opini ini dimuat di suara karya 24 mar 2008
Pemilu legislatif dan presiden tahun 2009 memang masih satu tahun lagi. Tetapi "aroma" Pemilu 2009 itu rupanya telah menyergap hasrat elite politik, anggota dewan, bakal calon presiden dan wakil presiden untuk ancang-ancang menyambut pesta demokrasi lima tahun sekali itu dengan hiruk-pikuk, dan gegap gempita. Tak salah jika kondisi itu kemudian melahirkan eskalasi politik yang berangsur-angsur mulai panas, dan bahkan melahirkan keadaan politik Indonesia yang kian silang sengkarut.
Fenomena eskalasi politik yang mulai memanas itu, tidak lain akibat hasrat akan sebuah kekuasaan yang bisa direngkuh dari pagelaran pemilu. Tidak salah lagi, kini bermunculan partai-partai anyar yang mendaftarkan diri untuk ikut berlaga dalam Pemilu 2009 mendatang. Pada sisi lain, kader hingga ketua umum partai lama yang ada di pemerintahan, tak kalah sibuk dan terpaksa harus merapatkan barisan. Bahkan, isu bakal calon presiden pun sudah mulai santer diperbincangkan.
Tentu, eskalasi panas itu menimbulkan kondisi politik yang tidak saja kurang sensitif terhadap kepentingan rakyat, melainkan juga tampak memunculkan kondisi politik yang kontra-produktif. Pemerintah yang seharusnya kerja keras mengelola negara, seakan mendapatkan alasan pembenar menjelang pemilu tatkala mengukir prestasi buruk. Akibatnya, rakyat harus menelan pil pahit efek tidak dari turunnya kinerja pemerintah karena rakyat terlantar, dan kurang mendapat perhatian.
Kesengsaraan para korban lumpur Lapindo, yang hingga kini belum jelas soal nasib dan masa depan mereka untuk mendapat kehidupan yang layak, meskipun peristiwa itu sudah hampir 2 tahun berlalu dan masih terkatung-katung, adalah satu bukti nyata kekurangpedulian pemerintah atas kepentingan rakyat. Bahkan, beberapa waktu lalu Dewan Perwakilan Rakyat--lewat Tim Penanggulangan Lumpur Lapindo DPR--lebih cenderung membela Lapindo dan menganggap bencana semburan lumpur itu sebagai "fenomena alam", dan bukan kesalahan manusia. Dengan kata lain, DPR seakan tak mau menuding kecerobohan Lapindo saat pengeboran sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Meski pemerintah sudah menganggarkan bantuan buat para korban Lapindo, tapi bantuan itu masih bersifat parsial. Karena, sekarang luapan lumpur sudah mengalami perluasan, tetapi pemerintah masih "berpegang teguh" pada peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 yang praktis hanya memasukkan kawasan seluas 640 hektare yang terdiri dari desa Kedungdendo, Jatirejo, Siring, dan Renokenongo. Padahal desa Besuki, Kedung Cangkring, Mindi dan Pejarakan yang tak tercantum dalam peta penerima bantuan, tapi rumah mereka terendam lumpur mengalami nasib tidak jelas.
Lebih parah, saat Lapindo menghentikan bantuan pangan untuk pengungsi lumpur Lapindo di jalan Tol Porong, Sidoarjo ternyata pemerintah lepas tangan dan tidak mau peduli. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo (BPLS)] angkat tangan dan mengaku hanya bisa membantu bantuan berupa tenda. Tak pelak, kalau para pengungsi hidup dari uluran tangan para tetangga di sekitar pengungsian. Sungguh ironis!
Selain itu, eskalasi "politik menjelang pemilu" juga menjadikan elite serta-merta berlindung di balik jubah partai dan menjadikan mereka "berpihak" pada kepentingan partai, daripada "memperhatikan" kepentingan rakyat. Hal itu dikarenakan partai menginginkan target perolehan kursi sebanyak-banyak supaya nanti bisa memenangi pemilihan presiden. Akibatnya, kinerja elite politik yang menopang kabinet Indonesia Bersatu kemudian tidak lagi bersatu padu.
Aroma kekuasaan menjelang pemilu 2009 itu kemudian menjadikan koalisi pelangi dalam kabinet Indonesia Bersatu bekerja kurang maksimal. Lagi-lagi, rakyat yang harus menerima getah dan terus menjadi korban. Ironisnya lagi, di tengah kesengsaraan dan kemiskinan rakyat yang semakin hidup terpuruk, selain tak menunjukkan sikap simpati, elite politik semakin mengumbar nafsu serakah, menumpuk kekayaan. Korupsi dana BLBI dan Bank Indonesia yang disinyalir telah melibatkan anggota DPR, seperti petaka yang melengkapi jerit rakyat di tengah ketidak-jelasan korban lumpur Lapindo, dan berita tragis kematian seorang ibu hamil (di Makassar) akibat kelaparan.
Politik negeri ini, memang sering menampilkan warna politik yang jauh dari jangkauan akal sehat. Padahal, kalau elite politik mau berpikir jernih dan bijak tentu eskalasi politik menjelang pemilu 2009 tidak menjauhkan mereka dari rakyat, melainkan justru akan menunjukkan kinerja yang baik demi kepentingan rakyat. Dengan kerja bagus di ujung masa pemerintahan, jelas rakyat nantinya akan mencatat torehan emas dan bukti nyata yang menjadi perekat pemilih untuk menjatuhkan pilihan dalam pemilu 2009 nanti.
Tapi, hiruk pikuk politik di Indonesia hanya menjadikan masa kampanye sebagai ujung tombak. Dengan kata lain, tidak mengenal kinerja yang baik, dan gemilang di akhir masa tugas untuk meraih simpati. Dengan mengobral janji dan slogan, rakyat atau pemilih kemudian ditukar dengan praktek politik uang yang bersifat sesaat. Suara rakyat seakan dapat dibeli setelah itu tak lagi mendapat perhatian dan tak perlu diperjuangkan.
Tak salah, jika rakyat akan selalu telantar dan dibodohi baik sebelum maupun sesudah pemilu. Padahal, pilar demokrasi dibangun dari adagium "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Tetapi, yang terjadi kini adalah "dari rakyat, oleh rakyat dan tidak untuk (kepentingan) rakyat". Kalau kondisi politik menjelang pemilu masih terus seperti ini, maka kondisi Indonesia pasti akan kian terpuruk. Rakyat semakin telantar, apalagi, elite politik di negeri ini hanya menjadikan kekuasaan tak lebih sebagai alat untuk menumpuk kekayaan, bukan demi menyejahterakan rakyat.***
N. Mursidi, adalah alumnus Filsafat UIN Yogyakarta. Kini staf peneliti PPK, Jakarta
Fenomena eskalasi politik yang mulai memanas itu, tidak lain akibat hasrat akan sebuah kekuasaan yang bisa direngkuh dari pagelaran pemilu. Tidak salah lagi, kini bermunculan partai-partai anyar yang mendaftarkan diri untuk ikut berlaga dalam Pemilu 2009 mendatang. Pada sisi lain, kader hingga ketua umum partai lama yang ada di pemerintahan, tak kalah sibuk dan terpaksa harus merapatkan barisan. Bahkan, isu bakal calon presiden pun sudah mulai santer diperbincangkan.
Tentu, eskalasi panas itu menimbulkan kondisi politik yang tidak saja kurang sensitif terhadap kepentingan rakyat, melainkan juga tampak memunculkan kondisi politik yang kontra-produktif. Pemerintah yang seharusnya kerja keras mengelola negara, seakan mendapatkan alasan pembenar menjelang pemilu tatkala mengukir prestasi buruk. Akibatnya, rakyat harus menelan pil pahit efek tidak dari turunnya kinerja pemerintah karena rakyat terlantar, dan kurang mendapat perhatian.
Kesengsaraan para korban lumpur Lapindo, yang hingga kini belum jelas soal nasib dan masa depan mereka untuk mendapat kehidupan yang layak, meskipun peristiwa itu sudah hampir 2 tahun berlalu dan masih terkatung-katung, adalah satu bukti nyata kekurangpedulian pemerintah atas kepentingan rakyat. Bahkan, beberapa waktu lalu Dewan Perwakilan Rakyat--lewat Tim Penanggulangan Lumpur Lapindo DPR--lebih cenderung membela Lapindo dan menganggap bencana semburan lumpur itu sebagai "fenomena alam", dan bukan kesalahan manusia. Dengan kata lain, DPR seakan tak mau menuding kecerobohan Lapindo saat pengeboran sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Meski pemerintah sudah menganggarkan bantuan buat para korban Lapindo, tapi bantuan itu masih bersifat parsial. Karena, sekarang luapan lumpur sudah mengalami perluasan, tetapi pemerintah masih "berpegang teguh" pada peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 yang praktis hanya memasukkan kawasan seluas 640 hektare yang terdiri dari desa Kedungdendo, Jatirejo, Siring, dan Renokenongo. Padahal desa Besuki, Kedung Cangkring, Mindi dan Pejarakan yang tak tercantum dalam peta penerima bantuan, tapi rumah mereka terendam lumpur mengalami nasib tidak jelas.
Lebih parah, saat Lapindo menghentikan bantuan pangan untuk pengungsi lumpur Lapindo di jalan Tol Porong, Sidoarjo ternyata pemerintah lepas tangan dan tidak mau peduli. Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo Sidoarjo (BPLS)] angkat tangan dan mengaku hanya bisa membantu bantuan berupa tenda. Tak pelak, kalau para pengungsi hidup dari uluran tangan para tetangga di sekitar pengungsian. Sungguh ironis!
Selain itu, eskalasi "politik menjelang pemilu" juga menjadikan elite serta-merta berlindung di balik jubah partai dan menjadikan mereka "berpihak" pada kepentingan partai, daripada "memperhatikan" kepentingan rakyat. Hal itu dikarenakan partai menginginkan target perolehan kursi sebanyak-banyak supaya nanti bisa memenangi pemilihan presiden. Akibatnya, kinerja elite politik yang menopang kabinet Indonesia Bersatu kemudian tidak lagi bersatu padu.
Aroma kekuasaan menjelang pemilu 2009 itu kemudian menjadikan koalisi pelangi dalam kabinet Indonesia Bersatu bekerja kurang maksimal. Lagi-lagi, rakyat yang harus menerima getah dan terus menjadi korban. Ironisnya lagi, di tengah kesengsaraan dan kemiskinan rakyat yang semakin hidup terpuruk, selain tak menunjukkan sikap simpati, elite politik semakin mengumbar nafsu serakah, menumpuk kekayaan. Korupsi dana BLBI dan Bank Indonesia yang disinyalir telah melibatkan anggota DPR, seperti petaka yang melengkapi jerit rakyat di tengah ketidak-jelasan korban lumpur Lapindo, dan berita tragis kematian seorang ibu hamil (di Makassar) akibat kelaparan.
Politik negeri ini, memang sering menampilkan warna politik yang jauh dari jangkauan akal sehat. Padahal, kalau elite politik mau berpikir jernih dan bijak tentu eskalasi politik menjelang pemilu 2009 tidak menjauhkan mereka dari rakyat, melainkan justru akan menunjukkan kinerja yang baik demi kepentingan rakyat. Dengan kerja bagus di ujung masa pemerintahan, jelas rakyat nantinya akan mencatat torehan emas dan bukti nyata yang menjadi perekat pemilih untuk menjatuhkan pilihan dalam pemilu 2009 nanti.
Tapi, hiruk pikuk politik di Indonesia hanya menjadikan masa kampanye sebagai ujung tombak. Dengan kata lain, tidak mengenal kinerja yang baik, dan gemilang di akhir masa tugas untuk meraih simpati. Dengan mengobral janji dan slogan, rakyat atau pemilih kemudian ditukar dengan praktek politik uang yang bersifat sesaat. Suara rakyat seakan dapat dibeli setelah itu tak lagi mendapat perhatian dan tak perlu diperjuangkan.
Tak salah, jika rakyat akan selalu telantar dan dibodohi baik sebelum maupun sesudah pemilu. Padahal, pilar demokrasi dibangun dari adagium "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Tetapi, yang terjadi kini adalah "dari rakyat, oleh rakyat dan tidak untuk (kepentingan) rakyat". Kalau kondisi politik menjelang pemilu masih terus seperti ini, maka kondisi Indonesia pasti akan kian terpuruk. Rakyat semakin telantar, apalagi, elite politik di negeri ini hanya menjadikan kekuasaan tak lebih sebagai alat untuk menumpuk kekayaan, bukan demi menyejahterakan rakyat.***
N. Mursidi, adalah alumnus Filsafat UIN Yogyakarta. Kini staf peneliti PPK, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar