Minggu, 12 Oktober 2008

Catatan Harian Seorang Istri

cerita pendek ini dimuat di majalah Anggun, edisi 3 bulan Oktober 08

SENIN pagi, 9 Juni 2008
Pagi masih buta. Sisa embun terasa menempel di kaca jendela, menyisakan gigil dingin di tulangku ketika aku terbangun dari tidur yang lelap. Detak jarum jam di dinding berdetak kencang, seperti sesosok patung kecil yang sedang bernafas.



Adzan subuh belum menggema. Pagi masih cukup panjang. Tapi dingin pagi itu tak menghalangiku untuk bangun. Kusibak selimut. Aku lirik suamiku, ia meringkuk serupa ular. Ia tertidur lelap, terlihat sangat lelah. Maka, di pagi itu, aku tak membangunkannya untuk shalat malam. Aku kasihan! Aku tahu, ia sering lebur, pulang tengah malam.

Aku bangkit dari ranjang, melangkah ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dingin air pagi, sempat membuatku nyaris beringsut ke kamar tidur dan kembali menarik selimut. Tapi pesan ibu, seakan mencegahku tidur kembali ketika pagi sudah menjelang dan waktu telah memasuki sepertiga malam.

“Malam seperti itu adalah malam yang setiap do`a seorang dipanjatkan, selalu dikabulkan!” pesan ibu serasa terngiang di telingaku. “Maka ketika kau berhajat sesuatu, bangunlah pada sepertiga malam, lalu kamu berdoa dengan hati yang khusuk”.

Aku keluar dari kamar mandi. Tanganku setengah basah. Remang rembulan di langit, membias di kaca jendela meninggalkan nuansa pagi mirip warna almunium. Aku meraih sajadah, dan kembali teringat pertanyaan ibu beberapa bulan lalu, “Kapan kau punya anak? Ibu sudah tak sabar lagi ingin menimangnya!”

“Ah, ibu…. Kenapa tidak bertanya yang lain?” jawabku, mengalihkan perhatian.

Hatiku sebenarnya terluka dengan pertanyaan ibu. Tiga tahun sudah aku nikah dengan Mas Sobrur, tetapi Tuhan belum menganugerahi kami momongan.

“Maka, bangunlah pada sepertiga malam. Berdo`alah pada Tuhan!” balas ibu.

Ucapan ibu seperti merasuk sanubariku. Aku getaran. Kini, aku sudah bangun di ujung pagi dari sepertiga malam. Kuambil mukena dan tanganku gemetaran, sebelum kuangkat kedua tanganku untuk shalat. Pagi pekat dalam hening saat kuucapkan takbir lalu mendekapkan kedua tanganku di dada. Pagi hening. Aku shalat delapan raka`at dan menutup dengan witir. Sebelum adzan subuh menggema, aku berdo`a.

Pagi mendekapku. Tak lama kemudian, adzan menggema. Aku bangunkan dia untuk shalat subuh berjamaah. Setelah itu, ia tidur lagi. Aku melakukan tugas di dapur. Ah, jadi perempuan kadang terasa berat!

Ketika sinar mentari menerabas masuk ke kamar, melalui celah jendela, suamiku bangun. Ia mandi lalu kami berdua sarapan dan berangkat kerja. Meski kami berangkat bareng bahkan ia mengantarku lebih dulu, tapi kami pulang tak bersamaan. Sebelum adzan maghrib, aku sudah di rumah. Sementara suamiku, kerap pulang tengah malam.

Selasa, 10 Juni 2008
Semalam, suamiku kembali pulang malam. Aku masih sempat mendengar suara langkahnya saat ia masuk rumah lalu melepas sepatu dengan letih sebelum ia beranjak tidur di sampingku. “Tidak mandi dulu, Mas? Aku bisa jerangkan air panas!”

“Tidak usah!” jawabnya malas.

Aku ingin bertanya lagi, tapi ia sudah jatuh tertidur. Aku menarik selimut, tepat ia mulai mendengkur. Dan aku tak lagi mendengar dengkurnya, saat aku jatuh tidur.

Rabu, 11 Juni 2008
Aku bangun ketika pagi masih menyisakan sisa embun di kaca jendela. Tak tega membangunkan suamiku, maka di ujung pagi itu aku shalat tahajud sendiri. Saat adzan subuh menggema, aku bangunkan suamiku. Pagi itu, aku menjalani hari seperti kemarin.

Ah…, jadi perempuan memang tidak gampang!

Kamis, 12 Juni 2008
Hari Rabu itu, kembali suamiku pulang tengah malam. Aku sempat mendengar desahnya waktu ia masuk ke kamar tidur, “Masih lembur, mas? Kenapa tidak dibawa ke rumah, biar aku bisa membantu…” sambutku, membuatnya sempat kaget.

“Tak etis membawa pekerjaan kantor ke rumah,” jawabnya, seraya merebahkan tubuh di sampingku. Tak lama kemudian, ia sudah mendengkur. Rasa lelah benar-benar menggurat di wajahnya. Aku kasihan! Ia bekerja, seakan-akan besuk tidak ada waktu lagi. Dan pagi itu, aku kembali bangun shalat tahajud, berdoa minta keturunan, seakan-akan besuk tidak ada hari lagi untuk berdoa…
***

Tidak seperti biasanya, hari itu suamiku pulang lebih awal. Sebelum maghrib, dia sudah tiba di rumah. Lantas, ia mengajakku makan di luar. Malam itu, kami seperti baru melangsungkan pernikahan seminggu yang lalu.

Jum`at, 13 Juni 2008
Jum`at pagi itu, kami bangun kemudian menunaikan shalat tajahud berjama`ah. Kami berdua berdoa dengan khusuk. Tapi di pagi yang menggigilkan itu, aku tidak tahu; doa apa yang dipanjatkan suamiku. Dia berdoa dalam diam.
***

JUM`AT itu, suamiku pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Bahkan, saat aku tiba di rumah, ia sudah duduk di depan TV. Mungkin, ia merasa kasihan padaku! Malam itu, dia mengajakku makan di luar lagi. Bahkan sebelum pulang, ia sempat mengajakku mampir ke butik. Ia membuatku bahagia, ia membelikanku dua potong baju.

Malam itu, aku merasakan kebahagiaan yang cukup membahagiakan tak beda seperti awal kami menikah. Dan kebahagiaan malam itu mampu mengobati kerinduan kami yang jarang ketemu. Kesibukan suamiku, tak jarang membuatku ditikam sepi. Dan malam itu, adalah malam yang terasa lain. Aku tidur seperti bermimpi…

Sabtu, 14 Juni 2008
Pagi itu, sungguh dingin, tak seperti biasa. Aku merasa seperti ada sosok malaikat yang turun dari langit, mengabarkan berita gembira di ujung pagi. Tubuhku merasakan dingin. Karpet di lantai yang biasanya merambatkan hawa panas, tiba-tiba terasa lain.

Aku terbangun, ketika adzan subuh menggema. Pagi itu aku terlelap dalam tidur dan tidak sempat bangun menunaikan shalat tahajud. Kulihat suamiku meringkuk, mirip ular yang melingkar di sampingku. Hanya dengkurnya yang terdengar, menandakan ia masih hidup. Aku bangunkan suamiku. Ia lalu menggeliat, mengucek-ngucek matanya sebelum bisa melihat sekeliling dengan jelas. “Ada apa?” tanyanya, heran.

“Sudah subuh, Mas! Aku tidak sempat bangun untuk shalat tahajud, kenapa mas tidak membangunkanku?”

Ia memandangku penuh selidik, seraya memicingkan telinga seakan-akan tidak percaya; adzan subuh sudah berkumandang. Ia mungkin merasa bersalah, lalu bangun dan melangkah ke kamar mandi. Aku dengar air mengucur. Seiring dengan kucuran air di kamar mandi, tangisku pecah. Tidak tahu kenapa, aku tiba-tiba menangis di pagi itu. Aku hanya tahu, di pagi itu aku benar-benar seorang perempuan!
***

Siang itu, kami duduk di depan TV. Kami berdua, tak ingin keluar rumah meskipun hari itu libur. Tiba-tiba, terdengar pintu rumah kami diketuk. Suamiku bangkit, membuka pintu. Tidak lama kemudian, dia kembali dengan menenteng sebuah bungkusan.

“Ada paket dari ibumu!” ucap suamiku, sebelum dia merebahkan tubuh di sofa.

“Apa kira-kira isinya, Mas!”

“Bukalah! Jangan memintaku menebak sesuatu yang tidak kulihat…!”

Kubuka bungkusan itu. Betapa senangnya hatiku saat kulihat bungkusan itu berisi beberapa pakaian wanita hamil. Suamiku sempat melirik, tetapi kemudian membuang muka seakan barang itu adalah ular.

Minggu, 15 Juni 2008
Hari itu, kulihat suamiku bertingkah aneh. Ia diam, tidak banyak bicara. Seharian ia di depan TV. Tapi sore itu kupaksa ia mengantarku ke dokter karena semalam perutku terasa mual. Dalam perjalanan, dia diam. Tatkala aku mengajaknya bicara, dia hanya menjawab dengan senyuman. Aku tak dapat menangkap apa yang ada dalam pikiran suamiku. Ia masih diam saat kami di dalam taksi, seakan aku ini tidak ada di sebelahnya. Dia juga masih diam, ketika kami sampai di tempat praktik dokter langgananku, bahkan tatkala kami mendapat giliran masuk ke ruang dokter.

Tapi kulihat wajahnya berubah merah, kaget ketika dokter menyalami suamiku, “Selamat, Anda akan menjadi seorang ayah!”

Sore itu, kami pulang dengan perasaan yang berbeda. Sepanjang perjalanan, hatiku berbunga-bunga seperti seorang petani yang mendapat anugerah hujan. Tetapi, lagi-lagi ia tak menunjukkan muka senang. Ia diam. Aku mengajaknya bicara, dia tidak menjawab. Aku tak bisa menangkap, apa yang ada dalam pikirannya. Ia diam, seakan-akan aku ini tidak ada di sebelahnya.

Setiba di rumah, ia masih diam, tak banyak bicara. Aku benar-benar tidak kenal suamiku. Ia lebih banyak duduk di depan TV; seakan-akan aku di matanya terlihat jauh. Juga, mungkin tidak ada.

Akhirnya kuputuskan ke kamar untuk beranjak tidur. Setengah jam kemudian, dia menyusul. Aku mengajaknya bicara, “Apa ada yang salah, Mas? Kenapa Mas… kulihat seperti tak senang dengan kehadiran buah hati kita?”

“Tak ada yang salah… Tidurlah, hari sudah malam!”

“Tapi, kenapa mas diam sepanjang hari? Aku bingung, Mas…”

“Sudahlah, hari sudah malam…!” ucapnya pelan, kembali membuatku tambah bingung.

“Aku tak akan tidur sebelum mas bicara jujur,” rajukku, seraya menangis.

"Hhhmm…, aku cuma heran. Sehabis shalat tahajud, aku selalu berdoa agar kita jangan dikaruniai momongan dahulu sebelum gajiku naik. Kamu semestinya tahu, aku ini siapa? Aku cuma seorang pesuruh! Jadi, aku belum siap …“

“Apa…? Kenapa Mas tega berdoa seperti itu?”

“Sudahlah..., rupanya Allah lebih mengabulkan do`amu!” ucapnya pelan --nyaris tak kudengar.

Lalu, dia membalikkan badan, memunggungiku. Juga, diam dan tak bicara lagi.

Aku benar-benar sakit hati.

Dan malam itu, aku menangis sampai terlelap tidur. ***

Ciputat, 10 Agustus 2008

6 komentar:

katanada mengatakan...

mas mursidi, cerita yang anda buat begitu dahsyatnya, saya terus terang merasa tersindir nih, apakah kita pernah ketemu ya?

penulis mengatakan...

wah, aku jadi tersanjung. padahal, menurutku, cerita ini kurang hidup. aku buat, karena desakan deadline, sehingga ending-nya terkesan aku paksakan.

ok, terima kasih anda sudah mengunjungi blog saya. mungkin, kita pernah bertemu.... toh, tak ada salahnya kita bersilaturahmi meski lewat dunia maya...

Anonim mengatakan...

Rakyat menunggumu menulis "Catatan Harian Seorang Suami"...

penulis mengatakan...

ok, bung penyair

wee mengatakan...

Ceritanya bagus mas... thumbsup

penulis mengatakan...

thanks, tulisan di blog-mu ttg wali nikah lumayan jg tuh... slmt berkarya