Jumat, 30 September 2011

Pendidikan Antikorupsi

Opini ini dimuat di Suara Karya, Kamis 29 September 2011

"Tujuan besar pendidikan itu bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan." (Herbert Spencer)

Sudah tak terhitung lagi sekolah dan lembaga pendidikan di negeri ini yang didirikan. Juga tidak terhitung pula lulusan yang dihasilkan, seperti teknisi, menteri, hakim, polisi, tentara, dosen, guru dan sejumlah tenaga profesional bergelar Ir, MA, PhD dan bahkan profesor. Tetapi, yang menjadi persoalan, kenapa Indonesia justru kian terpuruk serta dilanda korupsi yang cukup akut dan bahkan terkesan tak bisa disembuhkan?

Terbongkarnya kasus korupsi di sejumlah lembaga, dan badan pemerintahan, telah menjadi bukti bahwa "pendidikan" di negeri ini belum mampu menjadi obat mujarab dalam pemberantasan korupsi. Padahal, bukan rahasia lagi, mereka yang melakukan korupsi rata-rata orang-orang yang berpendidikan.

Sejarah mencatat, bagaimana peranan pendidikan telah mengubah dunia dan peradaban. Maka, tidak berlebihan, kebesaran peradaban (kebudayaan) Mesir Kuno, Sumeria, India, China dan Yunani masa itu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan para pendidik yang "menggali" sumber ilmu pengetahuan dari ajaran dan risalah yang termaktub di dalam kitab-kitab suci. Nama tokoh-tokoh besar seperti; Budha, Confusius, Lao Tzu, Socrates, Plato, serta Aristoteles, dikenal sebagai orang-orang besar yang mengubah bangsa dan dunia lewat jalur pendidikan yang disebarkan kepada generasi-generasi berikutnya.

Lebih dari sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan dan kebenaran, satu hal penting yang diajarkan mereka adalah pentingnya pendidikan sebagai sarana penyadaran. Penyadaran di sini meliputi "sadar diri", sadar terhadap lingkungan, serta sadar akan makna dan tujuan hidup. Socrates dalam pengajarannya menerapkan prinsip-prinsip universal yang tidak lepas dari prinsip kebenaran, keindahan, serta kebaikan secara umum dengan tidak lupa melibatkan kesadaran anak didik. Prinsip-prinsip itu pula yang kemudian dilanjutkan oleh Plato.

Tokoh pendidikan lain yang mengumandangkan pentingnya penyadaran dari tujuan pendidikan tidak lain adalah Foerster. Dia adalah seorang pedagog yang melihat tujuan pendidikan dengan menandaskan akan arti pembentukan karakter. Karena, dengan pembentukan karakter, subyek (baca: anak didik) akan memiliki mentalitas yang kuat selain ditunjang dengan "intelektualitas" (rasio) dalam memahami sebuah masalah.

Tujuan pendidikan dari sang pedagog Foerster itu yang telah dilupakan dalam penyelenggaraan pendidikan di negara Indonesia ini sehingga korupsi tak berkurang, meski lulusan dari bangku sekolah dan Perguruan Tinggi berjibun dan bergelimang. Memang, tidak sedikit negeri ini memiliki orang yang berpengetahuan tinggi tapi anehnya toh korupsi masih tidak bisa dikendalikan. Kenapa? Karena tiadanya karakter yang kuat dalam pribadi siswa.

Penyenggaraan pendidikan kita lebih menitikberatkan kecerdasan akal, dan mengesampingkan emosi dan karakter. Akibatnya, tingginya tingkat intelegensi tidak diimbangi dengan komitmen yang tinggi pada upaya dan kesadaran dalam bertindak.

Lebih parah lagi, penyelenggaran pendidikan kemudian menjadi semacam industri. Tak pelak, kalau segalanya diukur dengan uang (materi). Alih-alih, pendidikan akan dapat menjadi ruang publik memberantas tindak korupsi, justru pendidikan bahkan "sarat muatan korupsi". Satu kenyataan yang sulit diingkari dan sudah jadi rahasia umum adalah "suap" dalam seleksi calon PNS.

Kalau pada awal seleksi, seorang guru sudah melakukan penyuapan, maka tak mustahil dalam proses belajar selanjutnya akan berlangsung keadaan yang tak sehat. Tak ayal, jika, guru kemudian ingin mengembalikan modal (suap) yang telah dikeluarkan pada awal masuk dengan menghalalkan segala cara. Praktik penjualan buku yang bisa disebut memaksa murid, manipulasi nilai rapor, menjadi calo penerimaan murid baru dan lain sebagainya.

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa itu, mungkin sangat pas untuk menggambarkan potret wajah pendidikan kita. Kalau guru sudah berani menilap uang BOS (Bantuan Operasional Sekolah), maka murid pun sudah barang tentu akan berperilaku lebih bobrok, semisal tawuran, nyontek, dan melakukan penyuapan bila rapornya jelek. Rapor pun bisa disulap jadi sederatan rupa yang bisa ditentukan dengan sejumlah uang yang ditawarkan.

Itulah wajah pendidikan negeri ini yang bopeng, kropos dan sarat muatan korupsi? Karena itulah, meski lulusan dari lembaga pendidikan di negara kita bertitel atau bergelar insinyur, master, doktor dan profesor, tapi korupsi toh berjalan terus. Bagaimana membuat pendidikan kita menjadi sarana penyadaran, terutama dalam memberantas korupsi?

Dengan "wajah pendidikan" kita yang buruk muka, maka sudah seharusnya digalakkan revolusi pendidikan. Apalagi, sejak reformasi bergulir di negeri ini, nyaris pendidikan tak tersentuh gerakan angin reformasi. Salah satu upaya untuk melakukan reformasi pendidikan adalah dengan menerapkan pelajaran 'antikorupsi'.

"Pendidikan antikorupsi" sudah digulirkan oleh Basuki Sugito, seorang guru di SMPK, Kudus, Jateng. Pelajaran ini tak sekedar mampu "mengebrak kurikulum", namun bahkan telah "menabuh" genderang perang melawan korupsi lewat jalur pendidikan. Tentu, "pendidikan antikorupsi" ini merupakan aplikasi lebih jauh dari tujuan pendidikan Foerster, di mana pembentukan karakter dengan memberikan penguatan komitmen, loyalitas dengan tidak menyontek, masuk sekolah "tepat waktu", disiplin dan melakukan tindakan berkepribadian baik.

Kalau pendidikan antikorupsi ini diterapkan di seluruh sekolah - sebagaimana yang telah diterapkan di negara Kamboja -, bukan mustahil, korupsi di negeri ini akan bisa dicegah sejak dini lewat jalur pendidikan. ***

*) N. Mursidi, adalah peneliti pada Pusat Kemajuan Kebudayaan Jakarta.

Tidak ada komentar: