Senin, 04 Februari 2008

impian tanah suci

cerpen ini dimuat di Surya, minggu 3 Feb 08

/1/
SEJAK dua belas tahun lalu, nyaris setiap kali musim haji tiba selalu tersiar kabar tentang Mbah Mungid yang konon akan pergi ke tanah suci. Kabar itu, tentu melegakan hati warga kampung. Apalagi, Mbah Mungid diketahui warga pernah menimba ilmu agama di pesantren, rajin ke masjid dan tak bakhil. Jadi tak ada alasan bagi warga meragukan niat Mbah Mungid mengunjungi Ka`bah.


Memang Mbah Mungid itu hanya pedagang kecil di pasar kecamatan. Tapi, orang kampung tak meragukan keteguhan Mbah Mungid untuk pergi haji, sehingga dia serius mengumpulkan uang. Terbukti sejak tersiar kabar ia akan naik haji, lelaki tua itu justru semakin dilimpahi rezeki. Usaha Mbah Mungid berkembang pesat. Los di pasar tempatnya jualan pakaian selalu dikerubungi pembeli. Jadi apalagi yang membuat warga harus ragu jika setiap musim haji tiba, dia selalu dikabarkan akan menunaikan rukun Islam yang kelima?

Tapi setiap kali musim haji tiba, lelaki itu tiba-tiba tak jadi pergi haji. Padahal Mbah Mukhtar, Mbah Sobari, Mbah Maskur yang tidak pernah santer dikabarkan pergi haji justru tiba-tiba berangkat. Anehnya semua tetangga Mbah Mungid itu, konon, diketahui tidak cukup kaya. Satu hal yang diketahui warga, lelaki itu gagal menunaikan ibadah haji karena sedang diuji oleh Allah. Tapi, Mbah Mungid seperti tak pernah mundur dan tidak putus asa meski cobaan datang tak pernah henti.

Maka, setelah bartahun-tahun cobaan datang silih berganti, musim haji tahun ini, Mbah Mungid yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya. Dia bersama istrinya akan pergi ke tanah suci. Ia tak ragu, musim haji tahun ini mimpinya melihat Ka`bah itu akan menjadi kenyataan. Apalagi, segala urusan sudah beres dan bahkan dia sudah melunasi ONH (Ongkos Naik Haji).
***

/2/
NIATAN Mbah Moengin untuk menunaikan ibadah haji, terbesit sejak lima belas tahun lalu. Mbah Mungid masih ingat, kejadian di malam lima belas tahun lalu saat dia bangun tidur, terperanjat kaget dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Di malam itu, ia menjumpai mimpi yang membuatnya heran. Dia melihat dirinya mengelilingi Ka`bah dengan mamakai pakaian putih. Anehnya, ia menemui mimpi serupa selama tiga malam berturut-turut.

Maka Mbah Mungid penasaran. Di pagi ketiga setelah ia menjumpai mimpi aneh itu, dia mengunjungi kiai Somad, seorang kiai besar di kampung sebelah, yang dikenal memiliki kelebihan. "Itu sebuah pertanda baik, karena bisa jadi Mbah Mungid akan pergi haji," jawab Kiai Somad dengan yakin setelah mendengar cerita dari Mbah Mungid tentang mimpi itu.

"Tapi kiai..., saya ini hanya pedagang kecil. Dari mana bisa memiliki uang untuk pergi haji? Itu jelas mustahil bagi orang seperti saya ini, kiai!" balas pedagang kecil di pasar kecamatan itu ragu, tak percaya.

"Ha... ha.." Kiai Somad tertawa. "Tidak ada yang mustahil bagi Allah! Jangankan cuma memberangkatkan Mbah Mungid ke tanah suci, membalik malam jadi siang saja... tidak mustahil bagi Allah. Mbah Mungid harus yakin dengan janji Allah, diimbangi shalat tahajud dan berdoa meminta kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doa Mbah Mungid di kelak kemudian hari!" jelas Kiai Somad.
***

/3/
SEPULANG dari rumah Kiai Somad, Mbah Moengin tak ragu lagi jika suatu hari nanti doanya akan terkabul. Maka, setiap malam Mbah Mungid selalu bangun dari tidur, menunaikan shalat tahajud, dan berdoa pada Allah untuk dikabulkan doanya agar bisa pergi haji sebagaimana mimpi yang ia jumpai. Mbah Mungid pun tak lupa saran dengan Mbah Somad, untuk bekerja keras, membanting tulang, dan menyisihkan uang untuk ditabung agar mimpinya bisa menjadi kenyataan.

Tahun berganti tahun. Usaha Mbah Mungid, ternyata tidak sia-sia. Tiga tahun kemudian ia bisa mengumpulkan uang dan tahun itu ia berniat pergi haji. Kabar kepergian itu pun santer beredar. Tetapi mendekati hari pemberangkatan, orang kampung dikejutkan dengan suasana rumah Mbah Mungid yang nyenyat, tidak ada hajatan. Tak ada kenduri. Orang kampung hanya mendengar kabar Mbah Mungid gagal pergi haji, lantaran dia tidak tega meninggalkan istrinya yang tak ikut semata-mata karena tabungannya hanya cukup untuk berangkat satu orang.

Kabar itu, memang tak salah! Mbah Mungid tak rela jika ia harus pergi sendiri sedang istrinya tak ikut. Maka ia kembali bekerja tekun, bangun malam hari, berdoa supaya bisa diberangkat Allah bersama istrinya tahun berikutnya. Tahun pun berlalu. Usaha lelaki itu menuai hasil. Dua tahun kemudian, ia bisa mengumpulkan uang untuk berangkat haji bersama istri tercinta.

Kabar itu segera tersebar luas. Sayang Mbah Mungid dan istrinya, Mbah Maimunah ternyata belum mujur. Krisis moneter yang menerpa Indonesia membuat mata uang rupiah anjlok, dan pasangan itu tak bisa berangkat, lantaran Ongkos Naik Haji melonjak diluar perkiraan, naik hampir "tiga kali" lipat dari tahun sebelumnya. Mbah Mungid dan Mbah Maimunah pun tak jadi pergi haji.

Tetapi, cobaan itu tak menghalangi Mbah Mungid untuk bisa mengunjungi Ka`bah di tahun berikutnya. Maka ia kembali bekerja membanting tulang, shalat tengah malam dan berdoa agar bisa pergi ke Makah. Empat tahun kemudian, jerih payah Mbah Mungid mengumpulkan bekal ke tanah suci, akhirnya terkumpul. Mbah Mungid bahkan bisa mengumpulkan uang enam puluh juta rupiah. Lagi-lagi, kabar kepergian lelaki itu langsung tersebar luas.

Sayang, sebelum Mbah Mungid daftar, kembali cobaan datang menimpanya. Mata Mbah Maimunah, istrinya kena katarak dan harus menjalani operasi. Tentu Mbah Mungid tak ingin mata istrinya buta. Maka, uang yang dikumpulkan dengan susah payah itu akhirnya digunakan untuk biaya operasi. Mbah Mungid, kembali tak mengunjungi Ka`bah hanya demi penglihatan istrinya tercinta.

Cobaan datang bertubi-tubi, tetapi Mbah Mungid tetap tidak putus asa. Dia kembali bekerja membanting tulang, bangun tengah malam, dan berdoa dengan khusuk supaya bisa pergi ke tanah suci. Usaha itu kembali menuai hasil. Empat tahun kemudian, Ongkos Naik Haji bisa terkumpul lagi. Pasangan itu pun, sudah siap untuk pergi haji ke tanah Makkah.

Tapi, sehari sebelum sepasang suami-istri itu daftar haji, lagi-lagi ujian Allah datang. Pasar tempat Mbah Mungid mengumpulkan uang agar bisa naik haji, tiba-tiba dilahap jago merah. Pasar ludes. Semua barang dagangan milik Mbah Mungid hangus terpanggang api, tak lagi tersisa. Praktis, lelaki itu tak jadi pergi ke tanah suci tahun itu.

Uang yang semula akan digunakan untuk pergi haji, terpaksa ia gunakan sebagai modal untuk berdagang kembali.
***

/4/
MUSIM haji tahun ini, setelah lima belas tahun laki-laki itu bermimpi melihat Ka`bah, kembali ia dikabarkan hendak pergi ke tanah suci. Orang-orang kampung senang saat mendengar kabar itu beredar. Pesta pun, segera digelar di rumah Mbah Mungid dengan harapan orang-orang kampung nantinya membantu berdoa bersama, meminta pada Allah untuk memberangkatkan Mbah Mungid dan istrinya ke tanah suci tahun ini, dan tak lagi ditimpa cobaan kembali. Apalagi, mengingat usia Mbah Mungid tahun ini sudah memasuki angka tua, enam puluh tahun.

Dan malam ini, do`a bersama itu digelar. Warga kampung yang diundang, seperti tak tega untuk tidak datang apalagi mengingat penderitaan yang selalu menimpa Mbah Mungid. Rumah pedagang itu seketika penuh sesak. Pasalnya, tepat setengah jam selepas isya`, semua warga sudah kumpul. Tapi, acara doa bersama itu belum juga dimulai. Maklum! Karena di malam itu, Mbah Somad yang bertugas memimpin doa belum juga kunjung tiba.

Malam merambat senyap. Rumah Mbah Mungid sudah mulai gaduh. Sementara itu, Mbah Mungid tampak cemas menunggu Mbah Somad yang belum juga datang. Jam yang menempel di dinding berdetak kencang mengguncang degup jantung laki-laki tua itu dihajar gelisah. Mbah Mungid kembali melihat ke arah jam dinding tapi belum sempat ia menatap jarum jam dengan jelas, telepon di rumahnya berdering kencang.

Mbah Mungid beranjak bangun dan tergopoh-gopoh menuju tempat telepon. Semua yang hadir seketika diam. Suasana sepi, dan hanya terdengar lamat-lamat suara di seberang yang membuat muka Mbah Mungid, tiba-tiba berubah merah. Dan lebih mengejutkan, warga kampung melihat Mbah Mungid kemudian menutup telepon dengan muka kecewa. Marah.

Orang-orang kampung saling pandang. Diam. Tak ada satu pun orang yang berani angkat bicara. Rumah Mbah Mungid yang tadi gaduh, seketika menyebarkan aroma kemurungan. Semua orang, kembali saling pandang. Dan, Mbah Mungid hanya berdiri kaku serupa patung, tak kembali duduk bersila di atas karpet. Matanya merah menatap semua orang. Tapi, tak ada sepatah kata yang terucap dari mulut lalaki itu.

"Kabar apa yang membuat Mbah Mungid tiba-tiba dilanda sedih? Apa Mbah Somad tidak bisa datang?" tanya Pak RT, mengejutkan semua orang di rumah itu.

Mbah Mungid terperanjak kaget, menatap semua orang yang ada di rumah. Wajah lelaki itu seketika pucat. "Mungkin, saya dicoba lagi! Berita yang saya dapat, saya tak bisa berangkat haji tahun ini sebab saya masuk datfar tunggu. Jadinya, saya baru bisa pergi haji tahun depan."

Warga kampung melongo. Semua saling pandang. Semua menatap wajah Mbah Mungid. Sementara itu, Mbah Mungid berdiri kaku, mematung seperti arca. Kaki lelaki itu gemetaran, dan dia hampir jatuh. Tatapannya kosong menatap ke luar rumah. Dalam hati, dia bergumam, "Dua belas tahun saya menanti mimpi itu jadi kenyataan. Apa saya masih diberi umur panjang oleh Allah sampai tahun depan?"

Dari balik jendela, Mbah Mungid melihat bintang bertaburan di langit. Malam semakin kelam. Tapi, ia masih melihat bulan sepenggalan bercahaya.***

Lasem-Jakarta,
04 Desember 2007


Tidak ada komentar: