Rabu, 09 Januari 2008

meraih haji mabrur tanpa ke tanah suci

(Opini ini dimuat di HU. SUARA KARYA, Jum`at 21 Desember 2007)

Alkisah, ada sepasang suami-istri yang tak cukup kaya ingin pergi ke tanah suci. Karena itu, keduanya kemudian bersusah payah mengumpulkan uang dan bekal agar bisa pergi melihat Ka`bah. Setelah bekerja membanting tulang akhirnya terkumpul uang untuk pergi haji. Saat musim haji tiba, keduanya pun berangkat.


Tetapi sebelum kedua orang itu sampai di tanah suci, di perjalanan menjumpai daerah yang berpenduduk miskin dan anak-anak diserang busung lapar. Suami istri itu merasa iba, bahkan memutuskan tak melanjutkan perjalanan ke tanah suci, melainkan memilih memberikan semua bekal yang dibawa kepada penduduk tersebut.

Pilihan sepasang suami istri memberikan bekal dan tidak pergi haji itu, karena ingat akan sebuah hadits nabi, “Tidaklah beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan”. Sepasang suami istri juga paham, bahwa ibadah haji adalah perintah Allah yang wajib ditunaikan tetapi manfaatnya hanya bagi mereka berdua. Karena itu, keduanya tak keberatan untuk memberikan bekal yang dibawa dan kemudian pulang ke kampung halaman.

Anehnya, saat suami istri itu tiba di rumah, ada orang asing tidak dikenal yang menunggu di rumah.

Setelah memberi salam, orang itu mengucapkan, “Selamat datang dari haji mabrur”. Suami istri itu pun terperangah, karena keduanya tidak merasa pergi haji dan kemudian menceritakan peristiwa yang dialami di tengah perjalanan.Setelah mendengar cerita sepasang suami istri itu, orang tersebut pun menjawab enteng, ”Itulah haji mabrur!”

Dalam tradisi sufi, kisah di atas memang cukup popular. Kendati kisah semacam ini bisa didramatisasi dan tidak sepenuhnya benar, tetapi pesan kisah di atas tentu bisa menjadi bahan renungan, ketika musim haji tiba dan orang berduyun-duyun pergi ke tanah suci dengan setumpuk ironi.

Setiap jama’ah haji, tak bisa dimungkri pasti berobsesi ingin meraih haji mabrur. Karena haji mabrur --sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim-- tidak ada balasan lain untuknya, kecuali surga. Tetapi, tak semua orang yang pergi haji ternyata bisa meraih predikat haji mabrur sepulang dari tanah suci. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar bin Khaththab “Orang-orang yang rekreasi (turis) itu banyak, tetapi jama’ah haji (sejati) sedikit”.

Sedikitnya orang yang meraih “haji mabrur”, lantaran jamaah yang menunaikan ibadah haji lebih mempersiapkan bekal materi. Padahal, dalam menunaikan ibadah haji, (selain bekal materi), harus ditunjang dengan bekal spiritual, sebagaimana dalam firman Allah, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. Dengan takwa itu, orang pergi berhaji semata-mata karena Allah dan bukan untuk membanggakan diri supaya nanti dipanggil dengan “predikat haji” di depan namanya. Itulah esensi takwa yang merupakan sebaik-baik bekal bagi jama’ah haji.

Di sisi lain, kisah di atas tentunya bisa menjadi cermin bagi jamaah haji sepulang dari tanah suci agar predikat haji mabrur yang menjadi tujuan tak tercerabut dari aspek sosial (habl min al-nas), karena tidak jarang jamaah haji hanya lebih menekankan aspek vertikal (habl min Allah) dan melupakan aspeks sosial. Karena iming-iming surga itu, tak jarang orang egois dan berkali-kali pergi ke Makkah, tetangga di sekitar banyak yang menderita dan hidup dalam kelaparan.


Tercerahkan
Haji mabrur adalah “ritual” yang menjadikan pelakunya lebih baik atau dalam bahasa Ali Syari'ati menjadi manusia tercerahkan. Adapun manusia yang tercerahkan, menurutnya adalah yang bisa menyinergikan nilai keimanan pada Tuhan dengan tidak melupakan perhatian kemanusian. Tetapi jamaah kerapkali lupa aspeks kemanusiaan, sehingga tidak sedikit yang melakukan ibadah haji tanpa merasa berdosa, padahal di sekitar masih banyak orang butuh bantuan. Lebih ironis, bahkan ada yang melakukan haji berkali-kali dengan uang hasil korupsi.

Tak disangkal, semua jenis ibadah (mahdah), termasuk ibadah haji, titik tekannya adalah aspek vertikal (habl min Allah), tapi bukan berarti lepas dari aspeks kemanusiaan (habl min al-nas). Karena, tanpa dibarengi aspek terakhir tersebut tentunya ibadah haji yang ditunaikan dengan susah payah bisa saja tidak diterima oleh Allah.

Dalam sebuah hadits, Nabi menjelaskan indikaai haji mabrur; yakni thibul kalam (baik perkataannya), ith'amu al-tha'am (memberi makan) dan yang terakhir adalah ifsyau al-salam (menyebarkan kedamaian). Jadi, haji mabrur terkait akhlak (budi pekerti luhur) dan amal shaleh secara sosial. Karena menjaga hubungan baik dengan sesama manusia --dalam ajaran Islam-- sama pentingnya menjaga hubungan baik dengan Tuhan. Setiap muslim harus seimbang menjaga keduanya tetap terpelihara. Al-Quran mengancam kaum muslim dengan siksa api neraka yang sangat pedih bila hanya menjaga hubungan baik dengan Tuhan, sedang hubungan baik dengan sesama manusia terlupakan (QS Al-Ma'un [107]:4-5).

Bisa dipahami, jika setiap perintah ibadah seperti shalat diikuti dengan perintah zakat dan puasa diikuti dengan zakat fitrah yang merepresentasikan aspek sosial. Dari aspeks itu, maka Nabi bersabda, bahwa di antara ciri-ciri orang yang mendapat “haji mabrur” adalah ketaatan ibadahnya bertambah, tidak keluar dari mulutnya ungkapan tak baik dan empati sosial pada sesama semakin baik, termasuk dalam hal menyantuni anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu. Jika seseorang melaksanakan hal itu, berarti sudah mendapatkan haji mabrur.

Dengan demikian, orang bisa saja meraih haji mabrur tanpa ke tanah suci. Tapi, makna haji mabrur di sini tentu “haji mabrur secara spiritual” --seperti kisah sepasang suami-istri yang dikisahkan di awal tulisan ini padahal keduanya tidak sampai ke tanah suci-- tetapi sudah mendapatkan predikat sebagai haji mabrur.*)

n. mursidi, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta dan alumnus pesantren An-Nur, Lasem Rembang Jateng

Tidak ada komentar: