Senin, 07 Januari 2008

suatu pagi di akhir ramadhan

Cerpen ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 22 Sep 2007

/1/
NAMAKU Dian Lembayung. Aku anak tunggal. Lahir di Solo, 29 Juli --dua puluh dua tahun yang lalu. Kedua orangtuaku memanggilku Dian, tapi aku lebih senang kalau kamu memanggilku Lembayung. Entah kenapa, aku senang jika dipanggil Lembayung. Aku berharap, kamu tidak keberatan!
***


/2/
AKU tak keberatan memanggilnya Lembayung. Sebuah nama yang sahdu. Dia perempuan yang selalu tergeragap, saat aku tiba-tiba menelponnya di kala senggang. Suaranya sendu mirip irama angklo saat ditiup angin dan selalu membuatku senang untuk menggodanya. Dia kerap tersipu. Maklum, aku ini lelaki lajang yang sudah lama tak memiliki kekasih. Jadi, aku suka menggoda siapa saja!

Tetapi, aku tak mengenal Lembayung kecuali hanya sepenggal namanya yang tersimpan dalam phonebook ponselku. Lebih dari itu? Aku hanya tahu hari ulang tahunnya, tanggal 29 Juli, juga ia terlahir sebagai anak tunggal yang tinggal di Solo. Maka jangan tanyakan kepadaku di mana alamat Lembayung. Aku pasti menggelengkan kepala! Ah, mungkin aku ini laki-laki bodoh yang mengenal perempuan hanya sepenggal namanya. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya, padahal jarak kota Solo dan Jakarta dapat aku tempuh dengan naik pesawat tak kurang satu jam. Tapi, aku tak ingin bertemu Lembayung. Biar aku selalu merindukan, rindu suaranya yang sendu.


Jelas, kalian akan mengangapku lelaki yang tidak punya keberanian untuk kecewa kalau dalam sebuah janji pertemuan ternyata aku menjumpai ia perempuan biasa, tak cantik. Aku tak pernah peduli jika aku tahu ia tak cantik, tapi aku sudah senang sejak mengenal Lembayung dan mendengar suaranya yang sendu, kadang membuatku sesak napas. Aku tidak perlu lagi melangkahkan kaki, mengetuk pintu rumahnya dan bercengkrama sampai larut malam padahal aku sudah mengenalnya dua tahun lalu. Aku tahu, Lembayung pasti akan mengira aku ini lelaki egois yang dia kenal lantaran aku kerap menelponnya di tengah malam hanya untuk berbagi cerita.

***

/3/
AKU tak sejahat itu! Bagiku, kamu tidak lelaki egois, dan brengsek. Kamu cukup baik, karena mau mengenalku. Aku sudah senang kamu menelponku, menghabiskan pulsa, sekadar bercerita tentang masa kecilmu atau dunia kerjamu. Lebih dari itu? Aku mungkin terlalu berharap jika harus memintamu datang ke Solo, mengetuk pintu rumahku yang angkuh. Aku sudah senang waktu kamu menelponku, meski aku kerap menolak tatkala kamu bertanya banyak hal tentang diriku...

***

/4/
AH, aku yakin Lembayung pasti bohong! Karena persahabatanku dengannya cukup unik dan tak masuk akal. Aku tahu Lembayung tak pernah menjalin hubungan dengan lelaki sepertiku. Tetapi bagiku, justru persahabatanku dengan Lembayung adalah sebuah persahabatan yang tulus. Aku hanya tahu nama Lembayung, tidak tahu lebih dari itu. Apalagi sampai tahu di mana dia menghabiskan malam minggunya yang menentramkan. Sudah cukup bagiku, aku tahu Lembayung adalah perempuan baik waktu aku menelponnya, dan suaranya yang sendu kerap membuatku tersedak.


Ah, Lembayung memang perempuan baik. Tetapi, aku justru mau menjalin hubungan dengannya, bukan lantaran dia baik, melainkan karena kami ini manusia yang dilahirkan untuk saling mengenal. Apa yang salah jika aku dan Lembayung saling kenal? Untuk itu aku membujuknya mati-matian agar ia mau jadi temanku, meski aku tahu awalnya ia tidak percaya, ragu dan takut.


Tetapi, Lembayung perempuan baik yang pernah kukenal. Karena setelah hari demi hari berlalu, waktu membuat kita saling dipertautkan kesepian, ia tak lagi takut untuk mempercayaiku. Justru, aku yang kemudian dihantui rasa takut. Aku takut, kalau Lembayung ternyata perempuan yang tak seperti aku bayangankan. Mungkin, dia sudah bersuami, misalnya. Apa jadinya jika suaminya sampai tahu? Apa jadinya kalau aku terlanjur jatuh cinta dan tak bisa melupakannya, sementara ia sudah bersuami atau sudah punya anak?


Untung, Lembayung tak pernah mengatakannya dan aku selalu membunuh rasa takutku tatkala tengah malam tiba dan bayangan Lembayung tidak bisa aku tepis ketika aku hendak beranjak tidur. Aku selalu memikirkan Lembayung dalam remang rembulan yang membisu dan aku meyakinkan diriku bahwa ia masih lajang, belum punya kekasih. Jadinya, aku tidak takut lagi jika suatu saat nanti aku akan jatuh cinta...

***

/5/
JIKA kamu menganggap hubungan kita sebuah misteri, aku menganggap perkenalan kita yang justru sebuah misteri. Sebab aku tak pernah menyangka akan mengenalmu. Juga sebaliknya, aku yakin kau tidak pernah menyangka jika kemudian mengenalku. Kita belum pernah bertemu, tak pernah tahu, dan mau tahu wajah masing-masing. Kenapa bisa perkenalan kita terjadi?

***

/6/
MUNGKIN Lembayung benar. Perkenalan kita memang unik. Aku mengenal Lembayung bermula dari kiriman sms-ku yang kukirim ke nomor sembarangan di tengah malam, ketika aku tidak bisa tidur. Aku iseng menulis pesan yang isinya meminta tolong untuk membangunkanku, supaya aku bisa bangun sahur tak kesiangan. Tentu, Lembayung berpikir aku salah kirim sms. Tapi, harus aku katakan, aku tak salah kirim sms. Aku memang iseng mengirim ke nomor sembarangan. Kebetulan itu terkirim ke nomor Lembayung.


Terus terang, aku hanya menulis pesan iseng agar aku tak bangun kesiangan, bisa makan sahur karena hari itu teman sekamarku sedang bertugas ke luar kota. Aneh, di pagi itu Lembayung mau membangunkanku meski sempat terkejut dan bengong saat membaca smsku ketika dia bangun dari tidur.


Pagi itu, terus terang, aku tergeragap, tidak percaya jika ia mau membangunkanku, meski hanya missed call. Setelah aku bangun, ia mengirim sms untukku yang membuatku tahu dia ternyata perempuan yang baik.
***


/7/
JUJUR, kukatakan aku ini tidak perempuan baik. Mungkin kau belum mengenalku lebih jauh! Di ujung pagi itu, aku bangun, lalu membuka sms. Aku dapati nomor asing yang tidak kukenal. Aku terperanjat kaget, membaca sms-mu dan segera membangunkanmu agar kamu sahur, dan siangnya menjalani puasa. Aku kira, kamu salah mengirim sms, maka aku mengirim sms balik, "Kamu siapa? Apa kamu salah kirim sms?"

***

/8/
AKU terpaksa bohong. Aku membalasnya "Aku salah kirim sms". Karena dia serius menanggapi permintaanku, maka aku tak tega jika dia tahu aku iseng belaka. Aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya jika aku mengaku iseng? Aku yakin. Ia marah atau bisa jadi, akan mengumpatku. Sengaja aku bohong.


Tapi aku tahu ia perempuan baik. Maka, setelah dia membangunkanku di pagi Ramadhan itu, aku bergegas membeli nasi di warung tegal. Aku berpuasa dengan tegar dan sorenya menghubungi Lembayung untuk meminta maaf. Tapi suaranya yang sendu membuatku terhenyak, kaget dan aku lupa menanyakan siapa namanya, kecuali meminta maaf...

***


/9/
AKU diam, tak berkomentar kala kamu pertama kali menelponku di sore itu. Seperti aku, kamu juga tak menanyakan siapa namaku, juga di mana aku tinggal. Mungkin, kamu tidak percaya kalau aku mau menerima telponmu padahal kamu belum aku kenal. Aku hanya ingin tahu, sejauh mana kau punya keberanian untuk berkata jujur. Tetapi, aku tersanjung kamu menelponku. Aku hanya penasaran kenapa kau mau mengajakku berteman?

***

/10/
AKU tidak dapat menemukan kata yang pas, kenapa aku mau mengajak Lembayung berteman. Tapi, aku yakin bahwa ia perempuan baik, maka aku ditikam kecewa jika harus melupakan kebaikannya yang sudah bersusah payah membangunkanku sahur di pagi itu. Maka, aku setengah memaksanya untuk mau berteman denganku meskipun selanjutnya aku selalu merepotkannya untuk membangunkanku sahur seperti anak kecil yang butuh dibangunkan ibunya. Aku yakin, ia pasti bosan membangunkanku.

***

/11/
AKU tidak pernah bosan, meski sejak pagi itu aku harus selalu membangunkanmu untuk sahur. Apa salahnya berbuat baik? Aku senang berbuat baik, sebab Tuhan nanti membalas kebaikanku.

***

/12/
AKU sudah menduga, Lembayung perempuan baik dan kebaikannya itu yang akhirnya memikat hatiku, meski aku belum pernah melihatnya. Apa ia cantik? Aku tak tahu! Tetapi perhatiannya padaku yang selalu membangunkanku sahur, sungguh membuatku tak bisa melupakannya, apalagi kala aku susah tidur. Aku selalu membayangkannya, berharap agar malam cepat berganti pagi karena jika pagi tiba ia akan membangunkanku. Aku seperti menemukan pagi yang segar. Sudah hampir sebulan, aku dibangunkannya.

Tetapi tepat di pagi tanggal duapuluh sembilan di bulan Ramadhan itu, aku berharap akan menjadi hari terakhir dia membangunkanku.

Tetapi, di malam keduapuluh sembilan itu, aku ternyata tak bisa tidur. Hatiku gundah. Keringat membasahi tubuhku. Aku tak bisa memejamkan mata. Aku melongok jam dinding. Pukul dua dini hari. Aku ingin menelponnya. Tetapi aku tahu ia sedang tidur, sehingga aku tak jadi menelponnya. Aku takut dia tertidur lelap. Aku urung menelponnya. Padahal, malam merambat dan hari berganti pagi. Dingin pagi menusuk tulang. Aku bergidik, takut.

Aku melongok jam di dinidng. Pukul tiga dini hari. Aku tunggu dia menelponku. Tidak ada dering. Padahal, setiap jam tiga, dia selalu membangunkanku untuk sahur. Tiba-tiba, aku ditikam resah. Dingin pagi membuatku gelisah, menggigilkan tulangku. Lima menit berlalu, ponselku tidak juga kunjung berdering. Dia tidak menghubungiku. Sepuluh menit berlalu, hp-ku masih diam membisu.


Hatiku berdebar kencang, tak tahu kenapa dia tidak kunjung menghubungiku di pagi terakhir Ramadhan itu. Aku gelisah, aku merana. Ditikam cemas, aku memejet nomornya. Aku tunggu jawaban. Aku tak sabar ingin mendengar suaranya yang sendu, yang mungkin baru bangun tidur.

Tapi yang kuharapkan, ternyata sirna. Aku tidak mendengar desah nafasnya. Ponselnya tidak aktif. Aku seperti menelpon senyap, tidak aku dengar suara sendunya tatkala ia membangunkanku sewaktu aku masih di balik selimut. Aku seketika resah.

Apa di pagi akhir Ramadhan itu ia lupa mengaktifkan hp dan tertidur pulas sehingga tak sahur? Aku tak pernah punya jawaban! Karena sejak pagi terakhir Ramadhan itu Lembayung tidak pernah kirim kabar lagi. Hp-nya tak pernah aktif dan bahkan nomornya kemudian mati. Padahal, aku tidak mengenal Lembayung kecuali hanya sepenggal namanya yang tersimpan dalam phone book ponselku. ***


Cerita untuk Dian Puspitasari di Solo,
Yogyakarta-Cibubur, 2003-2007

1 komentar:

Unknown mengatakan...

halo mas..salut sama cerpen2nya.. Gak kebayang bagaimana bisa mendapat ide dan menguraikannya dalam kalimat-kalimat panjang itu. Keren bener! Kapan-kapan ajarin dong bikin cerpen.. :-)