Opini ini dimuat di Harian Pelita, Selasa 17 April 2012
"Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak dituainya, dan meminum anggur yang tidak diperasnya" (Kahlil Gibran)
BANGSA Indonesia yang dulu dikenal sebagai negeri agraris kini rupanya telah memudar. Dari tahun ke tahun, predikat itu kian tampak dengan gamblang. Sepanjang tahun 2011, semisal, produksi sejumlah komoditas pertanian dan perkebunan --seperti padi, jagung, kedelai dan gula-- mengalami penurunan dibanding tahun 2010. Produksi padi tahun 2011 tercatat 65,39 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka itu menunjukkan penururunan 1,63 persen -dibandingkan produksi padi tahun 2010. Sementara itu, produksi jagung mencapai 17,2 juta ton pipilan kering (turun 5,99 persen) dan kedelai 870.000 ton biji kering (turun 4,08 persen). Produksi gula tahun 2011 hanya mencapai 2,23 juta ton atau 82,59 persen dari target dengan luas area tanam tebu 447,3.000 hektare (ha).
Dengan hasil yang mengenaskan itu, praktis pemerintah tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan. Ujungnya, pemerintah mengambil jalan pintas; impor. Tak salah, jika "pasar pertanian" kini dibanjiri dengan produk impor. Ironisnya, produk impor itu tidak hanya buah dan sayuran tapi juga kedelai, beras bahkan garam. Nasib petani pun pada akhirnya "tersudutkan dan terpinggirkan" lantaran hasil pertanian yang dipanen harus bersaing di pasar dengan produk-produk pertanian impor.
Kondisi petani dan identitas bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa agaris seakan dilucuti dengan kondisi memprihatinkan di atas. Tak pelak, jika bangsa Indonesia bisa dikata nyaris mendekati --meminjam ungkapan yang sastrawan Kahlil Gibran-- "bangsa kasihan". Sebab sang pujangga kelahiran Lebanon itu secara sarkartis menulis "Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak dituainya, dan meminum anggur yang tidak diperasnya".
Bangsa Agratis yang Kasihan
Tak dapat disangkal bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai "negeri agraris". Sebelum Indonesia merdeka, kedatangan penjajah ke tanah Nusantara --yang memiliki tanah subur ini-- tak lain dan tidak bukan karena mengincar lahan pertanian untuk dieksploitasi. Kekayaan sumber daya alam di tanah air itu tampaknya tinggal kenangan. Sebab, pemerintah sekarang ini tidak memiliki strategi pembangunan yang berpihak pada petani. Petani --sebagaimana digambarkan Prof M Maksum Machfoedz dalam buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan Nasional- nyaris tak mendapat tempat di negeri ini untuk jadi pemilik pasar pertanian.
Akibatnya, petani menjadi miskin; kalah karena kebijakan pemerintah tidak memihak pada mereka. Sebab, arah pembangunan pertanian yang dicanangkan pemerintah meminggirkan peran petani individual. Sebaliknya, peran petani individuail itu kemudian digantikan petani korporasi. Alih-alih pemerintah memberi bantuan di tengah kesulitan yang diderita petani agar bisa menaikkan produktivitas hingga kualitas SDM justru petani dibiarkan berjuang sendiri. Akibatnya, nasib petani terpuruk dan hasil pertanian pun mengalami penurunan.
Tapi, keterpurukan petani itu justru dijadikan sebagai pembenaran bahwa petani tidak mampu menjamin penyediaan pangan. Tak pelak, kalau pemerintah sebagai penyelenggara negara merasa berkewajiban untuk memastikan akan ketersediaan pangan, sayangnya tidak dengan jalan memberdayakan dan melahirkan kebijakan pertanian yang memihak pada petani, tapi dengan mengupayakan jalan pintas melalui "impor pangan" dan pengembangan korporatisasi pertanian pangan dalam negeri.
Keadaan ini sungguh ironis, mengingat pada masa lalu, Indonesia pernah mendapatkan pengakuan sebagai "negara swasembada beras". Pada masa Orde Baru, pemerintahan yang dikendalikan Soeharto pernah membalikkan kondisi di bidang pertanian dengan fantastik. Tahun 1984, Indonesia mengecap dan didapuk sebagai negeri swasembada. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969, beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton sehingga memaksa Indonesia harus mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Tapi prestasi yang telah mengantarkan Soeharto bisa berpidato dengan gagah di Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma pada 1985 itu, tampaknya tinggal kenangan usang. Sebab, pada tahun 2011, Indonesia harus impor beras (sepanjang Juli 2011) dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta, dari Thailand sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta dan bahkan impor dari Cina, India, Pakistan dan beberapa negara lain. Apabila Indonesia terus bergantung pada negara lain --mulai dari beras, kedelai, buah-buahan dan syuran hingga garam-- dan tidak mencari cara jitu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan swadaya, maka Indonesia akan benar-benar menjadi bangsa agraris yang kasihan.
Menuju Mandiri
Indonesia pernah menjadi negara "swadaya pangan" --khususnya beras- memang sebuah fakta yang tidak dapat ditepis. Karena itu, kalau pada masa lalu Indonesia bisa, kenapa sekarang tidak bisa? Padahal, Indonesia memiliki sarana dan prasarana lengkap yang dapat diandalkan untuk mendukung semua itu. Jadi, untuk mewujudkan "Indonesia mandiri atau swasembada pangan" bukan "sebuah utopia". Untuk itu, yang dibutuhkan hanyalah miat, tekat, keseriusan pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan di bidang pertanian.
Pemerintah --mau tidak mau- harus tidak lagi menggantungkan pada negera lain dengan cara memperluas lahan sawah, dan membantu kehidupan petani untuk meningkatkan produksi. Apalagi, tanah persawahan di negeri ini terus menyusut secara signifikan --akibat tergusur berbagai kepentingan non-pertanian, termasuk untuk area permukiman dan area industri. Selain itu, pemerintah harus menunjang petani untuk peningkatan produktivitas, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian bahkan memberikan dukungan pembiayaan usaha tani.
Tanpa keseriusan pemerintah, nasib petani (individual) sebagai tulang pungggung eksistensi bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris akan terseok-seok dan terpinggirkan. Tak hanya itu, bangsa Indonesia sebagai negeri agraris akan bener-benar terpuruk jadi bangsa kasihan --karena tidak lagi mampu menopang kebutuhan pangan sendiri. Mungkin akan lain persoalan jika negara ini tidak dikenal sebagai negeri agraris. Jadi akan sangat ironis jika Indonesia dikenal sebagai negara agraris tetapi para petani harus mati (baca miskin) di lumbung padi yang kosong.
Julukan sebagai bangsa kasihan itu jangan sampai tersempat di pundak bangsa ini. Karena itu pemerintah harus segera menerapkan arah kebijakan dan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada swadaya pangan. Di sisi lain, pemerintah harus mengembalikan petani individual -tidak lagi bertumpu pada petani korporasi. Itu tidak bisa ditawar lagi. Jika pemerintah memiliki keseriusan untuk mewujudkan itu, maka Indonesia akan bisa bangkit dari ciri-ciri bangsa kasihan menuju (bangsa) mandiri.
Dengan hasil yang mengenaskan itu, praktis pemerintah tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan. Ujungnya, pemerintah mengambil jalan pintas; impor. Tak salah, jika "pasar pertanian" kini dibanjiri dengan produk impor. Ironisnya, produk impor itu tidak hanya buah dan sayuran tapi juga kedelai, beras bahkan garam. Nasib petani pun pada akhirnya "tersudutkan dan terpinggirkan" lantaran hasil pertanian yang dipanen harus bersaing di pasar dengan produk-produk pertanian impor.
Kondisi petani dan identitas bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa agaris seakan dilucuti dengan kondisi memprihatinkan di atas. Tak pelak, jika bangsa Indonesia bisa dikata nyaris mendekati --meminjam ungkapan yang sastrawan Kahlil Gibran-- "bangsa kasihan". Sebab sang pujangga kelahiran Lebanon itu secara sarkartis menulis "Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak dituainya, dan meminum anggur yang tidak diperasnya".
Bangsa Agratis yang Kasihan
Tak dapat disangkal bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai "negeri agraris". Sebelum Indonesia merdeka, kedatangan penjajah ke tanah Nusantara --yang memiliki tanah subur ini-- tak lain dan tidak bukan karena mengincar lahan pertanian untuk dieksploitasi. Kekayaan sumber daya alam di tanah air itu tampaknya tinggal kenangan. Sebab, pemerintah sekarang ini tidak memiliki strategi pembangunan yang berpihak pada petani. Petani --sebagaimana digambarkan Prof M Maksum Machfoedz dalam buku Rakyat Tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan Nasional- nyaris tak mendapat tempat di negeri ini untuk jadi pemilik pasar pertanian.
Akibatnya, petani menjadi miskin; kalah karena kebijakan pemerintah tidak memihak pada mereka. Sebab, arah pembangunan pertanian yang dicanangkan pemerintah meminggirkan peran petani individual. Sebaliknya, peran petani individuail itu kemudian digantikan petani korporasi. Alih-alih pemerintah memberi bantuan di tengah kesulitan yang diderita petani agar bisa menaikkan produktivitas hingga kualitas SDM justru petani dibiarkan berjuang sendiri. Akibatnya, nasib petani terpuruk dan hasil pertanian pun mengalami penurunan.
Tapi, keterpurukan petani itu justru dijadikan sebagai pembenaran bahwa petani tidak mampu menjamin penyediaan pangan. Tak pelak, kalau pemerintah sebagai penyelenggara negara merasa berkewajiban untuk memastikan akan ketersediaan pangan, sayangnya tidak dengan jalan memberdayakan dan melahirkan kebijakan pertanian yang memihak pada petani, tapi dengan mengupayakan jalan pintas melalui "impor pangan" dan pengembangan korporatisasi pertanian pangan dalam negeri.
Keadaan ini sungguh ironis, mengingat pada masa lalu, Indonesia pernah mendapatkan pengakuan sebagai "negara swasembada beras". Pada masa Orde Baru, pemerintahan yang dikendalikan Soeharto pernah membalikkan kondisi di bidang pertanian dengan fantastik. Tahun 1984, Indonesia mengecap dan didapuk sebagai negeri swasembada. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969, beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton sehingga memaksa Indonesia harus mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Tapi prestasi yang telah mengantarkan Soeharto bisa berpidato dengan gagah di Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma pada 1985 itu, tampaknya tinggal kenangan usang. Sebab, pada tahun 2011, Indonesia harus impor beras (sepanjang Juli 2011) dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta, dari Thailand sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta dan bahkan impor dari Cina, India, Pakistan dan beberapa negara lain. Apabila Indonesia terus bergantung pada negara lain --mulai dari beras, kedelai, buah-buahan dan syuran hingga garam-- dan tidak mencari cara jitu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan swadaya, maka Indonesia akan benar-benar menjadi bangsa agraris yang kasihan.
Menuju Mandiri
Indonesia pernah menjadi negara "swadaya pangan" --khususnya beras- memang sebuah fakta yang tidak dapat ditepis. Karena itu, kalau pada masa lalu Indonesia bisa, kenapa sekarang tidak bisa? Padahal, Indonesia memiliki sarana dan prasarana lengkap yang dapat diandalkan untuk mendukung semua itu. Jadi, untuk mewujudkan "Indonesia mandiri atau swasembada pangan" bukan "sebuah utopia". Untuk itu, yang dibutuhkan hanyalah miat, tekat, keseriusan pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan di bidang pertanian.
Pemerintah --mau tidak mau- harus tidak lagi menggantungkan pada negera lain dengan cara memperluas lahan sawah, dan membantu kehidupan petani untuk meningkatkan produksi. Apalagi, tanah persawahan di negeri ini terus menyusut secara signifikan --akibat tergusur berbagai kepentingan non-pertanian, termasuk untuk area permukiman dan area industri. Selain itu, pemerintah harus menunjang petani untuk peningkatan produktivitas, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian bahkan memberikan dukungan pembiayaan usaha tani.
Tanpa keseriusan pemerintah, nasib petani (individual) sebagai tulang pungggung eksistensi bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris akan terseok-seok dan terpinggirkan. Tak hanya itu, bangsa Indonesia sebagai negeri agraris akan bener-benar terpuruk jadi bangsa kasihan --karena tidak lagi mampu menopang kebutuhan pangan sendiri. Mungkin akan lain persoalan jika negara ini tidak dikenal sebagai negeri agraris. Jadi akan sangat ironis jika Indonesia dikenal sebagai negara agraris tetapi para petani harus mati (baca miskin) di lumbung padi yang kosong.
Julukan sebagai bangsa kasihan itu jangan sampai tersempat di pundak bangsa ini. Karena itu pemerintah harus segera menerapkan arah kebijakan dan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada swadaya pangan. Di sisi lain, pemerintah harus mengembalikan petani individual -tidak lagi bertumpu pada petani korporasi. Itu tidak bisa ditawar lagi. Jika pemerintah memiliki keseriusan untuk mewujudkan itu, maka Indonesia akan bisa bangkit dari ciri-ciri bangsa kasihan menuju (bangsa) mandiri.
*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar