Rabu, 03 September 2008

sujud calon suami

cerpen ini dimuat di majalah Anggun edisi 2 September 08

Tak sabar, aku menunggu keputusan ayah. Tapi ayah tak kunjung angkat bicara. Kakiku serasa kesemutan, tubuhku seperti digerayangi gelisah. Sejak aku duduk di ruang tamu lima menit yang lalu, setelah ibu memintaku untuk segera menghadap ayah, aku seperti seorang terdakwa yang duduk di kursi persidangan, disergap takut. Ayah kulihat seakan-akan tidak menghendaki kehadiranku. Ayah masih menunduk, dan tak menoleh ke arahku. Sorot matanya khusuk, menatap lembaran koran.



Ibuku yang duduk di sebelah ayah, terlihat beku. Kaku. Dengan muka tertunduk, aku melirik ke arah ibu. Aku lihat, ibuku mengerdipkan mata, entah untuk apa. Tetapi tak lama kemudian, ayah melepas kaca matanya, dan meletakkan koran di atas meja.

“Sejauh mana kamu mengenal Mas Pras?” tanya ayah, membuatku terperanjak kaget. Mata ayah kulihat seperti berkilau dan membuatku tiba-tiba disergap resah. Ada kemilau warna putih yang terpancar dari kebeningan mata ayah.

“Bisa disebut cukup dekat, yah!” jawabku dengan gugup, “Aku sudah mengenal Mas Pras setengah tahun yang lalu.”

“Apa itu bisa menjadi jaminan bagimu, kalau kelak Mas Pras akan jadi suamimu yang baik dan mampu membimbingmu?” tanya ayah lagi membuatku teringat dengan kedatangan Mas Adi satu tahun yang lalu. Juga, Mas Arif satu setengah tahu lalu ketika keduanya datang menemui ayah. Sayang, kedua lelaki itu belum beruntung. Entah apa yang jadi pertimbangan ayah untuk calon suamiku, aku tidak tahu! Kedua pemuda itu, gagal meluluhkan hati ayah. Kini, pertanyaan ayah itu kembali terlontar. Aku tidak tahu, apa yang harus aku katakan pada ayah!

Tapi kali ini, kulihat ada nuansa yang berbeda di wajah ayah. Ayah tak bermuka durja, bahkan kulihat ada setitik kemilau warna putih yang memancar dari sorot mata lelaki yang menjadi ayahku itu. Dan sorot putih itulah yang telah membuatku sedikit lega lantaran aku memiliki semacam firasat, jika ayah akan menerima kehadiran Mas Pras di tengah-tengah keluarga kami.

"Mas Pras sebenarnya baik. Ia juga punya sopan santun dan cerdas,” ucap ayah terbata-bata, “Tetapi, ada satu hal yang membuat ayah belum bisa menerima Mas Pras untuk menjadi menantu ayah!”

Bagai disambar petir, keputusan ayah itu, seakan menempelak mukaku. Aku pun terlonjak kaget, sampai-sampai hampir terjatuh. Hatiku pedih, seperti ditusuk jarum.

“Apa yang membuat ayah tak bisa menerima Mas Pras?”

“Ada satu kriteria amat penting bagi ayah untuk menentukan calon suami kamu! Terus terang, ayah tidak bisa menjelaskan hal itu padamu, sekarang!”

“Jika ayah tidak mau menjelaskan, bagaimana mungkin aku akan tahu harapan yang ayah inginkan untuk calon suamiku?”

“Kalau ayah memberitahumu, kamu nanti akan membuat skenario di hadapan ayah. Dan ayah jelas tidak mau hal itu terjadi karena bisa membuka peluang bagi kamu untuk menipu ayah!”

Tak mau membantah, aku bangkit dari kursi, berlari ke kamar. Di atas bantal, aku menumpahkan air mataku. Aku kesal karena pertimbangan ayah untuk menerima calon menantu, membuatku tak mengerti. Ayah tak pernah jujur ketika menolak tiga laki-laki yang datang baik-baik menemui ayah.

Dadaku sesak, hatiku bagai diiris sembilu. Aku tak tahu, jawaban apa yang harus aku berikan kepada Mas Pras nanti, kalau aku balik ke kota. Padahal, aku sudah berjanji pada Mas Pras untuk membujuk ayah mati-matian. Tapi, usahaku kali ini gagal. Bahkan, ini untuk ketiga kalinya aku gagal membujuk ayah.

Aku mendengar langkah kaki seseorang masuk ke kamar. Aku yakin, itu langkah kaki ibuku. Suara langkah kaki yang pelan, tak menimbulkan gaduh. Tapi, aku tidak lagi peduli pada ibu, lantaran ibu tak mau membantuku. Ibu tak berkutik di hadapan ayah.

“Mungkin, Mas Pras bukan jodohmu! Sabarlah, karena orang yang sabar itu akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik!” bujuk ibu seraya membelai lembut kepalaku.

“Aku tidak akan kesal, jika ayah mau jujur. Tapi ayah merahasiakan kriteria calon suamiku, bu!” ucapku dengan isak tangis, seraya membalikkan badan. Kutatap lekat-lekat wajah ibuku. Aku melihat ada kegetiran yang kutangkap dari sorot mata ibu.

“Itulah ayahmu! Kamu harus paham! Ayahmu memang keras, tetapi sebenarnya ayahmu berbuat terbaik untuk memilih calon suami buatmu…”

“Bu, apa sebenarnya kriteria ayah untuk menentukan calon suamiku?”

Ibu tersenyum, dan kembali membelai kepalaku, “Kelak, kamu akan tahu sendiri. Ibu sudah berjanji pada ayahmu untuk tak mengatakannya padamu!”
***

HARI ini, tepat hari ke-10 aku tinggal di rumah sejak pulang ke kampung. Dua hari yang lalu, seharusnya aku sudah balik ke kota, karena aku telah berjanji pada Mas Pras untuk memberikan jawaban. Tapi keputusan ayah, membuatku tidak berani menjumpai Mas Pras, apalagi berkata jujur. Setiap kali Mas Pras menelponlku, aku terpaksa berdusta dengan alasan masih membujuk ayah.

Tetapi sampai kapan aku akan tinggal di rumah dan menghindar dari Mas Pras? Aku tidak tahu! Penolakan ayahku terhadap Mas Pras yang telah jauh-jauh datang dari Jakarta ke rumahku, membuatku terguncang, dan tertampar duka. Padahal, tidak lama lagi, aku akan lulus S2 dan usiaku tidak lagi muda; 28 tahun.

Selama sepuluh hari di rumah itu, aku hanya diam di kamar. Aku mengunci pintu rapat-rapat, tak pernah keluar, kecuali hanya untuk makan dan mandi. Aku benci pada ayah. Juga pada ibu, lantaran ibu tidak berani membocorkan kriteria calon suami yang dikehendaki oleh ayah. Berulangkali ibu membujukku untuk segara balik ke kota supaya tesisku cepat selesai. Tapi aku diam tak memberi jawaban. Penolakan ayah membuatku marah, dan aku sudah berjanji untuk tak balik ke kampus selama ayah masih bungkam soal kriteria calon suamiku. Aku pikir, dengan cara itu, ayah akan luluh.

Tapi, ayah tetap diam, tak peduli ulahku. Hingga suatu siang, ibu mengetuk pintu kamarku. Semula, aku mengira kedatangan ibu atas suruhan ayah yang mau mengalah dan berdamai. Ternyata, dugaanku itu salah. “Ada temanmu yang datang! Apa kamu tak ingin menemuinya?” kata ibu dari balik pintu.

“Siapa namanya, bu?”

“Mas Lutfi…” jawab ibu setelah berpikir agak lama, “Apa kamu masih akan tetap mengunci diri dalam kamar dan tak ingin menemuinya?”

“Sebentar lagi, bu! Tolong ibu temui dulu Mas Lutfi, sekitar sepuluh menit lagi saya ke ruang tamu.”
***

“SATU kehormatan, akhirnya mas Lutfi mampir ke rumah,” sambutku saat berada di ruang tamu. Dan, ibu bangkit dari kursi, pergi ke belakang.

“Kebetulan saja, apalagi saya sedang ada acara di Surabaya. Makanya, saya menyempatkan mampir. Toh, jarak Surabaya dari sini, tidak terlalu jauh. Tapi, kalau mau jujur, sebenarnya saya ke sini atas permintaan Rini. Semalam, dia menelpon saya…”

Deg! Jantungku hampir copot. Aku tidak menduga jika Rini -temanku sekampus- telah bercerita kepada Mas Lutfi. “Pasti Mas Lutfi membawa pesan Rini untuk memintaku segera balik ke Jakarta?”

“Tak salah!”

“Tapi, aku sudah memutuskan tak akan balik, Mas.”

Mas Lutfi menarik napas panjang. Aku tahu, dia tidak akan menyerah untuk terus membujukku. Aku mengenal Mas Lutfi sejak kami kuliah S1 dan Mas Lutfi telah banyak membantu, mengajariku banyak hal, terutama ilmu agama. Maklum, dia dahulu pernah belajar di pesantren sewaktu masih SMU.

“Mungkin kamu butuh waktu untuk merenung. Tak ada salahnya menenangkan diri di rumah beberapa saat. Tapi, saya tetap memintamu untuk tak keluar kuliah. Jalan panjang yang kamu ukir, jangan sampai berakhir sia-sia hanya karena masalah ini!”

Dari pintu, ayahku yang baru pulang dari masjid menunaikan shalat dhuhur tiba-tiba muncul.

“Rupanya lagi ada tamu! Kenapa cuma disuguhi minuman saja? Sana… siapkan makan siang!” pinta ayah, seraya memberiku sebuah isyarat.

”Tidak usah repot-repot, pak! Kebetulan saya dikejar waktu, karena tiket pesawat yang saya pesan berangkat jam 5 sore nanti,” timpal Mas Lutfi, seraya menengok jam di tangannya. “Hanya saja, jika tak keberatan, saya bisa numpang shalat dhuhur di sini…”
***

SETUMPUK piring yang ada di tanganku hampir jatuh, tatkala aku melintasi ruang shalat hendak menaruh piring di meja makan. Aku lihat ayah mengendap-ngendap dari balik gorden, mengintip ke ruang shalat. “Apa yang ayah lakukan di sini?”

Ayah tak menjawab, hanya memberi sebuah isyarat padaku untuk diam dengan menaruh jari telunjuk di bibirnya. “Sssssst!”

Aku melangkah ke ruang makan, memendam penasaran. Apa yang dilakukan ayah sampai harus mengintip Mas Lutfi shalat?
***

TIDAK lama setelah makan siang, Mas Lutfi pulang. Ayah dan ibu ikut mengantar Mas Lutfi sampai pintu pagar. Tapi setelah sosok Mas Lutfi menghilang dari pandangan kami, ayah tiba-tiba menggeret tanganku. “Kali ini, pilihanmu tidak salah! Aku merestui Mas Lutfi untuk jadi suamimu!”

“Hhhhh?!?” Aku terbengong.

“Kalau bisa, kau minta keluarga Mas Lufti untuk segera datang ke sini!”

“Apa yang membuat ayah tiba-tiba memutuskan Mas Lutfi cocok untukku?”

“Dia memenuhi kriteria sebagai calon suamimu. Tadi aku sengaja mengintipnya waktu ia menunaikan shalat. Dan saat ia sujud, aku melihatnya dengan jelas bahwa ia mengerjakan shalat dengan benar. Jadi, ia lulus ujian untuk jadi calon suamimu…”

“Tapi, ayah….”

“Tapi apa?!?”

“Mas Lutfi datang ke sini hanya sekedar main, tidak lebih dari itu…!”

Ayah terperanjak, kaget. Kami semua saling melempar pandang. Ibu melirik ke arah ayah. Dan ayah melirik ke arah ibu. Aku tersenyum. Tapi ayah dan ibu hanya diam, memandangku dengan heran.***

Ciputat, 01 Juli 08

4 komentar:

edyfirmansyah mengatakan...

Salam Bang Nur. Saya juga Baca Karya anda di Majalah HIDAYAH edisi Juni Soal Perang di Zaman Nabi (maap saya lupa judulnya). kebetulan saya bertamu ke tempat teman yang baru saja membeli hidayah. iseng saya baca. dilalah, ada tulisan sampeyan. TABIK!

penulis mengatakan...

tabik juga, buat sampeyan. terima kasih.....

Euis Marlina mengatakan...

Cerpen yang bagus. Salam kenal. Boleh ya saya add link kedua blog mas mursidi di blog saya. Saya lagi proses belajar menulis. Tulisan2 mas mursidi memberikan pencerahan. Terima kasih.

http://lina84.wordpress.com
http://adeisti.blogspot.com

penulis mengatakan...

terima kasih atensinya. silahkan jika mau nge-link 2 blog sy. sy jg minta ijin utk link blog euis, maklum masih gagap teknologi. masih butuh kursus tentang IT