Senin, 10 Desember 2007

Epik Ramayana dalam Berbagai Narasi

(esai ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 28 Mei 2005/ilustrasi dari situs wikipedia)

SUDAH 24 abad yang lalu (tepatnya sekitar abad ke 4 SM) kisah Ramayana ditulis Walmiki. Tetapi epik klasik itu, seperti tak ditikam waktu. Cerita the path of Rama itu, selain terus hidup sepanjang zaman, juga menjadi dongeng yang tak mengenal basi. Tak berlebihan kalau hampir semua orang mengenal kisah Ramayana dan mengagumi tokoh utamanya --Rama dan Sita.


Tetapi, entah karena "kesalahan sejarah" atau kreatitivas para pujangga yang kemudian menjadikan kisah Ramayana bisa tak bersifat tunggal. Tapi yang jelas, setelah Walmiki tiada, kisah Ramayana lalu menjelma menjadi ilham bagi para pujangga untuk menyalin serta menyardur dalam cerita yang terus memikat sepanjang zaman. Dalam kepustakaan zaman Sansekerta, misalnya, ada buah karya Raghuvamsha (Kalisada), Setubanda (Pravasasena), Janakiharana (Kumarasada), Uttaramacarita (Bhavabuti), Prasannaraghava (Joyadeva), serta Anargharaghava (Nurari).

Malah, saat bahasa India mengalami perkembangan, kisah Ramayana pun kian masyhur dengan buah karya semisal Kumban Ramayana (dalam bahasa Tamil), Ranganata Ramayana (bahasa Telegu), Krittivasa (bahasa Bengali), Balaramdasa Ramayana (bahasa Oriya), Ramacaritamanasa (bahasa Hindi), Adhyatma Ramayana (bahasa Malayalam), Tovare Ramayana (bahasa Kanari) dan Bhavaratha Ramayana (bahasa Marathi).

Karena lahir dua puluh empat abad lalu serta ditulis dalam berbagai bahasa dan menyebar ke penjuru dunia, tak pelak Ramayana kemudian ditemukan dalam berbagai versi. Selain itu, epik Ramayana yang semula berbentuk sajak juga mengalami perkembangan dalam "lintas genre", semisal, ditulis dalam bentuk kakawin, naskah drama, naskah film dan bahkan novel.

Novel Karya Narayan
Salah satu sastrawan India, Narayan dapatlah disebut sebagai novelis yang "menghidupkan kembali" Ramayana dalam bentuk novel. Dengan mendasarkan pada versi karya Kamban --pujangga besar Tamil abad 11-- Narayan mencurahkan talenta yang dimilikinya untuk menyuguhkan kembali cerita Ramayana. Pilihan dengan merujuk karya Kamban berbahasa Tamil, karena menurut Narayan, bahasa Tamil merupakan bahasa suku Dravida yang purba, selain memiliki nilai sastra dan budaya sendiri, juga dipeluk lebih empat puluh juta penduduk India.

Selain itu, Narayan juga tidak meragukan reputasi Kamban, mengingat Kamban oleh banyak kalangan dikenal sebagai pujangga besar (India) setelah Walmiki. Apalagi, Kamban (secara analitis) dibantu para ilmuwan mempelajari karya Walmiki di setiap malam dan kemudian menulisnya dalam bentuk puisi di siang hari. Tak pelak, jika kisah Ramayana versi Kamban dan Narayan tak jauh menyimpang dari apa yang ditulis Walmiki.

Dalam Ramayana karya Narayan (New York: Penguin Books, 1972), konon diceritakan jika di negeri Ayodya, ada raja yang adil, bernama Dasarata. Ia memiliki tiga istri dan dari tiga istri itu lahir empat putra, antara lain; Rama, Barata, Laksmana dan Strugna. Rama merupakan putra mahkota yang selain dikenal sakti, juga berbudi luhur. Kesaktian Rama terbukti, tatkala diajak begawan Wismamitra ke hutan ia berhasil membasmi kejahatan dan dalam sebuah sayembara, Rama bisa mengangat gandewa dan mematahkan sehingga Rama mendapat hadiah menikahi Sita.

Rama lalu pulang ke Ayodya. Sebab raja sudah udzur, maka Rama hendak dinobatkan jadi raja. Tetapi, mendengar berita itu, Kekayi --istri termuda-- menggugat dengan menuntut Barata (putra kandungnya) untuk dijadikan raja dan meminta Rama dibuang ke hutan selama 14 tahun. Raja tak bisa berkutik karena pernah menjanjikan pada Kekayi dua janji. Dengan ditemani Sita dan Laksmana, Rama akhirnya hidup di hutan. Berbagai cobaan dilalui dan Sita malah diculik Rahwana --hendak dijadikan permaisuri.

Tapi Sita bersikeras menolak. Rama akhirnya tiba ke Alengka dan bisa mengalahkan Rahwana. Meski Sita sempat diuji dengan dibakar, Sita toh tetap tak apa-apa karena ia memang masih suci. Akhirnya ia dibawa pulang ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja setelah menunggu 14 tahun. Setelah itu Rama dan Sita hidup bahagia.


Versi dalam Uttarakanda
Sampai di situ, sebenarnya tamat sudah kisah Ramayana. Tetapi, dalam Uttarakanda didapati kelanjutan cerita yang sangat mengharukan (sad ending).

Dalam Uttarakanda dikisahkan, bahwa sepulang ke Ayodya, rakyat masih meragukan kesucian Sita. Tak mau ambil pusing, Rama lalu mengusir Sita dari istana --masuk ke hutan. Untung, Sita akhirnya dibawa istri para pertapa ke pondokan Walmiki dan ia dianggap sebagai anak.

Tak lama kemudian Sita melahirkan 2 anak kembar Kusa dan Lawa. Kedua anak itu, selain diajar dan dididik Walmiki tentang kesaktian juga diajarkan kidung Ramayana. Suatu ketika, dua anak itu bertikai dalam sebuah peperangan (akibat upacara Asmaweda) melawan Bharata, Laksmana dan Strugna. Juga dengan Rama. Tapi semua bisa dikalahkan sehingga Kusa dan Lawa dipanggil ke istana dan setelah menyanyikan kidung Ramayana, Rama lalu tahu Kusa dan Lawa adalah anaknya. Sita lalu dipanggil ke istana. Namun setelah Sita datang masih juga dituntut untuk membuktikan kesucian. Tak mau menderita untuk kedua kalinya, ia lalu memilih masuk ke bumi. Rama akhirnya sadar dan ditikam sedih, lalu memilih menceburkan diri ke sungai Serayu.

Tetapi, cerita versi Uttarakanda ini tidak populer dan tak dianggap autentik. Cerita ini adalah cerita yang ditambahkan di kemudian hari kepada versi Walmiki.

Dekonstruksi Epik Ramayana
Harus diakui bahwa Ramayana tak sekedar jadi cerita yang terbatas di dalam negeri tanah lahirnya, tetapi tersebar ke penjuru dunia --termasuk ke negeri kita. Datangnya ke negeri kita mula-mula berbentuk kakawin abad ke-10 lalu berkembang dalam bentuk cerita biasa abad ke-15. Setelah itu, tersebar di seluruh tanah air hingga sekarang sebagai epik klasik yang bisa dinikmati dalam berbagai versi. Dalam bentuk serat, Jasodipuro menulis Serta Ramayana (Jakarta: Balai Pustaka, 1925) serta dalam bahasa Indonesia, Usman Effendi telah menulis Ramayana (Jakarta: J.B. Woltera, 1954).

Berbeda dengan Josodipuro dan Usman Effendi, Seno Gumira Adjidarma bisa dikategorikan menulis cerita Ramayana dengan "versi lain". Dalam Kitab Omong Kosong (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2004), Seno tak saja membongkar alur cerita Ramayana dan coba menjadikan kisah Ramayana sebagai entry point, untuk merangkai peristiwa demi peristiwa tapi juga memberikan sisipan cerita dengan menambahkan dua tokoh sentral, Maniken dan Satya.

Bertutur tentang malapetaka serbuan balatentara Sri Rama dalam aksi Persembahan Kuda untuk menaklukkan dunia yang telah memporak-porandakan anak benua, Maniken dan Satya adalah dua orang rakyat jelata yang jadi korbannya. Maniken yang dikenal sebagai pelacur, terpaksa melayani lelaki seluruh kota setelah kuda persembahan melompat dari jendela dan menempel di punggungnya.

Tak mau mati, akibat melayani banyak lelaki, ia lalu melarikan diri. Namun, usaha itu tetap saja tak membebaskan dirinya dari maut. Sebab Maniken selalu dihadang marabahaya. Untung, ia diselamatkan Satya setelah ia sendiri mengalami nasib pahit akibat serbuan tentara Rama yang telah mengobrak-abrik kampungnya. Lalu keduanya berniat mencari Walmiki (ke arah senja), untuk menanyakan "takdir/jalan cerita" yang ditulisnya.

Tapi belum sempat ketemu Walmiki, keduanya malah menemukan peta yang memberi petunjuk di mana Kitab Omong Kosong (ditulis Hanoman) bisa digunakan untuk membangun kembali peradaban dunia yang hancur akibat Persembahan Kuda. Dengan peta itu, keduanya mengembara ke selatan --tak jadi mencari Walmiki. Namun pada akhirnya, kedua orang itu menemukan Walmiki dan bisa bebas dari pena nasib yang ditulis Walmiki. Selain itu keduanya juga berhasil menemukan Kitab Omong Kosong dan setelah mempelajarinya, jadilah orang berpengetahuan yang tak lagi bisa ditindas dan disewenang-wenangi.

Hikmah dari Ramayana
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kisah Ramayana, mengingat epik itu ditulis dua puluh empat abad yang lalu dan kini terdapat banyak versi?

Setidaknya, meski terdapat perbedaan jalan cerita, antara satu versi dengan versi yang lain, tetap saja inti dari kisah Ramayana (karya Walmiki) tak terkurangi. Pesan dan nilai pelajaran itu, setidaknya bentuk keteladanan tokoh utama yang bisa dijadikan cermin dalam menjalani hidup ini. Sebab, di tengah "krisis" keteladanan sekarang ini, figur Rama, Sita (juga Maniken dan Satya) telah memberikan gambaran akan sifat-sifat seorang kesatria, raja dan istri yang baik. Apalagi, "gelembung kejahatan" Rahwana --miminjam istilah Seno-- sampai kapan pun membumbung terus sebelum bumi ini kiamat, dan tugas kesatria adalah menumpas kejahatan, berlaku adil dan bijak.****)

*) nur mursidi, cerpenis dan esais, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: