"Tugas saya --sebagai penulis-- hanyalah menulis dan berusaha. Setelah itu saya serahkan takdir: ke mana jodoh naskah itu akan terbit." Sepenggal kalimat itu, mungkin dapat dikatakan ungkapan yang tepat setelah saya mengalami "pengalaman" agak panjang terkait dengan terbitnya buku saya Tidur Berbantal Koran. Sebab saat menulis buku itu, saya tak tebersit pikiran akan menerbitkan buku tersebut di Elex Media Komputindo. Tapi, tidak saya duga, akhirnya naskah tersebut diterbitkan penerbit Elex Media Komputindo.
Dulu, saya merasa pengalaman hidup saya itu tidak berharga, dan tidak penting. Biasa! Itu menurut saya! Tetapi, tidak saya sangka, ternyata ada penerbit yang berminat dan meminta saya untuk menulis pengalaman hidup saya itu --tentu, kini sudah bisa dibaca di buku Tidur Berbantal Koran (yang terbit 27 Februari 2013). Anehnya, meski sudah dipesan oleh penerbit saya tak juga kunjung sadar. Saya tak segera menulisnya. Perasaan gamang dan tak PD masih mengganjal keberanian saya. Akhirnya, naskah itu pun urung saya tulis. Waktu itu, tahun 2008, dan saya belum menikah
Dua tahun berlalu. Awal tahun 2010. Ketika itu, saya sudah menikah bahkan sedang menikmati masa-masa awal pernikahan. Jika tidak salah, usia pernikahan saya memasuki usia 4 bulan. Tetapi, waktu itu saya benar-benar merasa hampa. Sebagai suami, waktu itu saya merasa tidak bisa berbuat apa pun; saya tidak bisa banyak memenuhi segala hal yang bersangkutan dengan urusan ekonomi. Cobaan datang dan saya harus mengencangkan perut. Pada moment itulah, saya merasa tak berharga dan tidak bermanfaat --saya merasa tidak bermanfaat bagi istri saya, apalagi orang lain.
Dari situlah, saya ingin berbuat sesuatu. Saya pun berusaha berbuat banyak hal tapi -ironisnya- tak mengubah keadaan. Hingga akhirnya, saya sadar; sebagai penulis, saya hanya bisa menulis. Dari situ, saya kemudian menulis buku Tidur Berbantal Koran. Apalagi, saya ingat dua tahun yang lalu sudah ada penerbit yang memesan. Pada sisi lain, sebagian "isi buku" itu juga sudah pernah saya ceritakan kepada istri saya, dan ia mendukung agar saya menulisnya. Akhirnya, saya pun menulis buku "Tidur Berbantal Koran" itu didasari pada keinginan untuk bisa berbuat dan bermanfaat untuk istri saya, syukur-syukur jika akhirnya bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena hanya itu yang bisa saya lakukan.
Awal bulan Februari, saya mulai menulis buku tersebut dan buku itu rampung saya kerjakan pada Minggu pertama di bulan Maret 2010. Secara kronologis, saya menulis buku itu selama sebulan lebih satu minggu. Tapi, pertengahan proses menulis buku tersebut, sempat saya tinggal pergi ke Belitung selama seminggu (ikut raker kantor). Pulang dari Belitung, saya sempat tidak bisa melanjutkan menulis buku tersebut. Saya kehilangan semangat. Dari situ, saya sadar jika menulis itu butuh "konsistensi". Satu hari harus menulis walaupun cuma satu lembar, dan itu harus dikerjakan secara kontinue. Sekali meninggalkan "kebiasaan" itu, bisa-bisa akan tidak semangat lagi.
Kira-kira 3-4 hari saya vakum. Baru pada hari setelah itu, saya bisa menulis lagi. Tetapi, cobaan selalu datang kapan pun. Saat buku itu hampir selesai, kurang lebih tinggal 15 persen lagi, tiba-tiba istri saya sakit. Asma. Ia kena imbas saya yang menulis sambil merokok. Dan ironisnya, saat ia sakit tepat pada akhirnya bulan Februari. Saya melihat isi dompet. Hanya ada uang sekitar 30 ribu. Tidak mungkin saya membawa istriku ke dokter dengan membawa uang cuma 30 ribu! Saya pun tidak saja tak mampu membawa istri saya ke ke dokter, tetapi juga tidak bisa menulis lagi.
Saat itu, saya sempat berpikir. Jika saya menulis dan menghasilkan buku tetapi istri saya jatuh sakit dan kian parah, rasanya perjuangan saya menulis sia-sia. Saya yang sedari awal ingin menulis agar ia bahagia, dan saya merasa bermanfaat bagi dia, justru saat itu terbalik. Ulah saya menulis sambil merokok bisa membunuhnya. Karena itu, saya pun berhenti menulis, dan bahkan berniat tak melanjutkan penulisan buku Tidur Berbantal Koran. Biarlah buku itu tidak jadi, asal istri saya sehat, saya sudah merasa bahagia.
Rupanya, Tuhan berkehendak lain. Saat saya iseng-iseng ngecek jumlah saldo di rekening lewat sms, rupanya ada "honor" cerpen saya yang masuk. Saya segera membawa istri saya berobat. Dua atau tiga hari kemudian, dia sembuh. Setelah sembuh, saya seperti mendapatkan kekuatan baru untuk melanjutkan menulis buku Tidur Berbantal Koran setelah berhenti sekitar 3 hari. Buku itu, akhirnya rampung. Pihak penerbit setelah saya kontak, ternyata masih menunggu buku tersebut. Setelah saya edit, kemudian saya kirim ke penerbit.
Tapi jalan yang harus saya lalui untuk menerbitkan buku itu tidak lantas berjalan mulus. Setelah saya serahkan naskah tersebut, penerbit justru meminta saya menulis novel. Naskah buku itu memang sudah di-acc, dan bahkan saya sudah dikasih uang muka. Sayangnya, penerbit mau menerbitkan setelah saya menulis novel dan novel saya itu akan diterbitkan lebih dulu sementara naskah buku Tidur Berbantal Koran akan diterbitkan kemudian. Penerbit memberikan "janji" akan menerbitkan 1,5 tahun kemudian, setelah saya menyerahkan naskah novel.
Tetapi, dalam rentang waktu proses menunggu terbitnya Tidur Berbantal Koran itu membuat saya tidak semangat menulis, termasuk menulis novel yang dipesan itu. Bahkan hingga 1,5 tahun berlalu, saya tidak berhasil menulis novel yang dipesan itu. Dan tragisnya, buku Tidur Berbantal Koran tidak jadi diterbitkan setelah penerbit melihat nilai market dari buku tersebut. Di tengah kebingungan --setelah naskah Tidur Berbantal Koran tidak jadi terbit-, saya pun mencari-cari peluang di penerbit lain. Di luar dugaan, saat saya buka facebook, ternyata ada salah satu teman di faceboook saya menulis status: "ada sebuah penerbit besar yang butuh naskah True Story. Jika berminat silahkan inbox saya!"
Saya pun menulis inbox, dan dikasih tahu jika penerbit itu adalah Elex Media dan saya dikasih alamat email editornya di Elex Media yang menangani naskah true story. Tepat tanggal 18 Juni, naskah "TIDUR BERBATAL KORAN" itu saya kirim ke editor Elex Media, dan dua hari kemudian, 20 Juni 2011, editor tersebut membalas email saya, dan meminta saya sabar menunggu hasil seleksi. Tepat 19 Agustus 2011, editor memberikan jawaban: NAKSAH BISA DITERBITKAN tetapi tahun depan 2012. Saya merasa dapat angin surga. Hitungan saya, naskah itu akan terbit pertengahan tahun 2012; sekitar bulan Juni atau Juli 2012.
Tetapi setelah saya tunggu-tunggu, ternyata tidak ada kabar lagi. Padahal, tahun sudah berganti bahkan sudah memasuki bulan Mei 2012. Buku saya seharusnya sudah ada kabar akan terbit. Kenapa tak ada kabar? Saya pun menulis email ke editor yang bersangkutan tetapi jawaban itu bahkan tidak pernah saya dapatkan. Dan ironisnya, jawaban itu saya dapatkan justru dari orang lain. Saat itu, saya benar-benar terperanjat kaget, tepat pada pertengahan bulan Juni 2012, saya membaca status seorang teman di facebook yang menulis berita bela sungkawa. Dan orang yang ditulis meninggal itu, tidak salah lagi adalah editor penerbit Elex Media yang saya titipi naskah buku Tidur Berbantal Koran.
Saya benar-benar merasa kehilangan, dan sedih --meski pun saya belum pernah sekali pun bertemu dan berbicara melalui telepon dengan editor tersebut. Saya pun teringat, lalu bagaimana dengan naskah saya? Tak mungkin, saya menanyakan nasib buku saya hari itu juga ke penerbit Elex Media. Saya harus menunggu waktu. Akhirnya, tanggal 21 Juni 2012, saya pun menelepon Elex Media, dan disambungkan ke atasan editor yang pernah saya titipi naskah. Sungguh di luar dugaan saya, atasan itu sama sekali tidak tahu menahu naskah saya. Tapi, dengan baik hati, atasan editor itu memberi saya kesempatan untuk mengirim ulang naskah saya. Jadi, kalau dihitung-hitung, saya seperti mengajukan naskah dari awal lagi, dan harus antre.
Dua bulan tak ada jawaban. Saya pun merasa naskah itu tak akan diterbitkan Elex Media. Di tengah ketidakjelasan itu, saya pun berpikir pendek: saya ingin menerbitkan naskah itu sendiri. Tetapi, uang yang saya kumpulkan untuk menerbitkan buku tersebut, selalu saja masuk alokasi kebutuhan lain. Saya pun menceritakan perihal naskah itu kepada seorang teman yang punya percetakan, dan dia siap membantu. Bahkan, dia siap menerbitkan dan saya bisa membayar jika saya punya uang. Saya senang dan bahagia. Tapi, janji itu sekadar janji. Tak pernah dia memberikan jawaban lagi.
Saya pun pasrah dan berusaha melupakan naskah itu. Saya berusaha melupakan hingga selupa-lupanya! Tetapi di saat saya sedang melupakan naskah itu tiba-tiba ada email dari editor pengganti (dari editor yang saya titipi naskah). Email itu bahkan mengabarkan jika naskah buku Tidur Berbantal Koran sudah diedit dan saya diminta untuk mengoreksi. Meskipun sudah ada jawaban seperti itu, saya masih tidak sepenuhnya yakin naskah saya itu akan terbit. Saya mengoreksi, dan kembali melupakannya... Jika sudah jodoh, memang tak akan lari ke mana. Dan, naskah buku itu, akhirnya terbit tiga bulan kemudian --sejak saya mendapatkan email diminta untuk mengoreksi naskah Tidur Berbantal Koran.
Kini setelah melalui proses yang agak panjang, akhirnya buku Tidur Berbantal Koran itu terbit, 27 Februari 2013. Saya menulis buku itu tepatnya selama 3 Minggu (karena saya tak menulis saat pergi ke Belitung, berhenti setelah itu, serta sempat mandek ketika istri saya sakit), tapi saya harus menunggu selama tiga tahun untuk terbit. Lantas, bagaimanakah perasaan saya ketika buku itu terbit? Campur aduk. Seperti menunggu kelahiran anak yang lama tidak lahir, akhirnya lahir. Seperti menunggu kekasih yang akan datang di stasiun setelah ditunggu cukup lama. Setengah terharu dan tidak percaya...
Ironisnya, meski di halaman belakang cover depan buku saya mempersembahkan buku ini buat ibu saya, tetapi sampai saat ini, ibu saya tidak tahu tentang terbitnya buku ini. Ibu saya --sebagaimana saya tulis di halaman persembahan-- adalah "sosok tangguh yang tak perlu membaca buku ini --karena kisah ini adalah setitik dari genangan doa dan jerih payah beliau." Kenapa tidak perlu membaca? Karena ibu saya sudah lama sakit mata, dan hampir tak bisa membaca. Jadi saya yang seharusnya membacakan buku ini untuk beliau.
Saya masih ingat, setelah satu tahun saya belajar menulis dan "tidak ada" satu pun tulisan saya yang dimuat di koran, saya sempat "hampir" putus asa. Saya pulang ke kampung, dan memutuskan tidak akan balik ke Yogyakarta. Saya merasa perjuangan saya berat, dan tak perlu diteruskan. Saya hampir menyerah. Tapi saat di rumah itulah, saya seperti dibukakan mata oleh Tuhan untuk melihat perjuangan ibu saya. Pada sepertiga malam, ketika saya tidur dengan nyenyak, tiba-tiba saya seperti "mendengar" suara yang lembut dan halus menusuk ke telinga. Setengah sadar, saya seperti mendengar suara ibu saya. Saya membuka mata dan menoleh; mendapati ibu saya masih memakai mukena (usai shalat) tepat di kamar tempat saya tidur. Waktu itu, lamat-lamat, saya mendengar ibu saya berdoa untuk saya. Saya tak cukup jelas mendengar doa yang dipanjatkan ibu saya, tapi saya mendengar nama saya disebut, dan beliau meminta Tuhan untuk memberikan jalan lempang bagi masa depan saya.
Saat itu, saya menitikkan air mata. Saya yang merasa berjuang mati-matian, ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan ibu saya. Saat itu juga, saya memutuskan untuk balik ke Yogyakarta lagi, dan setiap saya ingat doa ibu saya itu saya seperti mendapatkan kekuatan baru. Maka buku ini, saya persembahkan kepada ibu saya. Sementara itu, untuk novel yang akan saya tulis ke depan, saya persembahkan kepada istri saya! Karena di buku ini, memang tidak ada kisah tentang istri saya, dan sepenuhnya adalah perjuangan tanpa lelah dari ibu saya.
Kini, setelah buku ini terbit, saya berharap pembaca bisa mengambil pelajaran. Saya hanya ingin berbagi, sebab tidak sedikit orang yang mengalami nasib seperti saya, harus berjuang untuk bisa kuliah. Itulah "harapan" saya kepada pembaca buku ini. Maklum, dari dulu, saya sering mendapatkan email yang mengisahkan kehidupan mereka tidak jauh dengan kehidupan saya, dan mereka ingin menulis. Karena itu, jika besok ada orang yang mengalami nasib seperti saya, dan dia ingin belajar menulis, saya hanya tinggal meminta dia membaca buku "Tidur Berbantal Koran". Jadi, buku ini adalah jawaban dari banyak orang yang bertanya kepada saya, dan ingin belajar menulis.
Setelah menerbitkan buku ini, penerbit yang dulu pernah meminta saya untuk menulis buku Tidur Berbantal Koran ini dan batal menerbitkannya, kembali menangih saya untuk menulis novel. Memang, saat ini saya sedang mengumpulkan data bahkan dalam waktu dekat ini akan melakukan riset ke Kalimantan untuk menulis novel berlatar belakang konflik Sambas 1999. Tetapi, ketika penerbit yang dulu meminta naskah ini kembali meminta saya mengajukan naskah novel berlatar belakang Sambas itu, saya hanya menjawab pendek... "Tugas saya --sebagai penulis-- hanyalah menulis, dan berusaha. Setelah itu, saya serahkan takdir: ke mana jodoh naskah itu akan terbit."
Jadi, itulah sekilas "perjalanan panjang" kelahiran buku Tidur Berbantal Koran ini. Semoga bermanfaat, dan memberikan inspirasi!
Condet, 1 Maret 2013
3 komentar:
:'( jadi sedih... sekaligus salut, memang benar dikala kita tidak lagi menginginkan apa yang dulu sangat-sangat inginkan, ternyata dia datang dengan tiba-tiba. Allah itu benar-benar available. #seperti status bbm#
sungguh mengharukan, tapi sangat inspiratif. Ceritanya mendayu-dayu, tp kesannya sangat menukik tajam ke jantung perasaan...
sungguh mengharukan, tapi sangat inspiratif. Ceritanya mendayu-dayu, tp kesannya sangat menukik tajam ke jantung perasaan...
Posting Komentar