Lahir sebagai anak dari keluarga pedagang (kaki lima), buku merupakan barang langka yang nyaris tak mendapatkan tempat istimewa di rumah kami. Hampir setiap sudut rumah kami, sejauh mata memandang, dipenuhi tumpukan barang dagangan; baju, seragam sekolah, dan kaos.
Tidak ada rak buku. Tak ada tumpukan buku. Tidak ada koran harian yang diantar tukang loper koran ke rumah kami. Tetapi, kontras dengan pemandangan itu, di salah satu sudut rumah kami, ironisnya ada setumpuk koran bekas. Setumpuk koran itulah yang membuat kami --kakakku, aku dan adikku-- memiliki hiburan. Tak jarang, setelah ayah membeli berkilo-kilo koran bekas, kami rebutan menggunting koran bekas tersebut untuk kami jadikan sebagai kliping.
Setumpuk koran bekas itu, memang dibeli oleh ayah untuk membungkus barang dagangan. Tetapi kami memanfaatkannya dengan cara lain. Meski hanya setumpuk koran bekas, tetap tidak menghalangi kami untuk membacanya. Praktis, dari setumpuk koran bekas itulah, kami bisa mengintip bahkan mengenal dunia. Karena untuk menunjang sekolah -terus terang-, kami hanya dibekali ayah dengan dua sampai tiga buku pelajaran. Buku-buku pelajaran itu pun nyaris tidak pernah kami keluarkan bahkan selalu tersimpan rapi di dalam tas (kami).
Keadaan menyedihkan itu, ironisnya berlangsung hingga aku lulus SMA. Tidak betah tinggal di rumah --setelah lulus SMA-- akhirnya aku melanglang buana ke Yogyakarta. Tidak ada niat untuk kuliah, kecuali hanya sekedar lari dari rumah untuk mencari pekerjaan. Tetapi kota Yogja ternyata mampu menghipnotis-ku. Tanpa pikir panjang lagi, aku memutuskan untuk kuliah setelah eksotisme kota Gudeg tersebut membuatku betah. Tak pernah kusangka, keputusan itu kemudian menjerumuskanku bisa mencintai buku (padahal aku lahir dari keluarga yang nyaris tak mengajarkan kami semua untuk dekat atau mencintai buku), bahkan mengantarkanku untuk menjadi penulis.
Akhirnya, Jadi Peresensi
Perkenalanku dengan buku, diawali dengan serentetan kisah-kisah unik. Bermula dari cerita menakutkan sejak pertama aku tinggal di rumah tua yang aku kontrak bersama teman-teman di daaerah Krapyak, Yogyakarta. Setelah kami membayar uang kontrakan, ternyata kami mendapat kabar jika rumah itu tergolong angker. Aku yang memiliki jiwa usil, seketika itu dibuat penasaran; ada apa dengan rumah itu? Maka, tepat hari pertama aku tinggal, aku langsung menelisik semua bagian rumah tersebut dan saat aku temukan sebuah bangunan kamar di belakang rumah, aku pun ditikam penasaran. Aku pun mengintip ke dalam kamar itu lewat lubang kunci.
Tak kuduga sebelumnya, ternyata di dalam kamar itu tersimpan bertumpuk-tumpuk buku. Tidak sabar lagi, aku pun mencongkel kunci kamar tersebut. Setelah berhasil membuka pintunya, aku lalu menghampur ke dalam dan langsung meraih sebuah buku yang tergeletak sia-sia di lantai. Tak pernah kubayangkan jika buku yang kuraih itu adalah novel Bukan Pasar Malam, karya Pramodya Ananta Toer. Pantas, aku yang waktu itu belum pernah membaca buku --maksudku; selain buku pelajaran sekolah-- langsung terpana sejak membaca halaman pertama. Terus terang, novel itu pula yang telah membuka mataku untuk mengenal sastra.
Kenapa aku bisa terjerat dan tertarik dengan buku-buku sastra --terutama novel-- daripada buku-buku bertema lain? Pertama, buku sastra, terlebih novel tatkala dibaca melibatkan emosi atau perasaan pembaca. Tak mustahil, jika buku sastra (baca: novel) bisa mengaduk perasaan pembaca dan bahkan bisa membuatnya menitikkan air mata, karena hanyut kisah tragis yang dirangkai oleh sang pengarang. Karena itu, tak jarang ada cerita dari seorang pembaca berubah setelah membaca novel lantaran dia mendapatkan spirit yang dibangun dari konflik yang diracik oleh sang pengarang. Juga berkat selarik pesan yang dihembuskan sebuah novel.
Dari konteks inilah, wajar kalau tidak sedikit para pembaca novel seperti Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi merasa tercerahkan. Kendati demikian, tak sedikit juga novel yang mencemaskan, membahayakan dan mencelakakan --sampai-sampai dilarang terbit, disweeping bahkan dibakar.
Kedua, buku-buku sastra khususnya novel ditulis sang pengarang dengan kekuatan imajinasi. Sementara imajinasi itu, bisa melambungkan seseorang meraih cita-cita, mewujudkan impian pembaca yang nyaris tidak mungkin terwujudkan. Tak salah, jika Albert Einstein pernah berkata, "Imajinasi itu lebih penting daripada pengetahuan." Apa yang dikatakan Eintein itu, memang tidak salah. Dari sebuah imajinasi, novel lahir. Dari sebuah imajinasi, sebuah teori kemudian bergulir. Dari sebuah imajinasi, apa pun yang kita inginkan bisa menjadi kenyataan.
Sejak perjumpanku dengan novel karya sastrawan kelahiran Blora itu, aku diam-diam sering kali bersembunyi di kamar belakang itu melahap hampir semua buku yang ada. Setelah buku-buku di kamar itu habis kubaca, aku pun kehabisan bacaan. Tidak ada lagi buku yang aku baca, menjadikanku disergap bingung. Wajar, ketika esok harinya aku kuliah, dan tidak sengaja bertemu Arief Syarwani --temanku sekampus-- yang kebetulan menenteng novel Satu Hari di Yogya karya N. Marewo, mataku seperti berbinar. Aku pun langsung meminjamnya.
"Jika ini bukuku, pasti aku tidak keberatan meminjamkannya padamu. Tetapi, buku ini juga aku pinjam dari seorang teman dan aku telah berjanji untuk meresensinya di media massa."
Aku yang waktu itu masih awam dengan dunia tulis-menulis, jelas tak paham apa itu resensi buku. Maka aku dengan lugunya segera mencercanya dengan setumpuk pertanyaan untuk menjelaskan apa itu resensi buku, bagaimana cara membuat resensi buku dan kemudian mengirimkannya ke media massa. Di hadapan temanku itu, aku seperti orang dungu. Orang dari kampung yang tidak tahu peta buku dan seluk-beluk menulis. Untung, dia mau menjelaskan dengan gamblang dan tidak segan-segan memberikan saran jika aku berminat mau menulis resensi buku dan mengirim ke media massa.
Rasa penasaran ingin mencoba, membuatku kehilangan harga diri. Maka, dengan "memaksa" aku minta dia tidak keberatan merelakan buku itu aku bawa pulang, "Bagaimana kalau aku yang meresensi buku itu lebih dulu. Aku berjanji, dua hari lagi buku itu aku kembalikan..."
Seperti kejatuhan durian, aku hanya terpana saat dia mengulurkan novel itu untuk aku bawa pulang. Maka semalam suntuk, aku melahap buku itu. Esoknya, aku pun resensinya. Sebagaimana saran yang ia berikan, aku lalu mengirim resensi itu ke harian Kedaulatan Rakyat. Dua minggu kemudian, keberuntungan itu tiba; resensiku dimuat. Seketika itu, aku bangga. Karena, sebelumnya aku telah berkali-kali menulis cerpen. Tragisnya, tak ada satu pun yang dimuat. Jadi, tulisan resensi itu adalah tulisan pertamaku yang dimuat di media massa.
Rupanya, tulisan pertama-ku itu merupakan jalan lempang bagiku untuk menjadi peresensi. Setelah itu, resensiku sering dimuat di media massa. Akhirnya, setelah bertahun-tahun aku menulis resensi buku, aku pun mendapatkan keuntungan. Setidaknya, ada tiga keuntungan yang didapat dari meresensi buku. Pertama, mendapatkan honor dari media massa bersangkutan. Kedua, mendapatkan buku (kiriman gratis) dari penerbit, dan tidak jarang masih ditambahi dengan bonus berupa uang sebagai tanda terima kasih. Ketiga, dengan menulis resensi, pembaca bisa belajar tak sekadar jadi pembaca pasif, melainkan bisa mengungkapkan apa yang telah dibaca, mengkritisi, dan bahkan membantah buku tersebut.
Tidur Berbantal Buku
Seiring dengan perjalanan waktu, setelah aku menulis sejumlah resensi buku, terus terang, berkah paling menyenangkan adalah datangnya buku-buku baru yang dialamatkan ke tempat tinggalku. Wajar, ketika aku masih tinggal di Yogja, kamar kost-ku sudah dipenuhi dengan buku-buku kiriman dari penerbit. Ada beberapa buku yang dikirim sebagai hadiah setelah aku meresensi buku. Ada juga beberapa buku yang aku dapatkan dari penerbit, tetapi tidak sebagai bonus resensi melainkan lebih pada jalinan kerjasama timbal-balik. Artinya, aku dikirimi buku itu dengan catatan nanti diminta untuk mempublikasikan ke media dalam bentuk resensi buku. Di samping itu, ada juga buku-buku yang aku dapatkan dari beberapa teman yang kebetulan jadi penulis, atau bekerja di salah satu penerbit sebagai editor.
Dengan datangnya buku-buku gratis kiriman dari penerbit itu, tak mustahil kamarku banjir buku. Jika dahulu rumahku dipenuhi dengan barang dagangan, dan sepanjang mata memandang nyaris dipenuhi baju, seragam sekolah, kaos dan sejumlah pakaian, pemandangan itu telah berubah seratus delapan puluh derajat dan nyaris bertolak belakang. Sejak masih tinggal di kota Gudeg, hampir di setiap sudut kamarku nyaris dipenuhi dengan buku. Maklum, selain sering mendapatkan buku kiriman gratis dari penerbit, tak jarang aku membeli beberapa buku setelah mendapat honor dari menulis.
Dengan bertumpuknya buku di kamarku, aku pernah memiliki kebiasaan unik. Hal itu bermula saat aku masih tinggal di Yogja dan bisa disebut keranjingan menulis resensi buku. Tuntutan untuk membaca serius sebelum meresensi buku, membuatku kerapkali harus tidur sampai larut malam. Tetapi ketika mataku sudah disergap rasa kantuk, tiba-tiba setumpuk buku yang ada di sampingku kemudian tak sengaja kujadikan sebagai bantal. Setelah bangun, aku baru tersadar kalau semalaman aku tidur berbantalkan setumpuk buku.
Meski setelah bangun dari tidur leherku seperti terkilir, anehnya kebiasaan itu tak dapat aku hilangkan. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu dan aku sudah pindah ke Jakarta, memiliki pekerjaan tetap, bahkan sudah bisa membeli bantal, uniknya kebiasaan itu masih kerap terjadi.
Apakah yang aku lakukan itu dapat dikatakan sebagai penghinaan terhadap buku lantaran aku menjadikannya sebagai bantal untuk tidurku?
Sampai sekarang, aku tak pernah tahu; apa kebiasaanku itu buruk atau justru tergolong kurang ajar. Untuk itu, aku senang jika ada pembaca blog ini yang bisa membantuku untuk memberi jawaban yang melegakan! ***
(Ciputat, 26 Juni 2008)
1 komentar:
ketika ada sebagaian manusia berbantalkan kapuk yang empuk, mungkin kita sudah membayangkan enak tidur, tanpa adanya aktifitas berpikir otak.
dan hari ini aku melihat sesuatu yang unik.ada orang tidur berlandasan buku,
artinya kepala yang beroreantasi ke ilmuan, kepala yang berlandasan sesuatu yang keras idealisme, kepala yang berlandasan optimisme, bukan kapuk yang lembek, kepala yang berlandaskan istiqomah pada tujuan akhir.
hari ini, aku tahu bukan hanya sekkedar dibaca tapi dibuat untuk bantal. secara efektif untuk mengambilnya untk dibaca.yang penting hindari mengeluarkan ludah diatas buku. Berarti pelecehan.
Posting Komentar