(Cerpen ini dimuat di Surabaya News, Minggu, 13 Maret 2003)
AKU tahu, pada akhirnya semua akanlah berlalu. Seperti semilir angin, usai desir menghela dedaunan, kesunyian seketika meredam dalam waktu. Juga, tak ada yang bergerak lagi jika dedaunan sudah letih bergoyang, kecuali sebuah angin lain datang menghempaskan ranting-ranting dan tangkai-tangkai bunga di waktu yang lain. Sepenuhnya aku tahu! Keheningan dan kesunyian adalah satu hal yang mencekam kalbu. Tetapi, siapa yang ingin merengguknya? Bukankah tak seorangpun tiada yang bisa mengusir angin? Karena angin menyeringai menghempaskan dedaunan, apapun dan tak terkecuali juga pada malam.
AKU tahu, pada akhirnya semua akanlah berlalu. Seperti semilir angin, usai desir menghela dedaunan, kesunyian seketika meredam dalam waktu. Juga, tak ada yang bergerak lagi jika dedaunan sudah letih bergoyang, kecuali sebuah angin lain datang menghempaskan ranting-ranting dan tangkai-tangkai bunga di waktu yang lain. Sepenuhnya aku tahu! Keheningan dan kesunyian adalah satu hal yang mencekam kalbu. Tetapi, siapa yang ingin merengguknya? Bukankah tak seorangpun tiada yang bisa mengusir angin? Karena angin menyeringai menghempaskan dedaunan, apapun dan tak terkecuali juga pada malam.
Seperti kepergianmu. Kau pergi meninggalkanku, begitu saja pada suatu malam yang diiringi derai angin yang gamang. Aku tidak saja masih terkenang akan tumpahnya air matamu, tetapi kepergianmu itu sendiri jelas saja tak akan pernah bisa terhempas dari ingatanku begitu saja bersama lalunya waktu. Itu karena kau nyaris sudah kuanggap seperti kekasihku. Untuk itulah, aku benar-benar merasakan ada yang hilang setelah kepergianmu.
Tetapi, kau sepenuhnya tahu bahwa aku bukanlah lelaki yang selalu memiliki perhatian padamu. Aku seringkali cuek, angkuh dan mau menang sendiri. Kadang aku menolakmu ketika kau mengajakku jalan-jalan atau makan malam, dengan satu alasan, "Aku lagi tak enak badan". Jelas saja, kau marah.
Sepenuhnya dengan kegalauan yang bisa dipahami oleh siapa pun, karena aku sering membuatmu kecewa. Dan sebaliknya, ketika kau tak enak badan, aku justru datang menemuimu pada malam yang gelisah dan mengajakmu menikmati suasana kota dengan berjalan kaki di hampir sepanjang malam, hingga kau capek dan marah-marah karena aku memang sering menjengkelkan, membuatmu letih dan enggan berbagi cerita setelah aku berpergian dari luar kota dalam pengembaraan yang tanpa tujuan.
Mungkin hubunganku denganmu bisa aku ibaratkan tak jauh beda atau bahkan mirip seperti hembusan angin. Hampir satu tahun aku mengenalmu, dalam sebuah pertemuan yang tak sengaja, di sebuah halte bus yang tak pernah sepi dari ramai. Aku melirikmu ketika kau datang di halte itu untuk tujuan ke kampusmu dan kau sepenuhnya tak tahu ketika aku kerapkali mencuri bau harum dan aroma parfummu, atau ketika kau lengah dalam penat menunggu bus yang tak juga datang dan aku selalu menanti sampai kau naik bus kota ke kampusmu... terus dan terus seperti itu ketika aku belum sepenuhnya tahu siapa namamu.
Hingga pada suatu hari, mungkin kau sungguh tak betah kupandangi terus, atau mungkin kau sebenarnya sudah tahu jika aku selalu mencuri pandang padamu. Lalu, kau seperti gelisah dan ketika lirikanku kau maknai telah merampas kebebasanmu, kau pun akhirnya tak tinggal diam... mendekatiku dan menyapa dengan senyum ringan yang masih tersimpan di dadaku... "Mau ke kampus?" tanyamu seketika, yang sempat membuyarkan lengahku saat aku mengambil sesuatu dari tasku.
Aku, terus terang, sempat tergeragap dan tak pernah menduga, jika kau akhirnya menyapaku. Sungguh! Aku kaget, sendi di tulangku bergetar dan pada bibirku yang mau menjawab sapaanmu hampir buyar terhempas tatapanmu yang menyengat sukma. "Ee... ee, mau ke tempat kerja!"
Setelah itu, aku justru melihatmu lebih takut daripada diriku. Getar di tubuhmu yang sebelumnya nekat telah mendekatiku, seketika menjadikan wajahmu yang jelita, merah merona seperti telah kutampar dengan ucapanku. Dan, aku tahu, ketika kau tertunduk dengan wajah yang murai, saat itu pula aku melihat di matamu ada berjuta puisi yang hampir sepenuhnya membuatku bergairah untuk memungutnya.
Tetapi, wajah masammu dan geliat tubuhmu yang tiba-tiba menjauh... justru tak membuatku pantang menyerah. Tepat ketika bus yang biasa kau naiki berhenti di depan halte, lalu kau naik dan duduk pada salah satu kursi, aku justru mengikutimu dari belakang dan memilih duduk di sebelahmu. Bus lalu melaju dan kau yang telah duduk di sebelahku akhirnya mau berbagi canda, dan ceritamu yang melaju deras seperti laju bus kota yang kian menerobos keramaian kota.
Setelah itu, kau akrab denganku. Malamku kadang habis denganmu untuk berbincang tentang apa saja, tak terkecuali masa-masa kecilmu yang lucu yang kerap kau katakan sering membuat ibumu kesal. Tapi, aku justru senang mendengar ceritamu setelah aku jenuh dengan kerjaku yang tak ada habis-habisnya. Aku senang mendatangimu, menjengukmu dan mengajakmu jalan atau makan, nonton dan kadang cuma bercengkrama di pondokanmu yang mungil dengan seduhan teh manis buatanmu.
Sampai suatu ketika, tepat setelah berjalan setahun, kau benar-benar tak ada di pondokanmu saat aku rindu benar kepadamu. Kau pergi entah dengan siapa dan aku pulang dengan rasa kecewa karena tak berhasil menjumpaimu. Namun, esoknya aku terpaksa harus menunggumu ketika aku ditikam rindu yang dalam dan aku tahu kau ternyata telah pergi dengan seorang laki-laki lain. Sekali, pernah aku melihat kau diantar sampai di pintu pagar pondokanmu, dan aku melihat percakapanmu yang lebih puitis daripada hubunganku denganmu, setidaknya telah membuatku sepenuhnya sadar bahwa kau telah kecewa denganku. Aku akui, jika kau ingin mengetahui apa yang aku lihat tentang hubunganmu dengan kekasihmu, "menurutku sungguhlah puitis!".
Sejak itulah, aku tahu bahwa kau telah punya kekasih dan aku sadar. Artinya, segalanya memang harus berakhir dan perpisahan harus terjadi. Aku sepenuhnya tahu ketika kau lebih akrab dengan lelaki itu, dan aku tak pernah perduli siapa dia dan dari mana asalnya... kau pun memang seringkali tak ada di pondokan dan kerapkali kencan dengannya sampai larut malam, sementara kalau aku ingin menjumpaimu, terpaksa harus menunggumu di pondokan mungilmu, sendirian dengan lengangnya malam.
Hingga, tepat setahun sudah aku mengenalmu dan kau yang sepenuhnya sudah kuanggap sebagai kekasihku meski aku tak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak, kau tiba-tiba ingin bertemu denganku di sebuah taman, sebuah tempat yang sudah biasa kita singgahi pada malam liburanmu. Dalam pertemuan itu, kau bilang akan pergi meninggalkanku saat itu juga, dalam malam yang tidak saja murai, melainkan juga di kelopak matamu aku melihat beban air matamu yang amat sangat telah membuat air matamu kemudian tumpah... Air matamu, lalu tumpah sungguhan.
Hampir tak ada kata yang terucap dari bibirmu, kecuali getar tubuhmu yang mengaliri kedua bibirmu untuk memulai percakapan yang kutahu itu sangat berat untuk kau ucapkan, kecuali perpisahan itu sendiri telah membuatmu menangis. Air matamu, aku tahu mewakili kata-katamu untuk memberikan pengertian kepadaku bahwa kau sedih dan untuk itu kau patut menumpahkannya. Aku tahu itu, dari sorot matamu yang mendung ditikam sedih yang teramat perih.
Malam yang merangkum kesedihan itu masih kukenang, selalu. Saat aku sendirian berjalan melintasi taman pada tengah malam yang gamang, sering kuingat ucapanmu sebelum kau pergi, "Maafkan aku, sayang! Aku sungguh mencintaimu, tapi semua sudah berlalu dan harus berakhir sampai di sini. Kau amat mencintai dirimu sendiri dan terus terang saja, semua itu telah membuatku punya keputusan; aku harus meninggalkanmu.
Bukankah kau tahu, aku sudah memiliki kekasih yang meski jauh gesit dan cerdas di banding kamu, namun aku telah memutuskan untuk belajar mencitainya. Sekali lagi, maafkanlah aku, sayang! Aku pergi dan janganlah kau sedih..."
Malam itu... masih kuingat, tangismu justru semakin tumpah ruah setelah kau mengucapkan kalimat itu. Sesenggukan, kau ditikam sedih. Air matamu tumpah banyak. Ingin aku memelukmu, sebanarnya. Setidaknya, untuk sebuah kepergianmu. Namun, aku tak sanggup... Aku hanya menghapus air matamu yang mengalir membasahi mukamu yang pucat diterpa rembulan malam dengan sebuah sapu tangan milikmu.
Aku sepenuhnya paham. Keputusanmu untuk meninggalkanku, memang harus kau lakukan. Karena kau harus tahu, memang! Jika kamu tidak pergi, maka kamu akan kecewa di kemudian hari, dan semua itu akan terlambat jika baru kamu sadari setelah semuanya telah terlalu jauh. Terus terang, aku sungguh tak tahu apakah aku mencintaimu ataukah tidak.
Tapi, aku telah menganggapmu tak ubahnya seperti kekasihku. Karena jika hal itu tidak kulakukan, maka aku tak bisa memungut puisi-puisi di matamu. Itulah alasannya, kenapa aku tidak pernah menerimamu sebagai kekasihku. Aku sungguh tak bisa mencintai siapapun, kecuali pada malam dan kehidupan itu sendiri. Mungkin karena cinta itu, kau tak ingin melukaiku dan kau pun berat untuk pergi dan menangis terus hingga aku akhirnya memaksamu untuk segera pergi meninggalkanku sebelum kekasihmu datang mencari.
Kau lalu pergi, dengan langkah tersaruk dan sesekali masih menoleh ke belakang untuk memastikan apakah aku menangis atau tidak. Tapi, sejatinya aku hampir saja menangis jika kau tidak pergi dengan segera meninggalkanku. Sampai kau menjauh dari tempatku berdiri, dan tinggal bayangmu saja yang kemudian hilang ditelan kegelapan malam, aku seketika merasa telah kehilangan.
Aku kehilangan puisi-puisi yang masih tertinggal di matamu. Tapi, aku tahu. Kau sudah jadi milik kekasihmu. Untuk itu, kau tidak saja harus mencintainya, melainkan juga harus bisa melupakanku. Setidaknya itu harus kau lakukan sejak malam yang mengenang hatimu akan kesedihan itu. Jujur saja, ketika mengenang malam yang sedih itu, kadang aku merasa kasihan kepadamu; kenapa kau dulu harus mengenalku jika pada akhirnya harus seperti ini jadinya? Kau pergi sebelum aku yang pergi meninggalkanmu.
Tapi, aku justru bangga karena kaulah yang punya keputusan untuk meninggalkanku. Sehingga aku sama sekali tak pernah menanggung apa-apa, kecuali kenangan tentangmu yang bisa saja menjadi sebuah malapetaka bagiku. Aku telah hanyut dalam kebiasaan yang kerapkali mengajakmu jalan, nonton dan makan malam di sebuah kafe di pinggiran kota.
Tak tahulah, aku. Kini semua telah berlalu dan kau bisa menikmati kebersamaan bersama kekasihmu. Semoga saja bahagia. Sementara aku, masih sering berjalan sendirian dalam malam yang ranum, ketika bulan di cakrawala tak memberikan cahaya di setiap ayunan langkahku. Dan saat aku terkenang semua itu, kadang aku merasa kangen denganmu, tak lebih, demi puisi-puisi itu, kenangan dan candamu...
Tapi, aku tahu kau telah membuat keputusan untuk pergi dan kini aku tak tahu kau entah berada di mana. Memang, pernah aku berhasrat memutuskan untuk mencari dan menemuimu, tak lebih karena kerinduan di dadaku akan puisi-puisi yang belum sepenuhnya kurengguk dari sorot matamu yang nekat menyapaku waktu pertama kali kau berhasil membuat tubuhku bergetar karena tatapanmu. Setidaknya, hanya untuk puisi itu.
Sekali lagi, kaulah yang telah membuat keputusan dan dirimu telah jadi milik kekasihmu, dan semua kiranya sudah tak ada lagi yang perlu aku kenang. Karena kesedihanku akan membuatku ditikam petaka! Jika, aku kadang masih tak bisa melupakanmu, itu tak lain harus kuakui bahwa kepergianmu telah membuat lengang pada malam-malamku. Dan karena aku sungguh mencintai malam, maka sepenuhnya aku merasakan kelengangan itu telah menikamku.***
Yogyakarta, Feb 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar