Minggu, 10 Juli 2011

Rekonsiliasi Konflik lewat Sastra

Esai ini dimuat di Lampung Post, Minggu 10 Juli 2011

PASCAPECAH konflik Sambas 1999, berbagai upaya membangun konstelasi rekonsiliasi bisa dikatakan belum berjalan baik. Hubungan sosial kelompok antaretnis yang pernah bersitegang (Madura-Melayu) masih meninggalkan segregasi kuat untuk saling curiga, khawatir, bahkan diliputi kebencian. Warga Madura hingga kini masih tidak bisa kembali ke Bumi Sambas. Rekonsiliasi seperti berhadapan dengan jurang kebekuan. Dengan kondisi memprihatinkan itu, berbagai program digagas dan dicanangkan untuk membuka ruang pertikaian itu mencair kembali.

Namun, dari berbagai program kegiatan yang coba ditawarkan itu, belum pernah melibatkan media sastra untuk dijadikan alternatif atau terobosan. Padahal, sastra tidak bisa disangkal memiliki peranan dalam setiap perubahan sosial pada masyarakat.

Sastra berperan tak hanya sebagai refleksi, tapi sekaligus refraksi atas totalitas peristiwa sejarah dari perjalanan suatu bangsa. Dengan peran sastra sebagai ruang refleksi itu, sastra bisa memberi sumbangan pada proses transformasi: menanamkan kesadaran yang ujungnya berpotensi menjadi amunisi untuk jembaran rekonsiliasi.

Sastra dan Misi Perdamaian
Misi yang diemban pengarang melalui sastra itulah yang mendorong Sashi Tharoor—sastrawan India yang mengemban misi perdamaian PBB—tak ragu merangkul atau melibatkan sastra dibanding dengan melibatkan peran agama dan sains ilmiah demi menciptakan perdamaian dunia.

Karena—di mata Sashi Tharoor—sastra mampu melengkapi apa yang "hilang atau sengaja dihilangkan" dari agama dan sains. Itu tidak lain karena agama pada satu sisi justru bisa memunculkan konflik, sementara sains—tidak jarang—membuka ruang kosong yang mengurung manusia dalam ruang kehampaan jiwa dan spiritualitas.

Tak salah, kalau tak sedikit pengarang melahirkan karya sastra untuk mengetuk nurani dan kesadaran umat manusia demi menciptakan perdamaian. Dr. Ang Swee Chai, seorang dokter yang pernah terlibat dalam kamp pengungsian Palestina, melalui buku From Beirut to Jerussalem mengungkapkan kesaksian terhadap pembantaian warga Palestina.

Padahal, ia berdarah Yahudi dan beragama Kristen. Namun, kesaksian yang diberikan mampu mengetuk hati nurani dunia internasional.

Karya sastra lain yang mengembuskan semangat misi perdamaian dan mengutuk pertikaian itu juga didengungkan Tolstoy melalui novel War and Peace. Dengan karya itu, Tolstoy yang ikut terlibat perang dan menjadi saksi sejarah tak saja mengutuk perang, tetapi juga mengharapkan pintu perdamaian.

Misi Tolstoy itu juga diemban Mary Shelley, Wordsworth. Konon, karya-karya sastra itu mampu memberi suntikan dan semangat hidup bagi korban perang untuk bisa menatap kembali masa depan.

Dalam deretan sastrawan dalam negeri, dapat disebutkan nama seperti W.S. Rendra, Seno Gumira Adjidarma, Pramoedya Ananta Toer, dan beberapa sastrawan lain lagi. W.S. Rendra lewat puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang (1960), menggambarkan duka lara akibat perang. Seno, lewat buku kumpulan cerpen Saksi Mata, merekam kejahatan-kejahatan yang dilakukan TNI terhadap masyarakat Timur Leste pada masa transisi Timor Timur menjadi Timur Leste.

Bahkan, dengan tegas, Seno—lewat kumpulan esai—mengatakan "Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara". Adapun Pramoedya mengisahkan banyak cerita tentang perang dan penjajahan. Dengan tema itu, ia ingin mengusung pesan perdamaian lewat karya yang ia tulis.

Pijar Kedalaman Empati
Karya sastra yang mengisahkan tema perang dan kejahatan—konflik dan tragedi pembantaian— haruslah diakui bukan hasil liputan di permukaan belaka atas peristiwa perang atau segala bentuk kejahatan.

Sastra yang mengibarkan bendera perdamaian dari cerita perang adalah pijar kedalaman empati tentang kehancuran tubuh, ceceran darah, rasa empati demi orang-orang yang kehilangan anggota keluarga (seperti anak, istri, orang tua), bahkan pantulan dari renik psikologis manusia dalam situasi konflik yang dapat menumbuhkan makna baru: memperkaya pemahaman atas kenyataan, berdasarkan sudut pandang, visi, perspektif, dan kesadaran baru.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya menjadikan terobosan terkait dengan apa yang dikatakan Friedrich Schiller (1993). Schiller berpendapat sastra itu memiliki peran dan fungsi yang sungguh menakjubkan. Sastra bisa tampil sebagai permainan penyeimbang bagi tatanan mental manusia terkait dengan adanya energi yang butuh diekspresikan. Energi itulah kemudian mendorong manusia untuk kreatif, mermiliki kepekaan dan human of interest terhadap sesama.

Meskipun harus diakui bahwa tidak semua karya sastra mengembuskan pesan dan misi perdamaian, karya-karya sastra yang digali dan terinspirasi dari kedalaman sukma untuk kemudian merefleksikan konflik, perang, dan penjajahan dapat menjadi "warta perdamaian dan kebenaran". Ia mengusung pesan agung mengutuk perang, dan mengharapkan tatanan baru yang harmonis antarkehidupan umat manusia, di mana pun bahkan sampai kapan pun.

Dengan penjelasan di atas, tak ada salahnya jika progam kegiatan rekonsiliasi untuk perdamaian Sambas pascakonflik 1999 dicanangkan atau digagas dengan melibatkan media sastra sebagai sebuah terobosan—atau alternatif. Upaya itu tentu tidak saja demi mengenang atau sekadar ajang romantisme konflik pada masa lalu, tetapi lebih menekankan pada setiap pihak atau kelompok antaretnis untuk melakukan refleksi sekaligus refraksi atas peristiwa berdarah tersebut. Dengan demikian, akan bisa muncul kesadaran baru demi mencapai rekonsiliasi pascakonflik yang sampai sekarang mengalami kebekuan hingga akhirnya lahir perdamaian bersama.

N. Mursidi, aktivis Yayasan Anak Layang-Layang, Kini sedang melakukan riset perdamaian pascakonflik Sambas 1999 untuk novel "Anak 7 Pulau"

Tidak ada komentar: