Minggu, 12 Agustus 2012

Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit

cerpen ini dimuat di Suara Merdeka, hari Minggu 12 Agustus 2012

BERTAHUN-TAHUN, lelaki itu menunggu Ramadhan (tahun ini) cepat datang. Ramadhan yang akan menggenapi usianya tepat enam puluh tiga tahun dan dia merasa yakin, jika Ramadhan tahun ini, suatu peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu lama itu akan tiba. Dia menemui ajal, selepas shalat tarawih tepat di malam Lailatul Qadar.


Di malam yang ditunggu-tunggu itu, ia akan menunaikan shalat Tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat laki-laki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki dan tidak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, sunyi dan sepi --seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tak pernah dia rasakan lantaran tak ada angin berembus. Dan malam itu ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba; maka ia menunaikan shalat Tarawih tepat di malam yang hening -yang menurutnya malam Lailatul Qadar.

Tepat pada malam itulah, sebagaimana yang pernah dia rasakan dalam mimpinya sepuluh tahun yang lalu, ia akan beranjak tidur dengan tenang selepas menunaikan shalat tarawih dan dia berharap tak akan bangun lagi karena dia akan meninggal dengan tenang, tepat di malam Lailatul Qadar setelah ia melihat seribu kunang-kunang.
                                                                    ***

RAMADHAN hari pertama, sepulang dari menunaikan shalat subuh di masjid, laki-laki itu tidak kembali tidur. Dia pulang tergesa, meraih sepeda. Dalam gelap pagi, dia menggayut pedal dengan napas tersengal menuju pasar. Dia menggenjot sepedanya diiringi derit jeruji yang hampir terlepas, dan gesekan salah satu jeruji sepada yang terlepas itu menimbulkan suara sesak di dada. 

Lelaki itu tak pernah bercerita pada anaknya, mengenai kematian yang akan menjemputnya di bulan Ramadhan ini. Tahu-tahu, lelaki itu pulang dari pasar tepat ketika mentari beranjak naik di atas kepala, dan menjinjing kain kafan yang dibungkus plastik putih. Berjalan semboyongan dilanda haus, lelaki itu menyandarkan sepeda di teras lalu memasuki rumah dengan langkah terhuyung hampir jatuh. Di ruang tengah, dia menghempaskan tubuh seraya menaruh plastik putih berisi kain kafan di atas meja.

Mahmud, anak keduanya keluar dari kamar, menguap seraya mendapati ayahnya yang terlentang di kursi panjang melepas lelah. Tubuh ayahnya gemetar, seluruh mukanya merona merah sebab dibakar terik mentari.

"Ayah dari mana? Selepas subuh sudah mengeluarkan sepeda dan pulang seperti orang dikejar hantu?"

"Dari pasar..."

"Untuk apa ayah harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali?"

"Beli kain untuk baju...."

Mahmud melirik bungkusan plastik di atas meja, membukanya lantas membentangkan kain kafan dalam bungkusan itu. "Mana mungkin ayah akan membuat baju lebaran dari kain seperti ini?"

"Siapa bilang kain kafan itu untuk baju lebaran ayah? Itu baju kematian ayah. Mungkin, di bulan Ramadhan ini ayahmu akan dipanggil oleh Tuhan."

Mahmud tersentak. "Ayah jangan bercanda dengan Tuhan. Ayah masih sehat dan kuat menggayut sepeda sampai ke pasar... Jangan berpikir aneh-aneh!"

Lelaki itu diam dan Mahmud melangkah ke kamar mandi.
                                                              ***

BELUM cukup Mahmud dikejutkan dengan kain kafan yang dibeli ayahnya, hari kedua Ramadhan, ayahnya kembali membuat anaknya terparangah. Kali ini, ayah tiga anak itu pergi ke pemakaman.

Sesudah menunaikan shalat Asar, lelaki itu pulang dari masjid dengan langkah tergesa-gesa mengambil cangkul di belakang rumah lantas berjalan ke luar perkampungan, lalu menyusuri jalan setapak ke pemakaman umum. Setiba di sudut pemakaman, lelaki itu membersihkan rumput makam istrinya -yang sudah meninggal enam tahun lalu. Setelah rumput tak lagi menghuni gundukan makam istrinya, lelaki itu bersimpuh dan menangis. Hening senja itu semakin membuat ia larut. Tak ada kata yang terucap, kecuali hanya sebait doa dalam hati yang sendu membasahi bibirnya. Ia menghapus air mata, sebelum pulang saat matahari hampir tenggelam.

Tapi, sesampai di rumah, lelaki itu seperti tidak dapat mengelak tatkala Romdon, anak ketiganya pulang kerja dan menemukan ayahnya pulang dari pemakaman dengan sebuah cangkul di pundak. "Banyak kuburan tak terurus, termasuk kuburan ibumu. Jadi, apa salahnya jika aku pergi ke pemakaman untuk membersihkannya?”

"Tapi, kenapa ayah sendiri yang harus melakukan? Tidak bisakah ayah meminta bantuan orang lain dengan memberinya upah?"

"Ada satu hal yang kita tak bisa minta bantuan orang lain. Ayahmu tahu kematian tak dapat digantikan. Ayahmu sudah tua. Jadi, tak mungkin ayahmu mengupah orang untuk menggantikan kematian ayah yang sebantar lagi akan datang..."

Romdon termangu menatap wajah ayahnya yang mulai menua di makan usia. Tetapi, Romdon sama sekali tak menemukan garis putih di dahi ayahnya yang bisa memberinya tanda jika ajal ayahnya tak lama lagi akan tiba.
                                                                 ***

TIDAK hanya hari kedua di bulan Ramadhan tahun ini, lelaki tua itu pergi ke pemamakan dan baru pulang saat senja tenggelam. Tetapi di hari ketiga, keempat, dan seterusnya lelaki itu masih tetap pergi ke pemakaman. Laki-laki itu pergi ke pemakanan seakan ia sudah merindukan tempat yang akan dihuni kelak, tepat usai shalat Tarawih di malam Lailatul Qadar.

Dan malam ini laki-laki itu sudah menjalani puasa selama dua puluh hari.

Bulan di langit tak lagi penuh, mirip buah semangka dibelah dua. Di bilik kamar, lelaki itu berdiri melongok jendela. Tak diduga, tiba-tiba ia melihat seribu kunang-kunang berterbangan di langit dengan memancar kelap-kelip aneka warna. Cakrawala tidak lagi gelap, dan langit seperti tersepuh warna seribu kunang-kunang. Lelaki itu tidak ragu, bahwa malam ini adalah malam Ramadhan yang ditunggu-tunggu. Malam penuh berkah, dan dia merasakan ada secercah kedamaian yang menelusup dalam dadanya...

Tak ingin ia kehilangan suasana yang tak pernah ia rasakan sepanjang hidup, memandang ke angkasa dengan diam. Adzan isya` sudah lama berlalu, tetapi suara langkah kaki orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat Tawarih tidak menggoyahkan kakinya beranjak pergi ke masjid. Ia sudah merasa ajalnya sudah dekat. Langit yang dipenuhi dengan seribu kunang-kunang seperti mengabarkan akan berita duka tersebut.

Kini, malam yang ditunggu-tunggu itu, sudah tiba dan dia harus menunaikan shalat Tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuatnya harus rela meninggalkan semua yang dia miliki. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu, seakan-akan malam tidak beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tidak ada angin. Dan, malam ini, ia merasakan ajal yang ditunggu-tunggu akan tiba.

Ia melangkah mengambil air wudhu, kemudian kembali ke kamar, dan berdiri lagi di balik jendela. Seribu kunang-kunang yang barusan dilihatnya tak lagi terlihat. Dia mengedarkan pandangan mencarinya di segala penjuru langit. Tapi seribu kunang-kunang itu sudah hilang, tidak ia temukan lagi. Angin berhembus, menyelimuti sekujur tubuhnya dalam balutan rasa tentram yang tak pernah ia temui sepanjang hidup.

Malam seakan lama beringsut. Suara orang-orang yang menunaikan shalat Tarawih di masjid, terdengar di telinganya. Ia tahu, malam belum sepenuhnya hening. Maka, ia mengambil kitab suci di atas meja lalu membacanya dengan suara lirih. Tatkala anak-anaknya tiba dari masjid, tak menaruh curiga; kenapa ayahnya malam itu tidak shalat tarawih di masjid.

Malam merambat menjadi hening. Ia tahu anak-anaknya sudah beranjak tidur. Tepat di malam itu, ia berdiri menunaikan shalat terawih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat lelaki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki, tak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tak ada angin berhembus. Dan malam ini ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba dan ia pun segera menunaikan shalat Tarawih.

Malam benar-benar hening.

Angin seperti diam, dan membisu.

Ia khusuk dalam sujud, dan tidak memikirkan dunia.

Usai shalat tarawih, pelan-pelan ia beranjak ke ranjang untuk tidur dan berharap di malam yang sudah beranjak menjadi pagi itu, ia tidak akan bangun lagi lantaran ia akan meninggal dengan tenang selepas shalat Tarawih, tepat di malam Lailatul Qadar.

Tapi betapa terkejutnya lelaki itu tatkala waktu sahur tiba...., ia merasakan tangan kekar menyentuh tubuhnya. Abdul, anak pertamanya menggoyang-goyang tubuhnya. "Ayah..., bangun! Sudah waktunya makan sahur! Dan ada kabar sedih yang melingkupi kampung kita. Haji Salim, imam masjid di kampung kita barusan meninggal dunia."

Lelaki itu membuka matanya, dan dilihatnya sosok anak pertamanya berdiri di tepi ranjang. Ia terperanjak karena Haji Salim meninggal dunia. Dalam hati, ia merenung: kenapa Haji Salim yang justru meninggal pada malam yang ia tunggu-tunggu itu?

Ia beranjak dari ranjang, membuka jendela, dan melongok keluar dengan mata masih setengah terpejam. Tidak ada seribu kunang-kunang di langit. Hanya ada bulan separoh bulat mirip buah semangka yang dibelah menjadi dua... ***

Ciputat, Ramadhan 1431
   
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Tabloit Nova, Suara Karya, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surabaya Post, Surya, Radar Surabaya, Batam Pos, Lampung Post, Bengawan Pos, Tabloid Cempaka, Suara Merdeka dan Solo Post. Selain menulis cerpen dia juga bekerja menjadi wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).

Tidak ada komentar: