[sumber http://indonesiabuku.com (23 juni 2009)]
Nur Mursidi. Lahir di Rembang, 30 Maret 1975. Kini tinggal di Tangerang. Sarjana Akidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogja ini sudah 11 tahun membaca dan meresensi buku. Pelbagai tema tentu saja dirambahnya. Ia akan berbagi pengalamannya selama satu dasawarsa lebih. Sebaiknya kita tanyakan dulu apa dan bagaimana dunia resensi itu kepada wartawan tetap majalah Hidayah dan kontributor majalah Anggun dan majalah Variasari ini.
Wawancara yang dilakukan Muhidin M Dahlan via e-mail ini kita bagi dalam dua sesi. Sesi pertama adalah proses kreatifnya. Sesi kedua adalah bagaimana tips-tips meresensi:
BAGIAN I
Saya denger dari teman, blogmu pernah menjadi juara untuk blog resensi buku di Jakarta Islamic Book Fair. Diceritakan ya….
Blog saya (http://etalasebuku.blogspot) memang pernah meraih juara pertama lomba blog buku yang diadakan Pesta Buku Jakarta 2008. Ceritanya, waktu itu (tahun 2008) Pesta Buku Jakarta 2008 menggelar beberapa lomba di antaranya adalah lomba blog buku. Karena saya kebetulan memiliki blog buku yang semula saya jadikan sebagai “dokumentasi resensi-resensi buku” yang pernah dimuat di media massa, maka saya pun iseng-iseng mengikutkan blog saya dalam lomba tersebut.
Tetapi di luar dugaan, ternyata blog saya itu meraih juara pertama. Padahal, sejak awal saya ikut lomba sudah tidak yakin kalau bisa menjuarai lomba, apalagi persyaratan yang ditentukan panitia nyaris tak bisa saya penuhi. Jika pada akhirnya blog saya bisa meraih juara, saya menyimpulkan bahwa blog saya itu banyak memiliki konteks resensi buku, tulisan dunia seputar buku bahkan juga proses kreatis menulis dan semua tulisan itu sudah saya buat jauh-jauh hari dan saya rajin meng-update. Sementara peserta yang lain; baru membuat blog justru pada saat diadakan lomba blog tersebut.
Sejak awal saya ikut lomba hanya iseng, maka saya pun melupakan lomba blog tersebut. Anehnya, justru saya meraih juara dan saya tahu jika saya meraih juara justru dari seorang teman saya kebetulan pada waktu itu hadir di Pesta Buku Jakarta sewaktu pengumuman pemenang blog diumumkan panitia. Cerita yang lucu…!
Mengapa dirimu mencintai buku sepenuh2nya. Bisa diceritakan latarnya?
Keluarga saya adalah keluarga yang jauh dari buku. Perkenalan saya dengan buku diawali dengan kisah yang unik. Bermula dari cerita menakutkan sejak tinggal di rumah tua yang saya kontrak bersama beberapa teman di Krapyak, Yogyakarta di masa awal kuliah dulu. Tak tahunya, rumah itu angker. Saya yang memiliki jiwa usil, dibuat penasaran; ada apa dengan rumah itu? Tepat hari pertama, saya langsung menelisik rumah itu dan saat saya temukan kamar di belakang rumah, saya ditikam penasaran. Di kamar itu, ternyata tersimpan bertumpuk-tumpuk buku.
Tidak sabar, saya mencongkel kunci kamar tersebut. Setelah berhasil membuka pintu, saya menghampur ke dalam dan langsung meraih sebuah buku yang tergeletak di lantai. Tak pernah kubayangkan jika buku yang saya raih itu adalah novel Bukan Pasar Malam, karya Pramodya Ananta Toer. Pantas, saya yang waktu itu belum pernah baca buku –maksud saya; selain buku pelajaran sekolah– langsung terpana sejak membaca halaman pertama. Jujur, novel itu pula yang membuka mata saya mengenal sastra.
Sejak perjumpan saya dengan novel karya sastrawan kelahiran Blora itu, diam-diam saya sering bersembunyi di kamar belakang itu melahap hampir semua buku yang ada. Setelah buku-buku di kamar itu habis saya baca, saya kehabisan bacaan. Tidak ada lagi buku yang saya baca, menjadikan saya disergap bingung. Wajar, ketika esok harinya saya kuliah, dan tak sengaja bertemu Arief Syarwani –teman sekampus– yang kebetulan menenteng novel Satu Hari di Yogya karya N. Marewo, mata saya seperti berbinar.
Buku itu kemudian saya pinjam. Meski dia sendiri meminjam buku tersebut dari Muhammad Rifa`i, ternyata ia tak keberatan meminjamkan buku itu padaku. Ia bahkan mengajari saya menulis resensi buku untuk buku tersebut. Dua hari, buku itu saya baca lalu saya resensi–untuk saya kirimkan ke Kedaulatan Rakyat. Tidak pernah saya duga, kalau resensi saya itu pada akhirnya dimuat. Rentetan “peristiwa-peristiwa” itulah yang membuat saya mencintai buku sepenuhnya, apalagi setelah saya “menerjunkan diri jadi peresensi buku”. Ada kegilaan untuk membaca, membaca dan membaca.
Untuk apa orang menyuntuki buku. Apa yang bisa dicari di sana. Bagaimana suka dukamu jadi pembaca yang sekaligus penulis resensi buku?
Orang menyukai buku, karena lewat buku orang bisa melihat dunia. Ada banyak hal yang dapat dicari seseorang lewat buku, tetapi bagi saya pribadi, setidaknya saya bisa belajar dari buku tentang banyak hal, ilmu dan pengetahuan yang sebelumnya tidak saya ketahui. Lebih dari itu, lewat buku saya mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan hidup setelah melakukan semacam kontemplasi dan perenungan lebih jauh dan dalam.
Adapun cerita sukanya menjadi pembaca dan sekaligus peresensi buku tidak lain adalah saat mendapatkan kiriman “hadiah buku dan honor” dari menulis resensi. Meski buku dan honor itu bukan segala-galanya, karena membaca dan menulis resensi itu bagi saya adalah satu proses belajar yang menyenangkan sekaligus sebagai media terapi dari keterasingan hidup, tapi kiriman buku gratis dan honor itu tetap menjadi motivasi yang tak bisa dinafikan.
Sementara untuk cerita duka menjadi pembaca sekaligus peresensi buku adalah saat kita salah melakukan penafsiran atas sebuah buku. Karena pada dasarnya membaca dan menulis resensi itu adalah proses menafsrikan dan menilai sebuah buku. Tentu, ada kritik yang kadang dikemukakan oleh orang (pembaca) lain yang kemudian menanggapi hasil pembacaan kita, jika kita memang salah menimbang sebuah buku.
Sudah berapa buku di rak? Dari mana saja (sebagian besar) asalnya kalau boleh tahu? Gratis dari penerbit atau beli sendiri???
Saya mungkin termasuk penulis yang tidak setia memelihara dan merawat buku. Karena itu, saya tidak tahu berapa jumlah buku yang saya miliki. Tak sedikit buku-buku saya yang dipinjam orang lain, ternyata tak kembali ke rak buku saya. Bahkan, sebagian besar buku saya masih saya titipkan seorang teman di Yogyakarta.
Terlepas dari semua itu, buku-buku yang saya miliki sebagian adalah hadiah dari penerbit dan sebagian yang lain saya beli dari uang honor menulis. Apalagi tatkala saya dulu gemar memburu buku-buku bekas dari penampung barang-barang bekas (rongsok) di mana saya banyak membeli buku dengan cara kiloan. Hampir tiap hari saya mendapat buku loak dengan harga murah karena saya membeli kiloan.
Wawancara yang dilakukan Muhidin M Dahlan via e-mail ini kita bagi dalam dua sesi. Sesi pertama adalah proses kreatifnya. Sesi kedua adalah bagaimana tips-tips meresensi:
BAGIAN I
Saya denger dari teman, blogmu pernah menjadi juara untuk blog resensi buku di Jakarta Islamic Book Fair. Diceritakan ya….
Blog saya (http://etalasebuku.blogspot) memang pernah meraih juara pertama lomba blog buku yang diadakan Pesta Buku Jakarta 2008. Ceritanya, waktu itu (tahun 2008) Pesta Buku Jakarta 2008 menggelar beberapa lomba di antaranya adalah lomba blog buku. Karena saya kebetulan memiliki blog buku yang semula saya jadikan sebagai “dokumentasi resensi-resensi buku” yang pernah dimuat di media massa, maka saya pun iseng-iseng mengikutkan blog saya dalam lomba tersebut.
Tetapi di luar dugaan, ternyata blog saya itu meraih juara pertama. Padahal, sejak awal saya ikut lomba sudah tidak yakin kalau bisa menjuarai lomba, apalagi persyaratan yang ditentukan panitia nyaris tak bisa saya penuhi. Jika pada akhirnya blog saya bisa meraih juara, saya menyimpulkan bahwa blog saya itu banyak memiliki konteks resensi buku, tulisan dunia seputar buku bahkan juga proses kreatis menulis dan semua tulisan itu sudah saya buat jauh-jauh hari dan saya rajin meng-update. Sementara peserta yang lain; baru membuat blog justru pada saat diadakan lomba blog tersebut.
Sejak awal saya ikut lomba hanya iseng, maka saya pun melupakan lomba blog tersebut. Anehnya, justru saya meraih juara dan saya tahu jika saya meraih juara justru dari seorang teman saya kebetulan pada waktu itu hadir di Pesta Buku Jakarta sewaktu pengumuman pemenang blog diumumkan panitia. Cerita yang lucu…!
Mengapa dirimu mencintai buku sepenuh2nya. Bisa diceritakan latarnya?
Keluarga saya adalah keluarga yang jauh dari buku. Perkenalan saya dengan buku diawali dengan kisah yang unik. Bermula dari cerita menakutkan sejak tinggal di rumah tua yang saya kontrak bersama beberapa teman di Krapyak, Yogyakarta di masa awal kuliah dulu. Tak tahunya, rumah itu angker. Saya yang memiliki jiwa usil, dibuat penasaran; ada apa dengan rumah itu? Tepat hari pertama, saya langsung menelisik rumah itu dan saat saya temukan kamar di belakang rumah, saya ditikam penasaran. Di kamar itu, ternyata tersimpan bertumpuk-tumpuk buku.
Tidak sabar, saya mencongkel kunci kamar tersebut. Setelah berhasil membuka pintu, saya menghampur ke dalam dan langsung meraih sebuah buku yang tergeletak di lantai. Tak pernah kubayangkan jika buku yang saya raih itu adalah novel Bukan Pasar Malam, karya Pramodya Ananta Toer. Pantas, saya yang waktu itu belum pernah baca buku –maksud saya; selain buku pelajaran sekolah– langsung terpana sejak membaca halaman pertama. Jujur, novel itu pula yang membuka mata saya mengenal sastra.
Sejak perjumpan saya dengan novel karya sastrawan kelahiran Blora itu, diam-diam saya sering bersembunyi di kamar belakang itu melahap hampir semua buku yang ada. Setelah buku-buku di kamar itu habis saya baca, saya kehabisan bacaan. Tidak ada lagi buku yang saya baca, menjadikan saya disergap bingung. Wajar, ketika esok harinya saya kuliah, dan tak sengaja bertemu Arief Syarwani –teman sekampus– yang kebetulan menenteng novel Satu Hari di Yogya karya N. Marewo, mata saya seperti berbinar.
Buku itu kemudian saya pinjam. Meski dia sendiri meminjam buku tersebut dari Muhammad Rifa`i, ternyata ia tak keberatan meminjamkan buku itu padaku. Ia bahkan mengajari saya menulis resensi buku untuk buku tersebut. Dua hari, buku itu saya baca lalu saya resensi–untuk saya kirimkan ke Kedaulatan Rakyat. Tidak pernah saya duga, kalau resensi saya itu pada akhirnya dimuat. Rentetan “peristiwa-peristiwa” itulah yang membuat saya mencintai buku sepenuhnya, apalagi setelah saya “menerjunkan diri jadi peresensi buku”. Ada kegilaan untuk membaca, membaca dan membaca.
Untuk apa orang menyuntuki buku. Apa yang bisa dicari di sana. Bagaimana suka dukamu jadi pembaca yang sekaligus penulis resensi buku?
Orang menyukai buku, karena lewat buku orang bisa melihat dunia. Ada banyak hal yang dapat dicari seseorang lewat buku, tetapi bagi saya pribadi, setidaknya saya bisa belajar dari buku tentang banyak hal, ilmu dan pengetahuan yang sebelumnya tidak saya ketahui. Lebih dari itu, lewat buku saya mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan hidup setelah melakukan semacam kontemplasi dan perenungan lebih jauh dan dalam.
Adapun cerita sukanya menjadi pembaca dan sekaligus peresensi buku tidak lain adalah saat mendapatkan kiriman “hadiah buku dan honor” dari menulis resensi. Meski buku dan honor itu bukan segala-galanya, karena membaca dan menulis resensi itu bagi saya adalah satu proses belajar yang menyenangkan sekaligus sebagai media terapi dari keterasingan hidup, tapi kiriman buku gratis dan honor itu tetap menjadi motivasi yang tak bisa dinafikan.
Sementara untuk cerita duka menjadi pembaca sekaligus peresensi buku adalah saat kita salah melakukan penafsiran atas sebuah buku. Karena pada dasarnya membaca dan menulis resensi itu adalah proses menafsrikan dan menilai sebuah buku. Tentu, ada kritik yang kadang dikemukakan oleh orang (pembaca) lain yang kemudian menanggapi hasil pembacaan kita, jika kita memang salah menimbang sebuah buku.
Sudah berapa buku di rak? Dari mana saja (sebagian besar) asalnya kalau boleh tahu? Gratis dari penerbit atau beli sendiri???
Saya mungkin termasuk penulis yang tidak setia memelihara dan merawat buku. Karena itu, saya tidak tahu berapa jumlah buku yang saya miliki. Tak sedikit buku-buku saya yang dipinjam orang lain, ternyata tak kembali ke rak buku saya. Bahkan, sebagian besar buku saya masih saya titipkan seorang teman di Yogyakarta.
Terlepas dari semua itu, buku-buku yang saya miliki sebagian adalah hadiah dari penerbit dan sebagian yang lain saya beli dari uang honor menulis. Apalagi tatkala saya dulu gemar memburu buku-buku bekas dari penampung barang-barang bekas (rongsok) di mana saya banyak membeli buku dengan cara kiloan. Hampir tiap hari saya mendapat buku loak dengan harga murah karena saya membeli kiloan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar