Senin, 12 November 2007

buku dan dunia sepak bola

DARI event pertandingan sepak bola, terutama "Piala Dunia" (World Cup) di Jerman 2006 ini, dunia seolah-olah disimpulkan dalam sepetak lapangan. Olah raga paling pupuler sejagat itu nyaris menyedot perhatian manusia di seluruh dunia dan lapangan seakan cermin kehidupan. Ia tidak sekadar permainan, melainkan suatu tontonan "hasrat purba" manusia; adu kekuatan yang saling bermain untuk mempertontonkan skill, kerjasama dan inisiatif dalam mencetak gol dan berlomba untuk menang. Mirip seperti kehidupan di atas bumi ini!



Seiring perjalanan sejarah, sepak bola juga tak lagi sekadar gerak tubuh untuk kebugaran fisik tapi telah melampaui dinding stadion. Karena itu, sepak bola sudah menjadi sebuah ritual (Claude Levi Strauss) dan bahkan "religion global" (Tom Hundley). Tak diragukan lagi, di balik pertandingan sepak bola --kerap-- muncul agregasi etnis, nasionalisme dan agama yang sudah berabad-abad. Bahkan belakangan ini, sepak bola sudah menjadi 'bisnis global'. Ada muatan kental politik, sosiologi, budaya, ekonomi serta filsafat yang cukup berperan dari pertarungan dua team yang berjumlah sebelas orang dalam waktu 90 menit itu.

Dari konteks sepak bola yang tak lagi sekadar permainan itulah, ia sudah menjadi semacam subyek dan variabel yang kemudian jadi bahan kajian dari berbagai sudut pandang; kajian psikologi, budaya, sejarah, antropologi, agama dan bahkan politik. Dalam buku "Politik dan Sepak Bola" (2004), dengan tegas Srie Agustina Palupi berpendapat bahwa kelahiran sepak bola Indonesia, lebih sebagai sarana menumbuhkan nasionalisme (politik) daripada keinginan orang untuk menjadi bugar.

Muatan politik juga disinggung oleh Paul Theroux dalam buku The Old Patagonian Express (1989), yang sekilas menyinggung soal kerusuhan yang berkaitan dengan sepak bola di San Salvador, dan Ryszard Kapuscinski dalam buku The Soccer War (1992) yang berkisah seputar eksplorasi perang El-Savador dan Honduras akibat sepak bola. Buku yang lebih luas menyoroti sepak bola bisa ditengok dalam How Soccer Explains the World: An Un Likely Theory of Globalization (2004), karya Franklin Poer. Meski berpijak dari pengalaman "tour" Poer di sejumlah negara, buku itu menjelentrehkan sepak bola yang mencerminkan kekuatan global, politik dan juga budaya. Dalam buku ini, Poer berkisah pula soal menteri dalam negeri pemerintah Slobodan Milosevic duduk di dewan tim sepak bola dan bahkan merekrut kaum nasionalis penggemar Red Star untuk suatu operasi militer.

Tidak dapat diingkari kalau sepak bola adalah satu olah raga yang cukup populis di belahan bumi mana pun. Tetapi anehnya, di negara Amerika Serikat justru olah raga itu kalah populer dengan bisbol, basket dan hoki. Dilihat dari sisi budaya, buku Offside: Soccer and American Exceptionalisme (2001) karya dari Andrei S. Markovits dan Steven L. Hellerman menjelaskan bahwa pada saat budaya olah raga berkembang --di Amerika Serikat-- pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, justru nativisme dan nasionalisme mulai membentuk citra diri Amerika yang khas bentrok dengan olah raga yang bukan brasal dari Amerika. Akibatnya, sepak bola kalah dengan bisbool, basket dan hoki. Ia terabaikan.

Padahal dunia sepak bola memiliki ranah unik yang mirip panggung hiburan. Tak berlebihan, kalau dari lapangan hijau itu lahir "pahlawan-pahlawan besar" yang dapat melambungkan negara sang pemain, bahkan ia bisa menjadi bintang dan selebritis yang lebih terkenal daripada seorang presiden. Sebut misalnya, David Bekcham. Dari popularitas di lapangan hijau, membuat suami Victoria Adam itu, dikenal luas yang menghantarkan ia menulis buku My Side (2003). Buku obiografi "bintang lapangan" bola lain, adalah Bigrafi Zidane (2006), karya Imam "Gem" Sufaat, biografi Jaap (bek yang dijuluki si buas Stam) dalam Head to Head (2002) yang ditulis oleh Jaap Stam dan Jeremy Butler, dan buku yang lengkap lagi memuat biografi Pele, Maradona dan bintang-bintang top lain bernomor punggung 10 adalah The Prefect 10 karya Richards Williams.

Walaupun pada ujungnya permainan sepak bola itu soal kalah dan menang, ia tetap sebuah fenomena yang kompleks. Mungkin benar, dunia tidak akan seru jika tak ada sepak bola dan ia telah menjadi ilham. Dari konteks itulah, sepak bola pun bisa menjadi inspirasi akan lahirnya sebuah novel. Umut Ozturk adalah satu dari sekian penulis yang mengisahkan tentang sepak bola --lebih jelasnya tim Inggris-- dengan mengangkat tokoh Josh Roark (kiper) yang cukup "heroik" mampu membawa Inggris bisa menjuarai Piala Dunia 2006. Novel lain yang bersettingkan sepak bola bisa disebutkan; The Wild Soccer Kids (Joachim Masonnek) serta Boy Over Board (Morris Gleiitzman).

Tentu, masih banyak lagi buku yang mengupas, mengulas dan berbicara tentang sepak bola. Tapi satu hal yang tak bisa ditepis, sepak bola di zaman sekarang ini sudah bukan sekadar permainan. Karena itulah, ada dua hal yang perlu digarisbawahi di sini terkait dengan keberadaan sepak bola dan buku.

Pertama, sepak bola bukan lagi sekadar sebuah permainan. Ia juga bukan lagi sekadar olah fisik demi kebugaran tubuh, melainkan telah menjadi sebuah dunia unik yang memiliki sejarah, hukum, aturan dan budaya. Karena itu, ia sudah menjadi subyek kajian yang bisa disentuh dari sudut pandang disiplin ilmu, sehingga lahir sejumlah buku yang berusaha mendokumentasikan dunia kecil sepak bola.

Kedua, meski tak sepenuhnya mewakili kehidupan nyata, tetapi dunia secara sederhana bisa disimpulkan serupa lapangan bola. Tak salah lagi, buku How Soccer Explains the World: An Un Likely Theory of Globalization (2004), karya Franklin Poer dalam edisi bahasa Indonesia (diterbitkan oleh penerbit Marjin Kiri) diberi judul (titel); Memahami Dunia Lewat Sepak Bola, seakan-akan, "dunia" ini memang mirip dengan lapangan sepak bola. Di tengah lapangan, siapa yang tidak mematuhi hukum serta aturan, pastilah akan dikenai "sanksi". Ada nilai, moral dan hukum yang mengikat untuk dipatuhi setiap pemain, pelatih, penggemar dan negara peserta.

Adanya sekeping moralitas di lapangan hijau itu yang membuat Albert Camus berujar, "Jika berbicara moral dan tanggung jawab, aku sungguh berhutang pada sepak bola." Dan buku, tidak dapat dimungkiri jadi jendela mengenal dunia dan tentunya juga sepak bola --sebuah cermin dari kehidupan di dunia ini yang disimpulkan dalam sepetak lapangan.***

*) Nur Mursidi, cerpenis asal lasem, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar: