(esai ini dimuat di Seputar Indonesia Minggu 30 Mar 08)
KESUKSESAN yang telah diraih sebuah novel best seller, tak jarang mengantar novel itu kemudian diadaptasi ke layar lebar. Tetapi, siapa yang berani menjamin kala novel itu cukup laris di pasaran akan sukses pula ketika diangkat dalam bentuk film?
Tentu, tidak ada jaminan pasti! Karena novel menggambarkan kedetailan karakter dan cecapan makna yang nyaris tak bisa digantikan dengan visualisasi gambar. Sebaliknya, film memiliki logika dan aturan yang konon berbeda dengan novel. Maka tak sedikit novel best seller yang difilmkan, akhirnya tidak bisa mengikuti jejak kesuksesan novel tersebut. Mungkin dapat disebutkan film Lord of the Ring dan The Godfather adalah perkecualian.
Tetapi bagaimana dengan film Ayat-ayat Cinta (AAC) yang diangkat atau diadaptasi dari novel dengan judul yang sama -karya Habiburrahman El-Shirazy? Dalam beberapa hal, saya melihat film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu memiliki beberapa belang. Tapi di sisi lain, tetap menawarkan terobosan.
Jarak Estetis
Satu hal lumrah ketika ada satu film diangkat dari sebuah novel, maka novel itu tidak jarang jadi referensi sebuah penilaian. Tak pelak, jika novel Ayat-ayat Cinta yang dirilis Habiburrahman itu kemudian menjadi rujukan untuk mengkritisi adaptasi film yang bersumber dari cerita novel tersebut.
Memang, dari sudut sastra, jalinan cerita dalam novel Ayat-ayat Cinta besutan Kang Abik -panggilan akrab Habibirrahman El-Shirazy- itu, sebenarnnya tidak cukup istimewa. Jalan cerita yang dibangun biasa. Juga teknik penulisan dan detail karakter tokoh-tokohnya tak cukup kuat. Tak berpilin, bahkan tidak njelimet.
Lantas kenapa novel tersebut bisa menjadi fenomenal? Jawabnya, karena pengarang mampu menggambarkan setting Mesir dengan memikat dan dikemas dengan nilai dan ajaran Islam. Dua hal yang nyaris belum digarap --setidaknya-- oleh pengarang lain di negeri ini.
Tetapi sayangnya, dua kelebihan (setting dan pengarajan ajaran Islam) yang dicapai novel itu, ternyata tak cukup dielaborasi ke bentuk film. Versi film bahkan nyaris "mengedepankan" adegan in door (80 persen) sehingga kurang memadai mengungkap setting keindahan Mesir, kampus Al-Azhar, padang pasir dan sungai Nil. Celakanya, setting Mesir itu dijadikan sekadar "tempelan". Dengan pertimbangan biaya, setting Mesir itu hasil duplikasi semata, karena shotting diambil di India dan di kota Semarang.
Sedang, selipan keluasan agama Islam yang dijejalkan pengarang dalam novel nyaris terbengkalai, tidak mendapatkan porsi yang cukup memadai. Lebih parah, alur cerita novel yang lumayan panjang dipangkas dengan "ritme" cepat, seakan pemahaman penonton ditebas tanpa pertimbangkan yang logis.
Memang tidaklah gampang meringkas sebuah novel ke dalam bingkai layar lebar dengan durasi yang hanya dua jam. Kendati demikian, ruh dan alur cerita tak bisa dipangkas tanpa memadai. Maka, pemangkasan alur dapat menjadi sebuah kecelakaan jika tak teliti. Adegan pemangkasan janggal saat Fahri -diperankan Fedi Nuril- membantu mencari ayah kandung Noura --Zaskia Adya Mecca-- dengan mudah. Tak ada halangan. Tak ada rentang pencarian lama dan rumit.
Di sisi lain, karakter pemain masih centang perentang. Fedi Nuril tak cukup kuat mewakili Fahri yang pandai, kuat bahkan mengundang kharisma justru dalam film ditampilkan lemah. Padahal sebagai tokoh utama, jelas sekali Fahri "harus" cukup menyakinkan. Belum lagi, sosok Zaskia yang tak mewakili (Noura) sebagai gadis Mesir. Juga tokoh-tokoh lain yang "seharusnya" diisi oleh orang Mesir ternyata nyaris didominasi pemain-pemain Indonesia.
Kekurangan itu, tak didukung skenario dialog yang kuat. Meskipun tak bisa dinafikan duo penulis skenario Salman Aristo dan Ginatri S. Noer, tidak cukup mengecewakan tetapi masih kurang puitis. Padahal, kekuatan sebuah film selain ditopang visualisasi gambar dengan menampilkan setting, wardrobe, dan property, tak dinafikan didukung pula dengan kekuatan dialog. Apalagi, dialog bahasa Arab (Mesir) ternyata minim dan sekadar tuntutan latar cerita.
Dengan kebopengan itu, tak salah film yang digarap sutradara kondang Hanung Bramantyo itu dinilai tidak mampu melampuai novel yang mengiris hati, dan bisa membuat pembaca tercerahkan. Meski pun rasa penasaran untuk menonton film itu -sekalipun sudah membaca novel- tetap mengundang daya tarik pemabaca untuk menikmati film dari kisah cinta Fahri yang membuat merana Maria Girgis (Carissa Putri), Nurul (Melanie Putria) dan Noura sebab Fahri memilih menikah dengan Aisha (Rianty Cartwright).
Tetap Tak Celaka
Meski film Ayat-ayat Cinta memiliki sejumlah kekurangan, tetapi film itu "tidak dapat disebut sebuah petaka". Hanung yang konon menghabiskan waktu satu setengah tahun "mempersiapkan serta menggarap" film tersebut masih mampu meneguhkan reputasi sebagai sutradara gemilang.
Hanung mampu menemukan kelemahan novel yang menampilkan Fahri --tokoh utama novel-- nyaris sempurna direduksi menjadi lelaki yang nyaris tidak kuat dan hampir putus asa ketika ia dipenjara. Bukti itu ditunjukkan Hanung dengan sarkartis melalui petuah orang gila satu sel Fahri -yang justru menasehatinya untuk ikhlas dan sabar.
Uniknya, lelaki gila itu justru tak shalat, dan seakan-akan jauh dari agama. Tapi kesombongan Fahri -setidaknya dalam hati Fahri menganggap dirinya lebih pintar dibandingkan teman-temannya, meski dalam keseluruhan cerita film tak dielaborasi dengan jelas-- itulah justru (di mata orang gila itu) sebagai cara Tuhan menasehati Fahri. Sebuah cerita yang tidak dapat ditepis, diilhami dari kehidupan nabi Yusuf.
Selain itu, film ini bisa menutupi lubang atau ketimpangan lain dalam novel tatkala dialihkan dalam bentuk gambar. Maka, ada "tuntutan" kreativitas Hanung dan duo penulis naskah Salman Aristo dan Ginatri S. Noer. Maria --yang dalam novel kurang memerankan kunci lantaran sekadar sebagai saksi yang dapat membebaskan Fahri terpaksa dielaborasi lebih jauh lagi. Juga soal adegan yang mengundang gelak tawa, sehingga mampu menghidupkan film menjadi tontonan yang segar, di samping melankolis karena mengundang derai air mata.
Dengan kelebihan itu tentunya telah mencatat prestasi dan kerja keras Hanung yang tak cukup mengecewakan. Jika hendak dibandingkan dengan film-film Indonesia lain, film produksi MD Pictures itu tetap "menyuguhkan" cerita yang "menyegarkan dan mencerahkan". Lantaran film Ayat-ayat Cinta itu satu-satunya film yang menyodorkan suatu konsep menjalin hubungan lawan jenis dalam Islam, ta`aruf, dan juga poligami yang hingga kini masih dianggap kontroversial. Tak salah, jika film Ayat-ayat Cinta itu bisa menjadi "satu alternatif" di tengah kebangkitan film-film Indonesia yang kerap mengangkat tema-tema horor.***
*) n. mursidi, cerpenis dan penikmat film, tinggal di Ciputat.
KESUKSESAN yang telah diraih sebuah novel best seller, tak jarang mengantar novel itu kemudian diadaptasi ke layar lebar. Tetapi, siapa yang berani menjamin kala novel itu cukup laris di pasaran akan sukses pula ketika diangkat dalam bentuk film?
Tentu, tidak ada jaminan pasti! Karena novel menggambarkan kedetailan karakter dan cecapan makna yang nyaris tak bisa digantikan dengan visualisasi gambar. Sebaliknya, film memiliki logika dan aturan yang konon berbeda dengan novel. Maka tak sedikit novel best seller yang difilmkan, akhirnya tidak bisa mengikuti jejak kesuksesan novel tersebut. Mungkin dapat disebutkan film Lord of the Ring dan The Godfather adalah perkecualian.
Tetapi bagaimana dengan film Ayat-ayat Cinta (AAC) yang diangkat atau diadaptasi dari novel dengan judul yang sama -karya Habiburrahman El-Shirazy? Dalam beberapa hal, saya melihat film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu memiliki beberapa belang. Tapi di sisi lain, tetap menawarkan terobosan.
Jarak Estetis
Satu hal lumrah ketika ada satu film diangkat dari sebuah novel, maka novel itu tidak jarang jadi referensi sebuah penilaian. Tak pelak, jika novel Ayat-ayat Cinta yang dirilis Habiburrahman itu kemudian menjadi rujukan untuk mengkritisi adaptasi film yang bersumber dari cerita novel tersebut.
Memang, dari sudut sastra, jalinan cerita dalam novel Ayat-ayat Cinta besutan Kang Abik -panggilan akrab Habibirrahman El-Shirazy- itu, sebenarnnya tidak cukup istimewa. Jalan cerita yang dibangun biasa. Juga teknik penulisan dan detail karakter tokoh-tokohnya tak cukup kuat. Tak berpilin, bahkan tidak njelimet.
Lantas kenapa novel tersebut bisa menjadi fenomenal? Jawabnya, karena pengarang mampu menggambarkan setting Mesir dengan memikat dan dikemas dengan nilai dan ajaran Islam. Dua hal yang nyaris belum digarap --setidaknya-- oleh pengarang lain di negeri ini.
Tetapi sayangnya, dua kelebihan (setting dan pengarajan ajaran Islam) yang dicapai novel itu, ternyata tak cukup dielaborasi ke bentuk film. Versi film bahkan nyaris "mengedepankan" adegan in door (80 persen) sehingga kurang memadai mengungkap setting keindahan Mesir, kampus Al-Azhar, padang pasir dan sungai Nil. Celakanya, setting Mesir itu dijadikan sekadar "tempelan". Dengan pertimbangan biaya, setting Mesir itu hasil duplikasi semata, karena shotting diambil di India dan di kota Semarang.
Sedang, selipan keluasan agama Islam yang dijejalkan pengarang dalam novel nyaris terbengkalai, tidak mendapatkan porsi yang cukup memadai. Lebih parah, alur cerita novel yang lumayan panjang dipangkas dengan "ritme" cepat, seakan pemahaman penonton ditebas tanpa pertimbangkan yang logis.
Memang tidaklah gampang meringkas sebuah novel ke dalam bingkai layar lebar dengan durasi yang hanya dua jam. Kendati demikian, ruh dan alur cerita tak bisa dipangkas tanpa memadai. Maka, pemangkasan alur dapat menjadi sebuah kecelakaan jika tak teliti. Adegan pemangkasan janggal saat Fahri -diperankan Fedi Nuril- membantu mencari ayah kandung Noura --Zaskia Adya Mecca-- dengan mudah. Tak ada halangan. Tak ada rentang pencarian lama dan rumit.
Di sisi lain, karakter pemain masih centang perentang. Fedi Nuril tak cukup kuat mewakili Fahri yang pandai, kuat bahkan mengundang kharisma justru dalam film ditampilkan lemah. Padahal sebagai tokoh utama, jelas sekali Fahri "harus" cukup menyakinkan. Belum lagi, sosok Zaskia yang tak mewakili (Noura) sebagai gadis Mesir. Juga tokoh-tokoh lain yang "seharusnya" diisi oleh orang Mesir ternyata nyaris didominasi pemain-pemain Indonesia.
Kekurangan itu, tak didukung skenario dialog yang kuat. Meskipun tak bisa dinafikan duo penulis skenario Salman Aristo dan Ginatri S. Noer, tidak cukup mengecewakan tetapi masih kurang puitis. Padahal, kekuatan sebuah film selain ditopang visualisasi gambar dengan menampilkan setting, wardrobe, dan property, tak dinafikan didukung pula dengan kekuatan dialog. Apalagi, dialog bahasa Arab (Mesir) ternyata minim dan sekadar tuntutan latar cerita.
Dengan kebopengan itu, tak salah film yang digarap sutradara kondang Hanung Bramantyo itu dinilai tidak mampu melampuai novel yang mengiris hati, dan bisa membuat pembaca tercerahkan. Meski pun rasa penasaran untuk menonton film itu -sekalipun sudah membaca novel- tetap mengundang daya tarik pemabaca untuk menikmati film dari kisah cinta Fahri yang membuat merana Maria Girgis (Carissa Putri), Nurul (Melanie Putria) dan Noura sebab Fahri memilih menikah dengan Aisha (Rianty Cartwright).
Tetap Tak Celaka
Meski film Ayat-ayat Cinta memiliki sejumlah kekurangan, tetapi film itu "tidak dapat disebut sebuah petaka". Hanung yang konon menghabiskan waktu satu setengah tahun "mempersiapkan serta menggarap" film tersebut masih mampu meneguhkan reputasi sebagai sutradara gemilang.
Hanung mampu menemukan kelemahan novel yang menampilkan Fahri --tokoh utama novel-- nyaris sempurna direduksi menjadi lelaki yang nyaris tidak kuat dan hampir putus asa ketika ia dipenjara. Bukti itu ditunjukkan Hanung dengan sarkartis melalui petuah orang gila satu sel Fahri -yang justru menasehatinya untuk ikhlas dan sabar.
Uniknya, lelaki gila itu justru tak shalat, dan seakan-akan jauh dari agama. Tapi kesombongan Fahri -setidaknya dalam hati Fahri menganggap dirinya lebih pintar dibandingkan teman-temannya, meski dalam keseluruhan cerita film tak dielaborasi dengan jelas-- itulah justru (di mata orang gila itu) sebagai cara Tuhan menasehati Fahri. Sebuah cerita yang tidak dapat ditepis, diilhami dari kehidupan nabi Yusuf.
Selain itu, film ini bisa menutupi lubang atau ketimpangan lain dalam novel tatkala dialihkan dalam bentuk gambar. Maka, ada "tuntutan" kreativitas Hanung dan duo penulis naskah Salman Aristo dan Ginatri S. Noer. Maria --yang dalam novel kurang memerankan kunci lantaran sekadar sebagai saksi yang dapat membebaskan Fahri terpaksa dielaborasi lebih jauh lagi. Juga soal adegan yang mengundang gelak tawa, sehingga mampu menghidupkan film menjadi tontonan yang segar, di samping melankolis karena mengundang derai air mata.
Dengan kelebihan itu tentunya telah mencatat prestasi dan kerja keras Hanung yang tak cukup mengecewakan. Jika hendak dibandingkan dengan film-film Indonesia lain, film produksi MD Pictures itu tetap "menyuguhkan" cerita yang "menyegarkan dan mencerahkan". Lantaran film Ayat-ayat Cinta itu satu-satunya film yang menyodorkan suatu konsep menjalin hubungan lawan jenis dalam Islam, ta`aruf, dan juga poligami yang hingga kini masih dianggap kontroversial. Tak salah, jika film Ayat-ayat Cinta itu bisa menjadi "satu alternatif" di tengah kebangkitan film-film Indonesia yang kerap mengangkat tema-tema horor.***
*) n. mursidi, cerpenis dan penikmat film, tinggal di Ciputat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar