan “jalan” menebus itu adalah dengan rela mati. Apalagi, doktrin jihad menjanjikan “surga” sebagai tempat yang kelak akan dihuni. Apakah Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudra “tidak hidup bahagia” sehingga ketiganya rela mati? Tentu, butuh penelusuran lebih jauh.

Kedua, dua novel itu menjelaskan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah korban dari sebuah konspirasi. Maka, tak menutup kemungkinan tiga terpidana mati, Amrozi cs adalah korban dari konspirasi terorisme global. Dengan kata lain, ketiga orang itu hanya dijadikan sebagai tumbal.

Ketiga, dua novel di atas menegaskan bahwa di balik aksi teror dan peledakan bom yang dilakukan pelaku tak semata-mata ditopang pandangan agama saja, tapi di mata dua pengarang --John Updike dan Yasmina Khadra-- sebenarnya ada motif lain; semisal politik (dalam novel The Attack demi kemerdekaan Palestiana) dan demi alasan ekonomi guna menyingkirkan orang lain (dalam novel Terrorist). Hanya, hal itu dibungkus dengan balutan perjuangan jihad demi perjuangan Islam.

Bisa jadi, tindakan Amrozi cs itu pun tak semata demi menegakkan agama Islam, sebagaimana ulah Sihem dan Ahmad, melainkan ada kepentingan lain dan penugasan Amrozi cs tersebut dibungkus dengan jeli dengan balutan demi penegakan Islam. Meski demikian, terorisme di Indonesia tak akan pernah surut. Pasalnya, terorisme telah berurat dan berakar dalam bentuk perang psikologis, dan tanpa memahami psikologi terorisme, mustahil kita bisa menghentikan aksi teror sekalipun tiga terpidana mati sudah “dijatuhi” hukuman mati.

Sayang di antara sekian banyak sastrawan di negeri ini, tidak ada satu pun –atau setidaknya belum ada-- yang tersentuh menggarap tema terorisme apalagi menjadikan tiga pelaku bom Bali itu sebagai tokoh utama. Jika ada, tentu saja novel yang dihasilkan akan mencerahkan. Pasalnya, spirit agama tak menghancurkan peradaban, melainkan justru mengibarkan bendera perdamaian dan kesejukan di atas muka bumi ini!***

*) N. Mursidi, cerpenis dan esais, tinggal di Ciputat, Tangerang

6 komentar:

M.Iqbal Dawami mengatakan...

Bung, esai ini sedang dikirim kemana?Menarik banget temanya.Pada paragraf terakhir itu adalah tugas anda :)

penulis mengatakan...

saya kirim ke media nasional, dn minggu kemarin seharusnya sudah dimuat. tp sampai skrg belum ada kabar, jadi aku psimis bisa dimuat karena sudah basi. tp gak masalah meski tidak dimuat di media, biar aku pajang di blog ini aja. aku sudah puas setelah menulis esai tsb meski tidak ada media yang memuatnya....

doakan, semoga paragraf terakhir bisa membuatku punya minat dan keteguhan untuk menjadikannya jadi novel....

Fitria Zulfa mengatakan...

Doaku menyertaimu mas...:-)

penulis mengatakan...

doamu aku bungkus dlm tas, akan aku bawa ke mana pun aku pergi.....

Fitria Zulfa mengatakan...

Hati-hati...jangan sampai tasnya kecopetan ya... hehehe

penulis mengatakan...

jk tas itu hilang, tdk apa2 krn doa itu tak ikut ilang... ha ha ha