SUDAH lama Ibrahim bermimpi punya rumah. Rumah sederhana, yang tak terlalu besar, asal bisa membuat dia tidur nyenyak sepulang dari kerja. Itu sudah cukup. Rumah yang membuat Ibrahim tak lagi mengontrak, tak pindah dari satu kampung ke kampung lain. Apalagi, sejak Ibrahim menikah enam tahun lalu. Mimpi itu pun melintas kuat di otak Ibrahim.
Tetapi mimpi itu tinggal mimpi. Bulan berlalu, dan tahun pun berbilang, Ibrahim masih terus mengontrak rumah. Ibrahim tak kunjung bisa mewujudkan mimpi membeli rumah, walaupun rumah tipe 21. Padahal sudah 10 tahun dia merantau, bekerja banting tulang di ibu kota. Sayang keinginan punya rumah itu seperti mimpi di siang bolong.
Selama 10 tahun merantau di Jakarta, sudah 6 kali dia pindah kontrakan. Kini rumah keenam yang dikontrak boleh dikata sederhana. Memang tak cukup besar tapi sudah layak ditinggali. Ada 2 kamar tidur. Rumah yang pas untuk pasangan muda seperti Ibrahim yang baru memiliki satu anak.
Sebenarnya, kontrakan terakhir ini jauh lebih layak jika dibandingkan dengan rumah kontrakan yang disewa pada tahun-tahun sebelumnya. Di rumah ini, Ibrahim sudah merasa cocok; kerasan. Bahkan, dia sempat berpikir kontrakan ini jadi kontrakan terakhir dan setelah itu dia berencana beli rumah. Tapi tak demikian dengan Fatimah.
"Kalau bisa besok kita pindah kontrakan," ujar Fatimah.
Ibrahim melongo. Kaget. Tak ada angin, tak ada hujan, istrinya tiba-tiba minta pindah. "Kita baru seminggu tinggal di sini, dan sudah bayar satu tahun. Jika kita pindah, tak mungkin uang kita dikembalikan! Lalu, uang dari mana lagi kita bayar kontrakan yang baru?"
"Tapi, rumah ini tak layak ditinggali..." ujar Fatimah, seraya menarik tangan suaminya.
Ibrahim mengikuti Fatimah.
"Coba kau melongok ke bawah, dan kau lihat apa yang ada di sana!"
Ibrahim mencium bau tak enak, tapi dia tetap merunduk lalu melongok ke kolong bawah mesin cuci. Ibrahim terpana. Tak terbayangkan jika di bawah mesin cuci itu dia melihat tahi tikus berceceran.
"Astaga... Kenapa ini bisa terjadi?"
"Itu belum seberapa," ujar Fatimah.
Ibrahim bingung, geleng-gelang kepala.
Fatimah kembali menggeret tangan Ibrahim, membawanya ke dapur. Ibrahim yang tak banyak berkecimpung di dapur menurut. Kembali, Fatimah minta Ibrahim melongok di kolong bawah kompor, tempat tabung gas. Lagi-lagi, dia mencium bau tak sedap. Dia tak membayangkan jika di kolong bawah kompor gas juga telah dipenuhi tahi tikus.
"Tapi selama ini aku tak melihat tikus berkeliaran..."
"Kau jarang di rumah, dan pulang kerja larut malam. Jadi pantas tak melihat tikus di rumah ini. Suatu hari nanti, aku yakin kau akan tahu apa yang dilakukan tikus-tikus itu di rumah ini..."
***
SEBENARNYA Ibrahim sudah bosan mengontrak. Apalagi sejak terjadi peristiwa tahi tikus di kolong mesin cuci dan dapur. Hati Ibrahim tertusuk, dan mimpi memiliki rumah itu pun membuatnya tak bisa tidur.
Hampir sepanjang malam, dia berpikir keras bagaimana bisa beli rumah. Seminggu yang lalu, saat rumah yang dikontrak tahunan jatuh tempo, dia terpaksa bobol tabungan. Padahal, dia mengumpulkan uang itu susah payah. Dia menyisihkan seperempat gajinya, sebelum dikasihkan ke Fatimah untuk belanja. Rasanya, dia seperti sia-sia menabung karena selalu habis dibuat bayar kontrakan.
Dia ingat, sepulang dari rumah pak Kosim, pemilik kontrakan, istrinya berseloroh.
"Kita ini menabung tiap bulan, tetapi sia-sia saja! Lalu, kapan kita bisa membeli rumah bila seperti ini terus?"
"Kali ini aku serius. Aku berani berjanji, tahun depan kita akan punya rumah sendiri."
"Hampir setiap tahun, terlebih setelah bayar uang kontrakan, aku selalu mendengar janji seperti itu. Dulu, aku senang mendengarnya dan berharap tahun depan bisa menempati rumah baru. Tapi, janji itu kini seperti angin lalu..."
Ibrahim menoleh ke arah istrinya, dan tersenyum. Ibrahim memang selalu berjanji seperti itu, hampir setiap tahun. Dan dulu, dia melihat istrinya berbinar bahagia habis mendengar janji seperti itu. Dia tak pernah melihat binar mata yang bening di kelopak mata istrinya, dan itu hanya terjadi dulu ketika dia berjanji seperti itu di awal-awal tahun pernikahan. Tapi kini telah berubah. Tak ada binar mata yang bening di kelopak mata istrinya walau dia berjanji akan membelikan rumah tahun depan. Bahkan seminggu lalu, saat dia berjanji seperti itu, dia melihat istrinya menitikkan air mata.
"Jika kau tak mampu memenuhi janjimu, tolong tak usah berjanji...."
Selama menikah, Ibrahim tak pernah melihat istrinya menangis dengan mata diliputi kecewa, kecuali malam itu. Ibrahim ingat itu. Dia tercenung sepanjang malam. Setiap kali dia membayangkan peristiwa itu dia merasa gagal membahagiakan istrinya. Awal-awal menikah dulu dia merasa ekonomi rumah tanggannya lebih baik. Waktu itu, istrinya masih bekerja jadi guru di salah satu SDIT bonafit di Jakarta. Tapi, tiga tahun lalu, istrinya memutuskan keluar setelah melahirkan dan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga untuk membesarkan Noura, putrinya.
Kini, apa kuasa Fatimah? Ia hanya ibu rumah tangga. Tak lagi punya tabungan. Tidak lagi menerima gaji bulanan seperti dulu. Ibrahim menduga Fatimah menangis karena tak lagi kerja, dan tak lagi mendapatkan gaji. Mungkin, Fatimah menyesal karena memilih menjadi ibu rumah tangga sehingga tak bisa menabung lagi. Tanpa sadar Ibrahim yang sedang merenung pun menitikkan air mata.
Tapi tiba-tiba dia dikejutkan sekelebat tikus yang berlari di lantai. Dia terperanjak kaget, seraya menjerit. Jerit Ibrahim membuat Fatimah terbangun.
"Kenapa?"
"Aku melihat tikus," jawab Ibrahim
"Aku melihat tikus tiap hari, tapi tak histeris sepertimu."
"Tapi aku baru melihat sekarang ini...."
"Besok kau akan tahu tikus-tikus itu berbuat lebih jauh dari itu. Kau tunggu saja!"
Fatimah kembali tidur, tetapi Ibrahim masih tercenung di ruang tamu. Dia berpikir lagi bagaimana caranya bisa membeli rumah. Kali ini, terpikir untuk mengajukan KPR. Tapi dia terpikir lagi; bagaimana mendapat uang muka? Ibrahim terus berpikir, hingga disergap kantuk lalu tertidur. Tapi belum sampai Subuh tiba, dia merasa ada sesuatu yang menggelitik di ujung kakinya. Dia terjaga, menjerit keras karena ujung kakinya dirasa pedih dan sakit. Dia menengok ke arah ujung kakinya, dan kaget ketika ujung kakinya dilihat penuh darah. Darah itu bahkan menetes, dan membasahi lantai.
Fatimah terbangun. Ia melihat Ibrahim di ruang tamu meringis kesakitan.
"Kenapa?"
"Kakiku digigit tikus, bahkan hingga darah mengucur di lantai," jawab Ibrahim.
"Hampir setiap minggu kakiku digigit tikus, bahkan darahku juga mengucur di lantai," jawab Fatimah.
"Tapi kenapa baru kali ini kakiku digigit tikus?"
"Besok kau akan merasakan tikus-tikus itu akan berbuat jauh lebih dari itu."
Fatimah kembali tidur, tapi Ibrahim tak bisa tidur sepanjang malam.
***
IBRAHIM tak tahu apa yang akan terjadi besok. Dia tak tahu apa yang akan dilakukan tikus-tikus itu. Berkali-kali dia mendesak istrinya bercerita apa yang akan dilakukan tikus-tikus itu, Fatimah diam. Dia tahu, Fatimah menyembunyikan sesuatu. Dan Fatimah memilih diam karena tuntutannya untuk pindah rumah kontrakan tak dipenuhi Ibrahim.
Ibrahim memutuskan berbuat sesuatu sebelum tikus-tikus itu berulah lebih kejam. Dia memutuskan membeli racun tikus.
Sehari kemudian, dia merasa apa yang dilakukan itu berhasil.
"Kini kita tak perlu pindah rumah," ujar Ibrahim. "Tikus-tikus di rumah ini sudah mati."
"Kita harus pindah rumah! Titik! Jika tidak, aku tak tahu apa yang akan terjadi di rumah ini seminggu atau dua minggu ke depan. Dulu aku sudah pernah membeli racun tikus. Jadi, apa yang kau lakukan itu akan sia-sia..." bantah istrinya.
Tiga hari kemudian, kontrakan Ibrahim dipenuhi bau menyenyat. Fatimah marah; mencari bangkai ke mana-mana, tetapi tak ketemu. Berkali-kali, ia memburu bangkai itu, hanya membuatnya kesal. Bahkan, sehari kemudian ia menemukan belatung-belatung menggeliat hampir di setiap sudut kontrakan.
"Kau ini hanya menambah pekerjaan rumah aja! Tikus-tikus itu memang mati tapi sebagai gantinya tikus itu mendatangkan belatung."
"Tapi setelah ini, aku yakin kontrakan ini tak lagi menjadi sarang tikus," bantah Ibrahim.
"Tapi aku tetap ingin pindah! Titik! Jika tidak, aku tak tahu apa yang akan terjadi di kontrakan ini beberapa hari ke depan," ujar Fatimah.
Ibrahim yakin tikus-tikus itu telah mati. Tetapi, apa yang diramal Ibrahim salah. Tanpa diduga, malam itu, tiba-tiba dia melihat sekelebat tikus berlari di lantai. Ibrahim berang. Dia mengejar tikus itu. Di luar perkiraanya, tikus itu masuk ke kamar mandi, lalu menelusup lubang WC. Perut Ibrahim mual. Malam itu, Ibrahim memutuskan untuk membunuh tikus itu dengan sebatang kayu dan siap mengintai di balik kamar mandi.
Lima menit kemudian, Ibrahim girang. Dia melihat tikus itu keluar dari lubang WC. Dia siap membunuh dengan sebatang kayu. Tetapi, usaha Ibrahim itu sia-sia. Tikus itu berlari dengan kencang, lalu tikus-tikus yang lain berhamburan keluar dari lubang WC. Tikus-tikus itu berlarian di lantai rumah. Ibrahim tidak bisa berkutik. Setiap kali Ibrahim berusaha membunuhnya, tikus-tikus itu kembali masuk lubang WC.
Ibrahim tak bisa berbuat apa-apa. Dan, malam itu, Ibrahim memutuskan; besok pagi dia harus pindah rumah kontrakan.***
CL-14
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Selain menulis cerpen ia juga menulis novel dan reportase untuk sebuah majalah Islam di Jakarta. Novel terbarunya Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar