opini ini dimuat di Harian Pelita Selasa 22 Mei 2012
PERPOLITIKAN di negeri ini bisa dikatakan sedang gaduh. Padahal, pemilihan presiden masih kurang dua tahun lagi. Tetapi, bursa calon presiden dan calon wakil presiden -melalui lembaga survei- sudah mulai bermunculan. Eskalasi politik itu semakin memanas ketika Partai Demokrat dibelit prahara yang kemudian ramai jadi berita di media massa. Apalagi sejak Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara PD ditangkap kemudian dalam persidangan bernyanyi lantang menyebutkan sejumlah nama, seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, bahkan Andi Mallarangeng.
Praktis, hampir setengah tahun ini PD disandera belitan kasus wisma atlet. Berita itu, seakan melengkapi kemuakan sebagian besar orang ketika melihat kasus korupsi diumbar kasat mata, mulai dari suap travel cheque dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, rekening gendut PNS, rekening gendut perwira polisi, hingga kasus korupsi di lembaga kementerian agama. Lalu, apa yang bersih dari negeri ini?
DPR yang seharusnya menjadi pengawas jalannya pemerintahan ternyata ditimpa setumpuk prahara yang tak kalah runyam. Dari tahun 2011, nyaris tidak terdengar cerita manis dari gedung DPR --kecuali pansus Bank Century. Selebihnya, DPR dililit kasus tidak sedap, seperti hedonis, calo anggaran APBN, suka studi banding, hingga pembangunan fasilitas yang bombastis (mulai dari renovasi parkir, ruang banggar, hingga rencana renovasi toilet).
Pemberitaan di media massa --entah di televisi, atau koran-- terkait kegaduhan politik itu pun terasa "hambar". Maklum, pemberitaan itu diumbar kasat mata, tapi hanya menyentuh "level permukaan", tidak sampai pada substansi masalah. Anggota DPR saling tuding, lempar tanggung jawab bahkan terkesan membela diri. Pada aras lain, sebagian elit partai yang bernaung di bawah partai tertentu saling membela mati-matian partai yang dinaungi. Ujungnya, "pemberitaan" di media pun saling tumpang tindih dan tidak berujung.
Politik Twitter
Di tengah kegaduhan itu, orang seperti disuguhi berita yang tak sampai menyibak masalah. Berita yang dimuat masih terselubung kabut. Padahal kehausan sebagian orang untuk "merengguk" berita politik masih tinggi. Akhirnya, ketika media tidak lagi menawarkan "substansi" terkait berita di balik berita, sebagian orang kemudian beralih mencari berita di ranah lain --salah satunya twitter. Belakangan ini, twitter menawarkan air segar informasi bahkan berita di balik berita yang tak diberitakan dalam media mainstream.
Twitter yang sejatinya merupakan jejaring sosial baru ternyata tampil dengan ikon baru dalam ranah pemberitaan politik. Semula, twitter yang dirancang sebagai ajang unjuk gigi atau berkicau kegalauan dengan ruang yang simple, sebab memberi ruang 140 karakter, tidak sekadar hadir mengabarkan peristiwa pribadi, informasi seminar atau hal remeh temeh lain. Twitter ternyata jadi ruang pertarungan politik.
Meski twitter mensyaratkan kecerdasan berkomunikasi di era digital, yang melahirkan public figur bisa memberikan kuliah -kulwit- tetapi pada perkembangnnya hadir "peluang" untuk menjadikan twitter sebagai lapangan bagi pertarungan politik. Bukan sesuatu yang asing jika di twitter bermunculan akun anonim atau tak menggunakan identitas asli --yang sebenarnya lebih pas disebut akun pseudo.
Kemunculan akun pseudo itu, ironisnya, bisa disebut tak semua kemudian melakukan cacian dan menebar fitnah. Tak sedikit public figur yang dibuat gerah akibat dari twit yang disebarkan oleh para akun pseudo di jejaring twitter. Terlepas informasi yang diumbar itu benar atau fitnah, keberadaan akun pseudo itu sempat membuat gerah Kemenkominfo Tifatul Sembiring. Hingga kemudian ada maklumat bahwa akun twitter pseudo akan diawasi atau dimonitor. Itu tidak lain, karena akun tanpa identitas asli itu membuat heboh. Bahkan informasi yang diumbar para akun-akun pseudo kadang mengalahkan kehebohan dibandingkan dengan media massa arus utama.
Tidak sedikit menteri, anggota DPR, politisi hingga public figur yang dibuat gerah. Pasalnya, beberapa akun pseudo itu merilis berita yang tidak ada di media mainstream dan pada aras yang subtil mengusik atau lebih tepatnya menelanjangi orang per orang; public figur. Di dunia twitter, kebusukan public figur bisa dikuak. Karena yang menguak itu akun tidak memiliki identitas asli, maka pemilik akun itu dengan bebas "mengumbar" dan menelanjangi; mulai kasus korupsi, perselingkuhan, hingga kebusukan lain.
Dalam konteks itu, menjadi penting untuk dicatat, politik twitter meruntuhkan tirani monopoli berita yang selama ini dijunjung media mainstream. Era digital melalui twitter telah menampakkan wajah baru bahwa sumber informasi --terlebih berita politik-- tidak lagi seragam, tetapi homogen. Ironisnya, informasi yang disuguhkan oleh akun pseudo itu fitnah atau bukan, bisa mentah-mentah ditelan sehingga dianggap kebenaran atau fakta yang sebenarnya.
Kalau dunia twitter sudah dianggap tak beda dengan dunia nyata, maka realitas seperti sudah tenggelang dalam kegaduhan politik. Hal ini bisa digambarkan sebagaimana yang dialami Neo dalam The Matrix. Ia merasa bahwa hidup yang dijalani itu nyata, padahal dunia yang dijalani itu bukan nyata. Dalam hal ini, apa yang disarankan Descartes agar orang meragukan berita yang berkelit kelindan di twitter, patut dipegang erat-erat.
Simulacra Twitter
Tetapi jika setiap informasi di twitter itu ditelan mentah, dianggap kebenaran, maka antara dunia nyata dan tidak nyata jadi kabur. Dalam hal ini, teori simulasi teknologi (technologies of simulacra) yang diungkapkan Jean Baudrillard tepat untuk dijadikan teropong. Ia mengatakan saat budaya kontemporer semakin berkembang pesat, maka itu merupakan hasil "simulasi teknologi". Teknologi mampu "memoles" bahkan "mengemas" sebuah realitas (fakta) jauh dari realitas yang sebenarnya (hyper reality).
Baudrillard yang memodifikasi teori McLuhan, dengan tanpa segan-segan menyebutkan “medium is the message” telah berubah menjadi “medium is the model”. Dalam hal ini, Baudrillard seakan ingin menegaskan bahwa media (baca: jejaring sosial termasuk twitter) merupakan model dari perilaku, persepsi, dan pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan sekitar. Dan realitas (prahara) politik yang berkembang dan sedang ramai dibicarakan itu kemudian diangkat lewat jejaring sosial twitter, tapi realitas itu disuguhkan secara berlebihan berdasarkan kepentingan tertentu, bisa jadi akun twitter pseudo itu menambahi data, membiaskan fakta, tetapi dibaca orang lain sebagai fakta atau kebenaran.
Memang, informasi yang disuguhkan para pemilik akun pseudo itu yang penting. Apalagi jika fakta yang diungkap itu disertai data yang kuat. Tak penting lagi, siapa pemilik akun pseudo itu. Sebab, ia memberi informasi tentang kebenaran. Tetapi, jika informasi atau berita yang di-twit itu dibiaskan, dilumuri kepentingan politik tertentu, maka menjadi sesuatu yang membahayakan. Sebab, tak rahasia lagi, jika ada akun pseudo yang dibayar oleh seseorang demi kepentingan tertentu.
Jika itu yang terjadi maka teknologi twitter yang terkait dengan hingar bingar politik hanya menjadi ranah runyam yang bisa menjadikan negeri ini tidak semakin tenang, melainkan akan menjadi kian gaduh.
Praktis, hampir setengah tahun ini PD disandera belitan kasus wisma atlet. Berita itu, seakan melengkapi kemuakan sebagian besar orang ketika melihat kasus korupsi diumbar kasat mata, mulai dari suap travel cheque dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, rekening gendut PNS, rekening gendut perwira polisi, hingga kasus korupsi di lembaga kementerian agama. Lalu, apa yang bersih dari negeri ini?
DPR yang seharusnya menjadi pengawas jalannya pemerintahan ternyata ditimpa setumpuk prahara yang tak kalah runyam. Dari tahun 2011, nyaris tidak terdengar cerita manis dari gedung DPR --kecuali pansus Bank Century. Selebihnya, DPR dililit kasus tidak sedap, seperti hedonis, calo anggaran APBN, suka studi banding, hingga pembangunan fasilitas yang bombastis (mulai dari renovasi parkir, ruang banggar, hingga rencana renovasi toilet).
Pemberitaan di media massa --entah di televisi, atau koran-- terkait kegaduhan politik itu pun terasa "hambar". Maklum, pemberitaan itu diumbar kasat mata, tapi hanya menyentuh "level permukaan", tidak sampai pada substansi masalah. Anggota DPR saling tuding, lempar tanggung jawab bahkan terkesan membela diri. Pada aras lain, sebagian elit partai yang bernaung di bawah partai tertentu saling membela mati-matian partai yang dinaungi. Ujungnya, "pemberitaan" di media pun saling tumpang tindih dan tidak berujung.
Politik Twitter
Di tengah kegaduhan itu, orang seperti disuguhi berita yang tak sampai menyibak masalah. Berita yang dimuat masih terselubung kabut. Padahal kehausan sebagian orang untuk "merengguk" berita politik masih tinggi. Akhirnya, ketika media tidak lagi menawarkan "substansi" terkait berita di balik berita, sebagian orang kemudian beralih mencari berita di ranah lain --salah satunya twitter. Belakangan ini, twitter menawarkan air segar informasi bahkan berita di balik berita yang tak diberitakan dalam media mainstream.
Twitter yang sejatinya merupakan jejaring sosial baru ternyata tampil dengan ikon baru dalam ranah pemberitaan politik. Semula, twitter yang dirancang sebagai ajang unjuk gigi atau berkicau kegalauan dengan ruang yang simple, sebab memberi ruang 140 karakter, tidak sekadar hadir mengabarkan peristiwa pribadi, informasi seminar atau hal remeh temeh lain. Twitter ternyata jadi ruang pertarungan politik.
Meski twitter mensyaratkan kecerdasan berkomunikasi di era digital, yang melahirkan public figur bisa memberikan kuliah -kulwit- tetapi pada perkembangnnya hadir "peluang" untuk menjadikan twitter sebagai lapangan bagi pertarungan politik. Bukan sesuatu yang asing jika di twitter bermunculan akun anonim atau tak menggunakan identitas asli --yang sebenarnya lebih pas disebut akun pseudo.
Kemunculan akun pseudo itu, ironisnya, bisa disebut tak semua kemudian melakukan cacian dan menebar fitnah. Tak sedikit public figur yang dibuat gerah akibat dari twit yang disebarkan oleh para akun pseudo di jejaring twitter. Terlepas informasi yang diumbar itu benar atau fitnah, keberadaan akun pseudo itu sempat membuat gerah Kemenkominfo Tifatul Sembiring. Hingga kemudian ada maklumat bahwa akun twitter pseudo akan diawasi atau dimonitor. Itu tidak lain, karena akun tanpa identitas asli itu membuat heboh. Bahkan informasi yang diumbar para akun-akun pseudo kadang mengalahkan kehebohan dibandingkan dengan media massa arus utama.
Tidak sedikit menteri, anggota DPR, politisi hingga public figur yang dibuat gerah. Pasalnya, beberapa akun pseudo itu merilis berita yang tidak ada di media mainstream dan pada aras yang subtil mengusik atau lebih tepatnya menelanjangi orang per orang; public figur. Di dunia twitter, kebusukan public figur bisa dikuak. Karena yang menguak itu akun tidak memiliki identitas asli, maka pemilik akun itu dengan bebas "mengumbar" dan menelanjangi; mulai kasus korupsi, perselingkuhan, hingga kebusukan lain.
Dalam konteks itu, menjadi penting untuk dicatat, politik twitter meruntuhkan tirani monopoli berita yang selama ini dijunjung media mainstream. Era digital melalui twitter telah menampakkan wajah baru bahwa sumber informasi --terlebih berita politik-- tidak lagi seragam, tetapi homogen. Ironisnya, informasi yang disuguhkan oleh akun pseudo itu fitnah atau bukan, bisa mentah-mentah ditelan sehingga dianggap kebenaran atau fakta yang sebenarnya.
Kalau dunia twitter sudah dianggap tak beda dengan dunia nyata, maka realitas seperti sudah tenggelang dalam kegaduhan politik. Hal ini bisa digambarkan sebagaimana yang dialami Neo dalam The Matrix. Ia merasa bahwa hidup yang dijalani itu nyata, padahal dunia yang dijalani itu bukan nyata. Dalam hal ini, apa yang disarankan Descartes agar orang meragukan berita yang berkelit kelindan di twitter, patut dipegang erat-erat.
Simulacra Twitter
Tetapi jika setiap informasi di twitter itu ditelan mentah, dianggap kebenaran, maka antara dunia nyata dan tidak nyata jadi kabur. Dalam hal ini, teori simulasi teknologi (technologies of simulacra) yang diungkapkan Jean Baudrillard tepat untuk dijadikan teropong. Ia mengatakan saat budaya kontemporer semakin berkembang pesat, maka itu merupakan hasil "simulasi teknologi". Teknologi mampu "memoles" bahkan "mengemas" sebuah realitas (fakta) jauh dari realitas yang sebenarnya (hyper reality).
Baudrillard yang memodifikasi teori McLuhan, dengan tanpa segan-segan menyebutkan “medium is the message” telah berubah menjadi “medium is the model”. Dalam hal ini, Baudrillard seakan ingin menegaskan bahwa media (baca: jejaring sosial termasuk twitter) merupakan model dari perilaku, persepsi, dan pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan sekitar. Dan realitas (prahara) politik yang berkembang dan sedang ramai dibicarakan itu kemudian diangkat lewat jejaring sosial twitter, tapi realitas itu disuguhkan secara berlebihan berdasarkan kepentingan tertentu, bisa jadi akun twitter pseudo itu menambahi data, membiaskan fakta, tetapi dibaca orang lain sebagai fakta atau kebenaran.
Memang, informasi yang disuguhkan para pemilik akun pseudo itu yang penting. Apalagi jika fakta yang diungkap itu disertai data yang kuat. Tak penting lagi, siapa pemilik akun pseudo itu. Sebab, ia memberi informasi tentang kebenaran. Tetapi, jika informasi atau berita yang di-twit itu dibiaskan, dilumuri kepentingan politik tertentu, maka menjadi sesuatu yang membahayakan. Sebab, tak rahasia lagi, jika ada akun pseudo yang dibayar oleh seseorang demi kepentingan tertentu.
Jika itu yang terjadi maka teknologi twitter yang terkait dengan hingar bingar politik hanya menjadi ranah runyam yang bisa menjadikan negeri ini tidak semakin tenang, melainkan akan menjadi kian gaduh.
*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar