Selasa, 06 Agustus 2013

Zakat dan Ekonomi Kerakyatan

opini ini dimuat di Suara Karya, Selasa 6 Agustus 2013

PADA bulan Ramadhan, atau lebih tepatnya menjelang hari raya Idul Fitri, zakat menjadi tema yang aktual (urgen) untuk dibicarakan. Sebab umat Islam yang secara finansial punya kelebihan harta kekayaan dituntut untuk mengeluarkan zakat. Sebagai salah satu dari pilar Islam, zakat wajib ditunaikan. Bahkan kesadaran untuk mengalokasikan sebagian harta merupakan bentuk pengejawantahan dari upaya membersihkan diri dari harta yang dapat dikatakan subhat lantaran dalam harta itu ada hak bagi kaum fakir miskin (yang harus dibayarkan).


Tetapi, zakat secara makro memiliki dimensi yang jauh lebih luas. Dengan kata lain, zakat tidak sekadar sebagai upaya pembersihan diri, tetapi berkorelasi luas karena memiliki urgensitas yang berpotensi dapat membangun pilar ekonomi kerakyatan sebuah bangsa, terlebih bagi bangsa Indonesia ini. Apalagi, potensi zakat di Indonesia --sebagaimana pernah dikemukan oleh Dr Didin Hafidhudin-- sungguh tinggi: Rp 217 triliun per tahun. Sayang, potensi zakat di Indonesia baru terserap, serta dikelola oleh lembaga amil zakat sekitar satu persen. Pada 2011 jumlah penerimaan sebesar Rp 1,7 triliun kemudian pada 2012 menjadi Rp 2,73 triliun.

Jumlah yang fantastis (potensi zakat Rp 217 triliun per tahun) itu, tidak dapat dimungkiri bisa dicatat sebagai modal penting dalam upaya membangun ekonomi kerakyatan. Apalagi, sejak 14 abad yang lalu, zakat merupakan salah satu instrumen yang dianggap mampu mengatasi kesenjangan dan bahkan krisis ekonomi di tengah masyarakat.

Dimensi Sosial Zakat
Berbeda dengan ritual lain seperti shalat, puasa, dan haji, zakat memiliki dimensi sosial yang lebih kental. Hal itu sebagaimana ditegaskan Allah dalam QS. Al-Maidah [5]: 55. Dari teks kitab suci itu, jelas digambarkan bahwa "salat" merupakan ibadah yang sifatnya vertikal sementara zakat adalah ibadah yang memiliki dimensi horizontal. Salat memiliki dimensi langsung kepada Allah sedangkan zakat adalah wujud dari kasih sayang Allah kepada manusia karena manfaat dari zakat itu bisa dirasakan langsung oleh kaum fakir miskin dalam menjalani kehidupan nyata di dunia ini.

Dalam teks tersebut, secara gamblang bisa dibaca bahwa secara eksplisit Islam bukan sekedar agama personal yang tidak memiliki kepekaan pada aspkes sosial. Bahkan, Islam menegaskan kepada umatnya untuk "memperhatikan" kepentingan sesama. Sebab agama Islam mengajarkan setiap mukmin untuk menghormati orang lain, seperti tamu, tetangga dan bahkan Rasul pun menuntut umat Islam untuk berdiri sebagai bentuk penghormatan saat menjumpai jenazah diusung ke pemakaman --sekalipun jenazah itu bisa jadi orang Yahudi atau Nasrani.

Kepedulian Islam dalam memberikan perhatian kepada sesama, terlebih kepada fakir miskin itulah yang diamanatkan oleh zakat. Sebab, zakat -secara umum- dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjaga kesenjangan sosial, mengentaskan kemiskinan, dan bisa dijadikan sebagai "solusi" untuk mengurangi pengangguran. Tak berlebihan, jika zakat kerapkali dihubungkan sebagai upaya membangun kesejahteraan bagi kaum dhuafa atau fakir miskin.

Tujuan zakat adalah sebuah amanah agung untuk mengangkat kesejehteraan kaum fakir miskin. Itu pesan yang diamanatkan dalam Al-Qur'an sebagaimana dijelaskan secara gamblang, bahwa "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana" (QS. At-Taubah : 9: 60).

Itulah pesan penting (amanah) zakat sehingga zakat kerapkali disebut-sebut memiliki aspeks sosial yang kental. Sebab, dalam implementasinya zakat tak sebatas pelaksanaan rukun Islam tetapi satu ibadah yang mempunyai efek domino dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam mengangkat harkat dan martabat kaum miskin dari garis kemiskinan dan bisa jadi "solusi" kehidupan mereka agar menjadi lebih baik.

Membangun Ekonomi Kerakyatan
Dalam teks kitab suci al-Qur`an, zakat secara tekstual memang dianjurkan untuk dibagikan kepada delapan golongan yang berhak untuk menerimanya. Tetapi, dalam kajian kontemporer, zakat telah mengalami reformasi konseptual dalam area operasional (pembagian zakat). Tak pelak, dana zakat kemudian tidak hanya dibagikan secara terbatas kepada delapan golongan --penerimaan zakat (mustahiq) yang diartikan secara sempit. Reformasi konseptual itulah yang kemudian memperluas cakupan "pembagian zakat" lebih luas, meliputi segala hal yang bersifat produktif yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum dhuafa saja, tapi juga telah dikembangkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi ummat.

Dengan konsep itu, dana zakat yang terkumpul akan menjadi efektif sebab zakat tak hanya digunakan untuk hal-hal yang sifatnya charity atau dibagikan secara konsumtif. Tapi dana zakat itu diupayakan semisal, menjadi modal usaha bagi kaum fakir miskin yang bersifat produktif. Juga dana zakat dialokasilan untuk memiliki daya manfaat yang lebih panjang bagi mustahiknya. Karena itu, dana zakat dikelola dalam bentuk yang kreatif dan inovatif yang kemudian diberikan dalam kerangka "pemberdayaan" (ekonomi) umat.

Dengan melihat aspeks manfaat jangka panjang dari dana zakat yang dikelola dalam bentuk-bentuk usaha produktif, tidak dapat dimungkiri jika aplikasi zakat itu akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Secara luas, dana zakat itu mengangkat harkat dan martabat kaum miskin (masyarakat kecil) sebab memiliki misi untuk meningkatkan pendapatan dan pemasukan mereka. Pada akhirnya, upaya itu tidak hanya berdampak pada peningkatan produksi dan investasi, melainkan juga pada pengurangan pengangguran karena ada permintaan tenaga kerja. Maka, tingkat pengangguran dan angka kemiskinan jadi berkurang.

Tetapi, dana zakat akan bisa efektif jika memang pengelola zakat itu efektif. Tanpa ada pengelolaan yang efektif dan memiliki misi mulia untuk membangun ekonomi kerakyatan, maka zakat yang terkumpul akan habis karena lebih bersifat konsumtif daripada sebagai "aset atau modal" yang produktif. Karena itulah, lembaga zakat --sebagai pelaksana operasional zakat-- harus mendapatkan dukungan secara politik, ekonomi dan hukum. Karena zakat tak semata-mata terkait dengan masalah ekonomi semata.

Sayangnya, keberadaan lembaga zakat masih belum sepenuhnya menggenggam kepercayaan dari masyarakat luas. Tidak salah, jika sampai saat ini masih banyak orang-orang kaya yang kemudian membagi-bagikan zakat sendiri (tanpa melalui lembaga zakat). Padahal, dengan membagikan zakat secara pribadi itu selain zakat tidak membangun ekonomi kerakyatan, tidak sedikit juga yang telah meninggalkan kisah "sedih dan pilu". Sebab, tidak sedikit kaum fakir miskin yang berdesak-desakan yang kemudian pingsan dan bahkan yang lebih tragis lagi ada yang meninggal dunia hanya lantaran saling berebut demi mendapatkan zakat.

Tak pelak, jika zakat itu harus dialokasilan secara profesional dengan melihat daya manfaat yang lebih panjang bagi mustahik. Dengan cara itu, dana zakat akan bisa memberikan dampak yang signifikan sebagai upaya dalam kerangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Sebab, dengan menjunjung misi dan visi zakat sebagai upaya membangun ekonomi kerakyatan, akan membangun umat memiliki jiwa kemandirian. Itulah bentuk nyata alokasi zakat sebagai bentuk kasih sayang Tuhan kepada umat.

*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: