cerpen ini dimuat di koran SEPUTAR INDONESIA, Minggu 28 Feb 2010
/1/
SORE hampir gelap. Aku membuka pintu pagar rumah, seraya bernapas lega.
Selalu. Setibaku di depan rumah, sepulang dari bekerja, rasa letih seketika hilang saat aku berdiri di depan pintu pagar. Sejenak, aku biasanya melihat sekeliling sebelum bergegas menutup pintu pagar lalu memasuki rumahku dengan beringas. Sebuah rumah yang baru kutempati sebulan yang lalu setelah aku cicil dari sepertiga gajiku itu, ternyata selalu menantiku dengan setia.
Tapi petang ini aku merasakan beda. Jalanan lengang. Angin serasa tak berbisik. Dedaun di taman serasa menggigil dan kaku. Padahal, seharian tadi tidak turun hujan.
Aku menutup pintu pagar seraya mengedarkan mata. Tapi sebelum menghambur ke beranda, tiba-tiba sudut mataku melihat sebuah amplop putih terselip di kotak surat rumahku. Amplop itu nyaris jatuh, sepertiga bagiannya menyergapku segera melangkah dan menggerakan tanganku cepat-cepat memungutnya agar tak jatuh.
Aku menyempatkan waktu sejenak untuk membaca alamat pengirimnya dan aku nyaris pingsan setelah membaca halaman depan dan belakang surat itu. Tak ada alamat pengirim, hanya ada sepenggal namaku yang tertera di halaman depan surat, perangko kusam di ujung kiri atas amplop, dan juga stempel pos. Aku tidak ragu, surat itu dikirim seseorang yang sudah aku kenal dari kota kelahiranku, tapi sudah tak lagi aku lihat tiga tahun ini.
Jantungku serasa berhenti berdegup, bahkan hampir rontok. Sepucuk surat itu membuatku seketika tersekap dalam ruang rumpil, terlipat dalam lorong waktu sampai-sampai aku lupa untuk segera membuka pintu dan bergegas memasuki rumahku. Aku termangu, disergap bingung. Bagaimana mungkin orang yang meninggal tiga tahun lalu bisa menulis sepucuk surat buat anaknya?
Aku masih mengenali tulisan tangan ayahku, meski aku ragu jika surat itu ditulis oleh ayah dari surga. Aku tidak lupa, ayah sudah meninggal tiga tahun lalu. Aku memang tak sempat berbicara dengan ayah sebelum sakratul maut menjemput, meski aku masih menjumpai ayah terbaring kaku, tak sadarkan diri di rumah sakit sebelum maut datang menjemput. Lalu kabar apa yang akan beliau ceritakan kepadaku sampai harus menulis sepucuk surat?
Jemariku seperti berlipatan, dan basah oleh keringat. Aku menelan ludah yang hampir kering dan masam. Selama beberapa saat sekujur tubuhku bergidik. Aku dilanda takut tetapi tetap aku putuskan untuk membukanya. Dan aku tak dapat membayangkan, berita apa yang ditulis ayah kepadaku. Bayanganku tentang sosok ayah yang terbaring lemas sebelum ajal itu menjemput justru membuatku lunglai. Aku hanya bisa menerka-nerka; apa salahku sampai-sampai beliau perlu menulis sepucuk surat?
Aku masih ingat saat ibu menelpon dan bercerita bahwa ayah terkena stroke dan terbaring di rumah sakit. Hari itu, aku langsung minta izin cuti dari kantor, buru-buru mengepak barang-barang dan bergegas ke terminal untuk pulang ke kampung. Tapi, aku benar-benar diburu waktu. Aku langsung ke rumah sakit kabupaten, dan tak langsung ke rumah.
Sesampaiku di rumah sakit, aku menjumpai ayah terbaring kaku. Aku sudah tak sempat mendengar pesan terakhir dari beliau. Ayah koma, tak bisa buka mulut, matanya terpejam dan empat hari kemudian maut memisahkan kami. Aku duduk lemas, merasa berdosa. Aku dicekam rasa bersalah, karena tidak mampu memindahkan ayah ke rumah sakit propinsi ketika dokter memvonis ayah tidak bisa ditolong lagi dengan alasan bahwa peralatan medis di rumah sakit kabupaten tidak memadai. Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar vonis dokter itu menelusup ke daun telingaku. Secuil rasa bersalah itulah yang sampai sekarang ini masih kupikul, membuat dadaku serasa sesak jika aku mengingat kematian ayah tiga tahun lalu.
Apa ayah masih belum bisa memaafkan kesalahanku?
Jantungku berdegup kencang. Dadaku kembali serasa sesak. Aku menarik napas panjang, merobek pinggiran amplop. Surat itu tak panjang, ditulis tangan menggunakan polpoin berwarna biru dengan bahasa yang cukup sederhana. Sebuah surat yang ditulis tanpa tanggal, mungkin ayah menulisnya dengan tangan gemetar di atas secarik kertas yang disobek dengan buru-buru dari buku tulis anak sekolah dasar, yang kuyakini buku tulis milikku dulu yang sempat disimpan ayah dengan baik sewaktu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Salam,
Ayah tidak ragu, kamu besok akan meraih gelar sarjana dan bisa mendapatkan pekerjaan layak seperti yang kauimpikan. Ayah tak ragu itu! Sejak kau pergi dari rumah melanjutkan kuliah, ayah selalu membayangkan malam-malam yang menggelisahkan, saat kamu mengerjakan pekerjaan rumah dengan teliti, tidak pernah mau menyerah. Itu yang membuat ayah yakin. Tetapi, ayah cuma tidak yakin satu hal; apakah kamu besok akan ingat rumah dan mau pulang setelah jadi orang?
Wassalam,
Ayahmu
Apa benar surat itu dikirim ayah dari surga?
Secarik kertas dalam surat itu tiba-tiba terhempas dari tanganku. Aku yakin, itu tulisan tangan ayah. Aku tak ragu. Keringat dingin seperti membasahi telapak tanganku, mengalirkan hawa dingin yang membuatku bergidik takut.
/2/
MEMANG, tak sekali ini aku menerima surat dari ayah. Dulu, sewaktu aku masih kuliah, ayah pun sering berkirim surat. Apalagi sejak ayah jatuh sakit, tatkala sudah tak kuat lagi membanting tulang untuk kerja mencari uang untuk mengirimiku uang kuliah. Aku pikir karena deraan rasa bersalah setelah tak mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi orang, ayah lantas menulis surat buat anaknya, termasuk buatku yang waktu itu baru memasuki tahun pertama kuliah.
Aku tidak menyangka ayah akan ambruk diserang stroke justru ketika aku belum lulus kuliah, dan masih membutuhkan banyak biaya. Aku masih ingat surat yang ditulis ayah di secarik kertas bekas obat nyamuk bakar yang kusam dan berdebu. Sepucuk surat yang dititipkan ayah melalui teman kuliahku itu justru membuatku hampir limbung dan nyaris putus asa. Bagaimana aku tak limbung jika di awal bulan biasanya ayah mengirim surat disertai uang, justru di surat ayah itu, aku hanya menjumpai secarik kertas belaka?
Salam,
Anakku, bagaimana kabarmu? Semoga dalam keadaan sehat.
Ayah minta maaf, bulan ini tak bisa mengirimi uang. Ayah hanya minta, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Ayah sudah tua, juga diserang sakit. Ayah yakin, kau pasti bisa! Ayah mengenalmu, kau anak yang tak mudah menyerah. Ayah hanya tak ingin kau lupa mengerjakan shalat. Itu saja!
Selanjutnya, ayah hanya berharap. Usai shalat, kamu mau berdoa agar kesehatan ayah segera pulih!
Wassalam
Ayahmu
Surat yang ditulis oleh ayah di atas secarik kertas obat nyamuk bakar kusam itu langsung membuatku menitikkan air mata. Tak pernah aku menangis untuk ayah, tetapi kali ini, air mataku seperti menjebol tanggul kelopak mataku. Aku bahkan tidak mampu membendung. Air mataku bercucuran.
Sejak aku jauh dari rumah, surat itu adalah surat pertama yang ditulis oleh ayah buatku. Aku kira di bulan berikutnya ayah sudah pulih, dan sembuh dari sakit sehingga bisa mengirimiku uang kembali sebagaimana biasa.
Tetapi harapanku itu tak pernah terjadi! Sejak surat pertama yang menyedihkan itu, bulan-bulan berikutnya aku menerima surat ayah dengan tulisan yang susah kubaca dan lebih tragis lagi: tak disertai kiriman uang. Sepucuk surat yang selalu kuterima pada awal bulan dengan sedih, bukan karena aku tidak bisa mencari uang, tapi semata-mata karena aku tidak tega mendengar kabar ayah semakin tidak berdaya diserang sakit.
Untung, sejak ayah sakit, aku mampu mencari uang sendiri. Bisa jadi, itu berkat do`a ayah yang membuatku tak kesulitan mendapatkan pekerjaan paruh waktu sebagai desainer grafis.
/3/
TAK ingin lama berdiri di pintu pagar disergap rasa takut, aku segera memungut surat ayah yang terjatuh dari tanganku, kemudian aku bergegas memasuki rumah.
Hari hampir gelap. Aku segera menyalakan lampu setelah memasuki rumah. Lalu aku cari-cari album keluargaku. Masih kuingat, di album itulah dulu aku menyimpan surat terakhir yang ditulis ayah buatku.
Tapi, setelah almari kamar, laci, rak buku dan seluruh ruangan, aku obrak-abrik, ternyata tidak aku temukan album yang menyimpan foto ayah dan surat terakhir beliau. Aku disergap gugup, juga bergidik. Siapakah yang telah mencuri surat terakhir ayah dari rumahku?
Aku mondar-mandir, mengelilingi setiap ruangan. Bingung. Bimbang. Ragu juga dilanda takut...
/4/
AKU menerima surat terakhir dari ayahku yang dikirim buatku pada hari yang cukup menentramkan saat aku diwisuda. Di hari wisudaku itu, sebenarnya aku berharap ayah akan datang ditemani oleh bunda. Karena waktu itu, ayah tidak lagi sakit, meski masih belum mampu bekerja kembali. Tapi, yang tiba mengiringi wisudaku adalah surat terakhir ayah yang membuatku ditikam sedih!
Salam,
Anakku, ayahmu bangga padamu karena akhirnya kamu bisa lulus, dan diwisuda. Sayang, ayahmu tak kuat untuk datang pada hari yang membahagiakan itu. Ayah hanya berharap, kamu cepat mendapat kerja! Ayah bangga kamu terlahir sebagai anak yang tak mudah menyerah, meski didera nasib getir dan kehidupan yang pahit!
Selamat berjuang,
Ayahmu
Aku sedih, tepat di hari yang cukup membahagiakan itu! Di saat teman-temanku memakai toga dengan sungging senyum dikelilingi segenap keluarga bisa mengabadikan kenangan kelulusan itu melalui sudut kamera. Tetapi, aku hanya berpangku tangan. Tak merasa ada orang dekat yang mendampingiku. Aku tak jadi ikut wisuda, langsung pergi dari aula kampus dan pulang ke kontrakan: mengepak pakaian, lantas pulang ke rumah. Aku ingin menjenguk ayah. Aku ingin mempersembahkan baktiku, gelar sarjanaku yang baru aku raih dengan susah payah itu buat ayahku.
/5/
MESKI seluruh isi rumah sudah berantakan, karena aku obrak-abrik, tetap saja surat terakhir dari ayah itu tidak berhasil aku temukan. Di mana surat itu aku simpan? Padahal, selama ini aku tidak pernah lupa menyimpan surat kenangan yang pernah aku terima bahkan surat terakhir dari ayah itu. Seingatku, surat dari ayah itu kusimpan rapi di almari. Tetapi bagaimana bisa surat terakhir ayah itu, kini tak ada di sana?
Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Semua buku berceceran. Nyaris semua pakaianku tumpah dari almari. Tapi surat itu tak juga aku temukan.
Apa aku lupa kalau surat dari ayah itu sudah kubawa pulang ke kampung?
Kuraih gagang telepon. Sejurus kemudian, kudengar suara ibu di kampung.
"Bunda, ini Wahyu. Gimana kabar bunda?" tanyaku, gugup.
"Eh, kau sudah sampai mana? Berapa jam lagi sampai di rumah?" tanya bunda, membuatku terpana. Aku bingung.
"Bunda... aku masih di Jakarta. Aku menelepon bunda karena ingin menanyakan sesuatu. Apa bunda tahu surat..."
"Lho, kau ini gimana? Seluruh keluarga di rumah sudah menunggumu, tapi kau belum juga tiba di sini?" potong bunda tanpa menungguku selesai bicara soal surat ayah yang membuatku pusing.
Aku terdiam.
"Bukankah seminggu lalu bunda sudah menelponmu? Apa kamu lupa, kalau hari ini seribu hari meninggalnya ayahmu?"
Deg!!! Jantungku berdegup. Gagang telepon yang kupegang nyaris jatuh. Adzan maghrib yang menggema dari masjid komplek perumahan, serasa membuatku bergidik. Jantungku nyaris copot. Mataku berkunang-kunang. Aku termangu, "Apakah surat itu benar-benar dikirim ayah dari surga?"
Kakiku gemetar, dan aku terhuyung jatuh.***
Lasem - Jakarta, Feb 2007 – Feb 2010
/1/
SORE hampir gelap. Aku membuka pintu pagar rumah, seraya bernapas lega.
Selalu. Setibaku di depan rumah, sepulang dari bekerja, rasa letih seketika hilang saat aku berdiri di depan pintu pagar. Sejenak, aku biasanya melihat sekeliling sebelum bergegas menutup pintu pagar lalu memasuki rumahku dengan beringas. Sebuah rumah yang baru kutempati sebulan yang lalu setelah aku cicil dari sepertiga gajiku itu, ternyata selalu menantiku dengan setia.
Tapi petang ini aku merasakan beda. Jalanan lengang. Angin serasa tak berbisik. Dedaun di taman serasa menggigil dan kaku. Padahal, seharian tadi tidak turun hujan.
Aku menutup pintu pagar seraya mengedarkan mata. Tapi sebelum menghambur ke beranda, tiba-tiba sudut mataku melihat sebuah amplop putih terselip di kotak surat rumahku. Amplop itu nyaris jatuh, sepertiga bagiannya menyergapku segera melangkah dan menggerakan tanganku cepat-cepat memungutnya agar tak jatuh.
Aku menyempatkan waktu sejenak untuk membaca alamat pengirimnya dan aku nyaris pingsan setelah membaca halaman depan dan belakang surat itu. Tak ada alamat pengirim, hanya ada sepenggal namaku yang tertera di halaman depan surat, perangko kusam di ujung kiri atas amplop, dan juga stempel pos. Aku tidak ragu, surat itu dikirim seseorang yang sudah aku kenal dari kota kelahiranku, tapi sudah tak lagi aku lihat tiga tahun ini.
Jantungku serasa berhenti berdegup, bahkan hampir rontok. Sepucuk surat itu membuatku seketika tersekap dalam ruang rumpil, terlipat dalam lorong waktu sampai-sampai aku lupa untuk segera membuka pintu dan bergegas memasuki rumahku. Aku termangu, disergap bingung. Bagaimana mungkin orang yang meninggal tiga tahun lalu bisa menulis sepucuk surat buat anaknya?
Aku masih mengenali tulisan tangan ayahku, meski aku ragu jika surat itu ditulis oleh ayah dari surga. Aku tidak lupa, ayah sudah meninggal tiga tahun lalu. Aku memang tak sempat berbicara dengan ayah sebelum sakratul maut menjemput, meski aku masih menjumpai ayah terbaring kaku, tak sadarkan diri di rumah sakit sebelum maut datang menjemput. Lalu kabar apa yang akan beliau ceritakan kepadaku sampai harus menulis sepucuk surat?
Jemariku seperti berlipatan, dan basah oleh keringat. Aku menelan ludah yang hampir kering dan masam. Selama beberapa saat sekujur tubuhku bergidik. Aku dilanda takut tetapi tetap aku putuskan untuk membukanya. Dan aku tak dapat membayangkan, berita apa yang ditulis ayah kepadaku. Bayanganku tentang sosok ayah yang terbaring lemas sebelum ajal itu menjemput justru membuatku lunglai. Aku hanya bisa menerka-nerka; apa salahku sampai-sampai beliau perlu menulis sepucuk surat?
Aku masih ingat saat ibu menelpon dan bercerita bahwa ayah terkena stroke dan terbaring di rumah sakit. Hari itu, aku langsung minta izin cuti dari kantor, buru-buru mengepak barang-barang dan bergegas ke terminal untuk pulang ke kampung. Tapi, aku benar-benar diburu waktu. Aku langsung ke rumah sakit kabupaten, dan tak langsung ke rumah.
Sesampaiku di rumah sakit, aku menjumpai ayah terbaring kaku. Aku sudah tak sempat mendengar pesan terakhir dari beliau. Ayah koma, tak bisa buka mulut, matanya terpejam dan empat hari kemudian maut memisahkan kami. Aku duduk lemas, merasa berdosa. Aku dicekam rasa bersalah, karena tidak mampu memindahkan ayah ke rumah sakit propinsi ketika dokter memvonis ayah tidak bisa ditolong lagi dengan alasan bahwa peralatan medis di rumah sakit kabupaten tidak memadai. Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar vonis dokter itu menelusup ke daun telingaku. Secuil rasa bersalah itulah yang sampai sekarang ini masih kupikul, membuat dadaku serasa sesak jika aku mengingat kematian ayah tiga tahun lalu.
Apa ayah masih belum bisa memaafkan kesalahanku?
Jantungku berdegup kencang. Dadaku kembali serasa sesak. Aku menarik napas panjang, merobek pinggiran amplop. Surat itu tak panjang, ditulis tangan menggunakan polpoin berwarna biru dengan bahasa yang cukup sederhana. Sebuah surat yang ditulis tanpa tanggal, mungkin ayah menulisnya dengan tangan gemetar di atas secarik kertas yang disobek dengan buru-buru dari buku tulis anak sekolah dasar, yang kuyakini buku tulis milikku dulu yang sempat disimpan ayah dengan baik sewaktu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Salam,
Ayah tidak ragu, kamu besok akan meraih gelar sarjana dan bisa mendapatkan pekerjaan layak seperti yang kauimpikan. Ayah tak ragu itu! Sejak kau pergi dari rumah melanjutkan kuliah, ayah selalu membayangkan malam-malam yang menggelisahkan, saat kamu mengerjakan pekerjaan rumah dengan teliti, tidak pernah mau menyerah. Itu yang membuat ayah yakin. Tetapi, ayah cuma tidak yakin satu hal; apakah kamu besok akan ingat rumah dan mau pulang setelah jadi orang?
Wassalam,
Ayahmu
Apa benar surat itu dikirim ayah dari surga?
Secarik kertas dalam surat itu tiba-tiba terhempas dari tanganku. Aku yakin, itu tulisan tangan ayah. Aku tak ragu. Keringat dingin seperti membasahi telapak tanganku, mengalirkan hawa dingin yang membuatku bergidik takut.
/2/
MEMANG, tak sekali ini aku menerima surat dari ayah. Dulu, sewaktu aku masih kuliah, ayah pun sering berkirim surat. Apalagi sejak ayah jatuh sakit, tatkala sudah tak kuat lagi membanting tulang untuk kerja mencari uang untuk mengirimiku uang kuliah. Aku pikir karena deraan rasa bersalah setelah tak mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi orang, ayah lantas menulis surat buat anaknya, termasuk buatku yang waktu itu baru memasuki tahun pertama kuliah.
Aku tidak menyangka ayah akan ambruk diserang stroke justru ketika aku belum lulus kuliah, dan masih membutuhkan banyak biaya. Aku masih ingat surat yang ditulis ayah di secarik kertas bekas obat nyamuk bakar yang kusam dan berdebu. Sepucuk surat yang dititipkan ayah melalui teman kuliahku itu justru membuatku hampir limbung dan nyaris putus asa. Bagaimana aku tak limbung jika di awal bulan biasanya ayah mengirim surat disertai uang, justru di surat ayah itu, aku hanya menjumpai secarik kertas belaka?
Salam,
Anakku, bagaimana kabarmu? Semoga dalam keadaan sehat.
Ayah minta maaf, bulan ini tak bisa mengirimi uang. Ayah hanya minta, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Ayah sudah tua, juga diserang sakit. Ayah yakin, kau pasti bisa! Ayah mengenalmu, kau anak yang tak mudah menyerah. Ayah hanya tak ingin kau lupa mengerjakan shalat. Itu saja!
Selanjutnya, ayah hanya berharap. Usai shalat, kamu mau berdoa agar kesehatan ayah segera pulih!
Wassalam
Ayahmu
Surat yang ditulis oleh ayah di atas secarik kertas obat nyamuk bakar kusam itu langsung membuatku menitikkan air mata. Tak pernah aku menangis untuk ayah, tetapi kali ini, air mataku seperti menjebol tanggul kelopak mataku. Aku bahkan tidak mampu membendung. Air mataku bercucuran.
Sejak aku jauh dari rumah, surat itu adalah surat pertama yang ditulis oleh ayah buatku. Aku kira di bulan berikutnya ayah sudah pulih, dan sembuh dari sakit sehingga bisa mengirimiku uang kembali sebagaimana biasa.
Tetapi harapanku itu tak pernah terjadi! Sejak surat pertama yang menyedihkan itu, bulan-bulan berikutnya aku menerima surat ayah dengan tulisan yang susah kubaca dan lebih tragis lagi: tak disertai kiriman uang. Sepucuk surat yang selalu kuterima pada awal bulan dengan sedih, bukan karena aku tidak bisa mencari uang, tapi semata-mata karena aku tidak tega mendengar kabar ayah semakin tidak berdaya diserang sakit.
Untung, sejak ayah sakit, aku mampu mencari uang sendiri. Bisa jadi, itu berkat do`a ayah yang membuatku tak kesulitan mendapatkan pekerjaan paruh waktu sebagai desainer grafis.
/3/
TAK ingin lama berdiri di pintu pagar disergap rasa takut, aku segera memungut surat ayah yang terjatuh dari tanganku, kemudian aku bergegas memasuki rumah.
Hari hampir gelap. Aku segera menyalakan lampu setelah memasuki rumah. Lalu aku cari-cari album keluargaku. Masih kuingat, di album itulah dulu aku menyimpan surat terakhir yang ditulis ayah buatku.
Tapi, setelah almari kamar, laci, rak buku dan seluruh ruangan, aku obrak-abrik, ternyata tidak aku temukan album yang menyimpan foto ayah dan surat terakhir beliau. Aku disergap gugup, juga bergidik. Siapakah yang telah mencuri surat terakhir ayah dari rumahku?
Aku mondar-mandir, mengelilingi setiap ruangan. Bingung. Bimbang. Ragu juga dilanda takut...
/4/
AKU menerima surat terakhir dari ayahku yang dikirim buatku pada hari yang cukup menentramkan saat aku diwisuda. Di hari wisudaku itu, sebenarnya aku berharap ayah akan datang ditemani oleh bunda. Karena waktu itu, ayah tidak lagi sakit, meski masih belum mampu bekerja kembali. Tapi, yang tiba mengiringi wisudaku adalah surat terakhir ayah yang membuatku ditikam sedih!
Salam,
Anakku, ayahmu bangga padamu karena akhirnya kamu bisa lulus, dan diwisuda. Sayang, ayahmu tak kuat untuk datang pada hari yang membahagiakan itu. Ayah hanya berharap, kamu cepat mendapat kerja! Ayah bangga kamu terlahir sebagai anak yang tak mudah menyerah, meski didera nasib getir dan kehidupan yang pahit!
Selamat berjuang,
Ayahmu
Aku sedih, tepat di hari yang cukup membahagiakan itu! Di saat teman-temanku memakai toga dengan sungging senyum dikelilingi segenap keluarga bisa mengabadikan kenangan kelulusan itu melalui sudut kamera. Tetapi, aku hanya berpangku tangan. Tak merasa ada orang dekat yang mendampingiku. Aku tak jadi ikut wisuda, langsung pergi dari aula kampus dan pulang ke kontrakan: mengepak pakaian, lantas pulang ke rumah. Aku ingin menjenguk ayah. Aku ingin mempersembahkan baktiku, gelar sarjanaku yang baru aku raih dengan susah payah itu buat ayahku.
/5/
MESKI seluruh isi rumah sudah berantakan, karena aku obrak-abrik, tetap saja surat terakhir dari ayah itu tidak berhasil aku temukan. Di mana surat itu aku simpan? Padahal, selama ini aku tidak pernah lupa menyimpan surat kenangan yang pernah aku terima bahkan surat terakhir dari ayah itu. Seingatku, surat dari ayah itu kusimpan rapi di almari. Tetapi bagaimana bisa surat terakhir ayah itu, kini tak ada di sana?
Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Semua buku berceceran. Nyaris semua pakaianku tumpah dari almari. Tapi surat itu tak juga aku temukan.
Apa aku lupa kalau surat dari ayah itu sudah kubawa pulang ke kampung?
Kuraih gagang telepon. Sejurus kemudian, kudengar suara ibu di kampung.
"Bunda, ini Wahyu. Gimana kabar bunda?" tanyaku, gugup.
"Eh, kau sudah sampai mana? Berapa jam lagi sampai di rumah?" tanya bunda, membuatku terpana. Aku bingung.
"Bunda... aku masih di Jakarta. Aku menelepon bunda karena ingin menanyakan sesuatu. Apa bunda tahu surat..."
"Lho, kau ini gimana? Seluruh keluarga di rumah sudah menunggumu, tapi kau belum juga tiba di sini?" potong bunda tanpa menungguku selesai bicara soal surat ayah yang membuatku pusing.
Aku terdiam.
"Bukankah seminggu lalu bunda sudah menelponmu? Apa kamu lupa, kalau hari ini seribu hari meninggalnya ayahmu?"
Deg!!! Jantungku berdegup. Gagang telepon yang kupegang nyaris jatuh. Adzan maghrib yang menggema dari masjid komplek perumahan, serasa membuatku bergidik. Jantungku nyaris copot. Mataku berkunang-kunang. Aku termangu, "Apakah surat itu benar-benar dikirim ayah dari surga?"
Kakiku gemetar, dan aku terhuyung jatuh.***
Lasem - Jakarta, Feb 2007 – Feb 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar