Jumat, 26 Oktober 2007

Dimensi Rasionalitas tasawuf Al-Ghazali

Resensi ini dimuat di KOMPAS, Sabtu 23 November 02

------------------------------------

Judul Buku: Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali Penulis: Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan: Pertama, 2002 Tebal buku: xi + 249 halaman
-----------------------------------

KEBIMBANGAN tampaknya bisa menjadi salah satu faktor bagi seseorang untuk kemudian tenggelam ke dalam relung tasawuf demi memetik sebuah kedamaian hati. Setidaknya, itulah yang dialami oleh Al-Ghazali, salah satu tokoh besar Islam yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan "Hujjatul Islam". Sebab, setelah pengembaraannya dalam belantara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat tak mendapatkan banyak hal bahkan justru mengalami kebimbangan dan sakit fisik yang berat, Al-Ghazali-setelah sembuh-kemudian menempuh jalan hidup menjadi seorang sufi.


Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf.

Jika pada awal pembentukan tasawuf-berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan-dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazaid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.

Kendatipun sumbangan Al-Ghazali dalam tasawuf bisa dikatakan cukup besar dan telah memberikan warna baru, dan berusaha merilis satu jalan ruhani menuju Tuhan dengan mendasarkan Al Quran dan hadits, selain secara epistemologi berusaha menemukan kebenaran dengan jalan intuisi (dzauqiyah), toh oleh banyak kalangan (Barat) tasawuf tetap dianggap antirasionalitas. Bahkan yang lebih parah lagi adalah adanya satu tuduhan di mana karena tasawuflah, umat Islam mengalami kemunduran.

Adanya tuduhan itu, memang tak lepas dari gencarnya serangan yang dilakukan Al-Ghazali kepada filsuf-filsuf Muslim, di mana akhirnya secara sepihak dimenangkan oleh Al-Ghazali. Dengan demikian, Al-Ghazali pun kemudian kena satu klaim sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kemunduran (umat) Islam tersebut.

***

BUKU Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali ini memang tidak berpretensi untuk menjawab tuduhan di atas dan melakukan pembelaan terhadap Al-Ghazali. Akan tetapi, buku yang ditulis oleh Amin Syukur dan Masyharuddin-dua orang ilmuwan Muslim yang memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah tasawuf-ini jelas ingin menunjukkan dan membuktikan dengan disertai argumen yang meyakinkan bahwa rumusan tasawuf yang dikembangkan Al-Ghazali bukanlah suatu rumusan tasawuf yang sepi dari adanya penalaran (rasionalitas).

Adanya segi-segi penalaran mengenai konsepsi tasawuf Al-Ghazali, dalam buku ini ditunjukkan dari hasil lacakan melalui dasar-dasar ontologis tasawuf Al-Ghazali yang mengakui otoritas jiwa/akal sebagai substansi yang berdiri sendiri dan merupakan tempat bersemayamnya pengetahuan-pengetahuan intelektual. Selain itu, Al-Ghazali juga mengakui metafisika cahaya (nur), yang mana Allah sebagai asal-usul segala cahaya serta hubungannya dengan dunia ciptaan yang menerima cahaya dari-Nya.

Begitu juga tentang moral, dapatlah dikatakan bahwa tasawufnya bersifat religius dan sufistik, mesti tidak berarti Al-Ghazali menolak prinsip etika yang berasal dari sumber lain, yakni rasio/filsafat. Dari situ, sebenarnya sudah tampak sikap Al-Ghazali yang tidak menafikan peranan akal dalam konsepsi tasawufnya.

Meski demikian, hal itu masih kurang memadai. Lebih lanjut, Masyharuddin dalam bagian kedua buku ini kemudian melakukan analisis atas rasionalitas dari sisi epistemologi. Ditinjau dari dimensi rasionalitas, dia melihat konsepsi tasawuf Al-Ghazali berdasarkan epistemologi yang dikembangkan tampak tercermin pada; 1) penggunaan logika yang tetap dalam memahami tasawuf maupun perumusannya, sehingga bangunan konsepsi tasawufnya memiliki segi pemikiran logis dan rasional, 2) penggunaan analog-analog secara tepat dalam mengomunikasikan pemikiran tasawufnya, dan 3) sikap apresiatifnya terhadap akal, sehingga pemikiran tasawufnya tidak menolak akal sama sekali. (hlm. 227)

***

AKHIR kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan Al-Hawari-karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.

Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri, ternyata apa yang telah diupayakan oleh Al-Ghazali tersebut telah melahirkan implikasi dan ekses yang tak bisa dibendung. Pemikiran tasawufnya mengalami kemandulan dalam periode sesudahnya.

Adanya kemandulan pemikiran tasawuf pasca-Al-Ghazali itu, tak lain karena tasawuf telah didistorsi dalam bentuk tarekat-tarekat yang lebih menyerupai agama dalam agama. Akibatnya, tasawuf yang sebenarnya sarat dengan muatan intelektual-sebagaimana yang dirumuskan Al-Ghazali-mengalami pereduksian dimensi kognitif dan berubah menjadi rutinitas ritual di bawah para syeikh/mursyid tarekat dengan segala implikasinya, seperti pemujaan wali, pencarian berkah, dan sebagainya. Dengan demikian, apakah Al-Ghazali salah dan harus bertanggung jawab terhadap kemunduran umat Islam? Semua itu tentunya dibutuhkan kecermatan yang tidak serampangan!

*) nur mursidi, Mahasiswa Filsafat IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar: