cerpen ini dimuat di koran Minggu Pagi [edisi 17 Jan 2010]
/1/
HAMPIR satu tahun, aku menunggu ajalnya tiba. Aku tinggal menunggu purnama, tatkala bulan menyembul dari balik semak-semak di kaki bukit, lalu memancarkan cahaya terang. Saat itulah, aku menyembul dari balik malam; untuk membalas dendam. Aku menyibak keremangan malam yang meruncing, tertatih-tatih menerabas masuk ke rumahnya dengan hanya membawa sebilah belati. Setelah berjalan bersijingkat ke kamarnya lantas kusibak kelambu tipis ranjangnya yang tak berderit, maka aku akan menemui lelaki itu tengah tertidur pulas. Dengan cepat, aku akan menikam ulu hatinya.
Darah segar membuncah mengotori sebagian tanganku. Aku lihat lelaki itu mengejang-ngejang kesakitan dan meronta-ronta lantaran ditikam pedih kematian, sebelum ia tidak bergerak, beku, dan kaku. Sudah lama kunanti kematian mantan suamiku untuk mengobati penderitaanku, setelah dia pergi meninggalkanku kembali ke pangkuan istrinya.
Kucabut belati dari tubuh mantan suamiku, lalu aku berjalan gontai keluar kamar. Di bawah cahaya bulan purnama, aku menarik napas panjang. Dendamku sudah terbalas. Kini, aku tidak perduli lagi apa yang akan terjadi. Aku akan pergi ke kantor polisi atau memilih jalan lain; bunuh diri!
Saat berjalan mencari kantor polisi itu, malam makin gelap. Aku terus berjalan menelusuri jalan dan kakiku seperti hampir patah. Aku masih ingat tatkala aku tiba-tiba terhuyung jatuh, dan kemudian tak sadarkan diri. Langit gelap. Malam masih meruncing.
/2/
PAGI itu, aku bangun. Setengah sadar, aku lihat sosok tiga perawat mengelilingiku. Kakiku diikat, tanganku ditusuk jarum. Meski penglihatanku samar-samar, aku dapat menebak; aku berada di rumah sakit jiwa. Ah..., belum mati juga aku? Lalu, siapa yang membawaku ke rumah sakit? Bukankah semalam aku berjalan mencari kantor polisi terdekat?
Satup-sayup, kudengar suara seorang wanita tengah berbicara dengan seorang dokter. Wanita itu berdiri membelakangiku. Persis disampingnya, kulihat mantan suamiku berdiri. Aku tak tahu apa yang dibicarakan tapi samar-samar, kudengar ia menyebut diriku telah mengganggu rumah tangganya.
Kubuka mataku, kulihat mantan suamiku. Ia tak melihatku, apalagi mendekat ke arahku untuk membelai rambutku, terlebih membantuku keluar dari rumah sakit. Jantungku sesak, hatiku terkoyak. Tapi aku berusaha tersenyum saat orang di sekeliling menatapku.
Tak lama kemudian, perawat membantuku bangkit, karena aku sudah bisa pulang. Aku berusaha berdiri dan berjalan keluar ruangan. Sesampai di luar, kucari mantan suamiku. Aku edarkan mataku, dan kutemukan ia berdiri di tepi jalan tengah menunggu angkot. Aku mendekatinya. Sesampai di tepi jalan, sebuah angkot berhenti. Aku ikut naik bersamanya duduk di pojok. Angkot melaju, aku merasa diterkam dingin ketika angin menerabas masuk melalui jendela.
Aku diam. Mantan suamiku diam, dan istrinya tidak menoleh ke arahku. Angkot terus melaju, sesekali berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Saat angkot itu melintasi kantor polisi aku meminta sopir angkut itu berhenti. Mantan suamiku mencegah, tapi aku menepis cengkraman tangannya seraya mengancam akan berteriak.
Dia diam, dan membiarkanku turun.
Setelah angkot melaju, kumasuki kantor polisi. Aku lihat orang yang berjaga semalam sudah berganti sift tak lagi seorang yang menerimaku. Maka aku bukannya mendapat bantuan malah disambut dengan interograsi. Aku lemas. Setengah jam kemudian aku keluar, memendam kecewa.
Berjalan sempoyongan, aku pergi ke rumah teman mantan suamiku mengharap pertolongan, agar mantan suamiku kembali ke pangkuanku. Di pintu rumahnya, aku berdiri mematung mengetuk pintu. Dia menyambutku dingin. Tak ada senyum. "Aku tak mau tahu lagi urusanmu," sambutnya, seraya menampar mukaku. Aku terhuyung. Kurasakan pedih, lantaran tangannya kokoh laksana palu.
Aku meninggalkan rumahnya dan berjalan tanpa arah. Perutku keroncongan digaruk rasa lapar yang menusuk-nusuk. Di depan sebuah masjid, aku termangu. Gemetaran kumasuki, mengambil air wudhu lalu meraih mukena. Kudirikan shalat taubat dan setelah shalat, aku mengambil kitab suci. Kubaca kencang sambil menangis. Tidak aku pedulikan, orang melihatku. Tak kupedulikan orang menganggapku gila.
"Bila hatimu terluka dan kau tak tahu harus berbuat apa, bersujudlah pada Tuhan...!" ucap seorang ibu setengah baya, mengangetkanku. Ia berada tepat di sebelahku.
"Saya sudah bersujud, tapi kini saya tidak tahu harus pergi ke mana karena saya tak punya bekal apa pun. Juga, uang untuk pulang..." keluhku.
"Ini ada uang, pulanglah...." kata wanita itu, lembut.
Kusambut uang itu, kemudian pamit. Senja hampir gelap tatkala aku keluar dari masjid. Aku naik bus untuk pulang ke kontrakanku. Tubuhku penuh luka meski darah telah mengering. Tapi hatiku masih terbalut kabut duka. Maka setelah di kontrakanku, aku bercermin. Kulihat wajahku lebam. Aku memendam dendam. Hatiku remuk. Kuraba jantungku. Masih berdetak. Aku remas hatiku, aku telusupkan tanganku untuk mengambil sebentuk dendam di ujung hatiku. Kuambil sebongkah dendam itu lantas aku keluarkan.
Tetesan darah mengucur dari gumpalan dendamku, disertai bau anyir. Tak kuat, aku menatap, aku putuskan untuk menanamnya. Aku keluar kamar, mencari pot. Tetapi, sekelebat kulihat bayangan kakek tua duduk termangu di bawah pohon tak jauh dari kamar-ku. Seberkas cahaya muncul dari balik dedaunan, semakin bertambah terang. Aku ingin melihat, lalu bergegas menanam sebongkah dendam itu dalam pot.
"Hai perempuan muda, apa yang kau lakukan dengan segumpal darah itu?"
Tak kudengar langkahnya, tiba-tiba kakek itu sudah berdiri mematung di sampingku.
"Aku hanya ingin menanamnya agar ia kelak tumbuh menjadi sekuntum bunga dendam!" jawabku.
"Aku tak tahu apa yang terjadi denganmu. Tapi, aku melihat kau hidup dalam penderitaan!"
"Saya tak mau tahu bagaimana kakek bisa tahu saya menderita. Tapi bagaimana agar saya tak ditikam penderitaan karena dari penderitaan itu saya harus ditikam dendam?"
"Semua penderitaan itu berasal dari keinginan yang tak kamu miliki. Maka kalau kamu tidak ingin menderita, tidak ada jalan lain kecuali kau harus mengakhiri keinginanmu dengan menunjukkan semua yang kau perlukan untuk hidup dalam kehidupan yang penuh dan bahagia, telah kau miliki."
Aku termangu. Petuah kakek itu, bukan merasuk dalam hatiku, melainkan membuatku bergidik. Aku ingin bertanya tentang penderitaanku, tapi belum sempat terlontar pertanyaan, tiba-tiba kekek itu telah raib. Tak kutemukan jejak kakinya di balik kegelapan.
Aku merinding, lantas bergegas masuk ke kamar. Kukunci pintu rapat-rapat, aku sembunyikan tubuhku di balik selimut. Aku memejamkan mata, dengan memendam dendam.
/3/
HARI berganti. Sebulan setelah peristiwa itu, aku tersentak melongok ke luar jendela, aku lihat setangkai tanaman tumbuh di pot yang dulu pernah kutanami sebongkah dendam. Rupanya, dendam yang aku tanam telah menjelma menjadi tanaman. Entah kenapa, di pagi itu aku merasa dendamku pada mantan suamiku akan terbalaskan. Maka, aku cepat-cepat mengambil air, kusiram tanaman itu sebelum aku berangkat kerja ke rumah majikanku.
Tapi setiap terbersit keinginan untuk membunuh lelaki itu, aku justru dihantui rasa takut dan akhirnya aku ingin bunuh diri. Maka, dalam perjalanan ke rumah majikanku itu, aku membeli pil tujuh tablet dan kutelan seketika. Aku terhuyung di depan pintu rumah majikanku, kakiku gemetaran dan aku berbuat nekat; berhenti kerja lalu pamit pergi.
Aku berjalan tanpa tujuan seperti dihempas angin. Saat melintasi jembatan, aku memutuskan untuk mengakhiri hidup. Di bawahku, genangan air danau seperti meneduhkanku. Lalu aku menceburkan diri ke dalam danau. Badanku melayang, terjun ke dasar air berwarna kuning setelah semalam hujan. Setelah itu, tak lagi kuingat. Semua gelap. Semua hitam.
/4/
AKU merasa ada tangan kekar menggoyang-goyang tubuhku saat kudengar ada sebuah percakapan yang menggangguku. Entah bagaimana nasibku seusai terjatuh di dasar danau, saat aku membuka mata, aku menemukan diriku terbaring di pos satpam. Kulihat mantan suamiku diinterogasi dua satpam. Tak tahu, apa yang ditanyakan padanya, tahu-tahu aku dan mantan suamiku dibawa ke kantor polisi. Tiba di kantor polisi, aku tercekat setelah polisi menvonisku gila. Aku kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa dengan mobil polisi seperti tahanan.
"Siapa yang menjaminnya?"
Aku tak punya KTP dan mantan suamiku lepas tanggung jawab biaya perawatan. Maka aku hanya diberi obat penenang dan diminta pulang. Tak lagi sebagai suami-istri, malam itu kami tidur tanpa bercinta. Pagi harinya, mantan suamiku menghilang. Aku beranjak bangkit melongok ke luar jendela. Betapa terkejutnya aku saat kulihat tanaman yang dulu kutanam itu ditumbuhi bunga berwarna serupa darah, dan mendidihkan jantungku.
Kupandangi sekuntum bunga itu. Kembali, aku ingin membunuh suamiku, tapi aku selalu tidak punya keberanian dan aku kemudian berbuat konyol lagi. Aku keluar kamar, berjalan menyusuri jalan setapak membawa langkah kakiku ke masjid. Aku bersujud, lalu aku sayat nadiku dengan silet. Darah muncrat dari nadiku. Pedih yang mendidih. Aku ambruk, tersungkur di atas karpet.
Aku berharap, saat itu aku mati.
/5/
AKU terbangun pada suatu pagi yang menggelisahkan saat kudengar keributan di sekitar. Aku membuka mata, menemui kenyataan bahwa aku masih hidup. Aku terbaring di ranjang rumah sakit jiwa. Tubuhku lemas, bibirku kering dan perutku lapar. Kutatap langit-langit, terbesit ingatan saat aku memutuskan bunuh diri.
"Semua penderitaan itu berasal dari keinginan yang tak kamu miliki. Maka kalau kamu tidak ingin menderita, tak ada jalan lain, kecuali kamu harus mengakhiri keinginanmu dengan menunjukkan semua yang kamu perlukan untuk hidup --dalam kehidupan yang penuh dan bahagia, telah kau miliki." terngiang suara kekek tua itu dalam genderang telingaku.
Termangu, aku teringat pertemuan itu sewaktu aku menanam sekuntum bunga dendam. Maka saat ayahku datang menjemputku lalu memintaku untuk pulang ke kampung, aku menyempatkan sejenak mampir ke kontrakanku.
Tetapi betapa terkejutnya aku ketika mampir di kontrakan di malam purnama yang sudah satu tahun kutunggu-tunggu dan kulihat setitik cahaya terang menyembul dari balik semak-semak ternyata aku melihat; sekuntum bunga dendamku layu. Warna bunganya yang mekar berwarna merah darah, sempat mendidihkan jantungku kini tidak lagi merona serupa bibir perawan yang dipoles gincu merah marun. Aku lemas. Angin berhempus kencang, setangkai bunga dendam yang menguning itu pun jatuh.
Seberkas cahaya purnama, mulai memudar. Kian redup, dan makin tak jelas terlihat. Semakin menjauh, hingga cahaya itu akhirnya menghilang. Kucari-cari seberkas cahaya purnama itu, dan yang kulihat ternyata langit berubah dilingkupi awan. Tak ada bintang. Tak ada bulan.
Aku tak punya keberanian untuk membunuh, maka pada malam itu aku ingin mengakhiri hidupku lagi...***
Tangerang, April 2008
Darah segar membuncah mengotori sebagian tanganku. Aku lihat lelaki itu mengejang-ngejang kesakitan dan meronta-ronta lantaran ditikam pedih kematian, sebelum ia tidak bergerak, beku, dan kaku. Sudah lama kunanti kematian mantan suamiku untuk mengobati penderitaanku, setelah dia pergi meninggalkanku kembali ke pangkuan istrinya.
Kucabut belati dari tubuh mantan suamiku, lalu aku berjalan gontai keluar kamar. Di bawah cahaya bulan purnama, aku menarik napas panjang. Dendamku sudah terbalas. Kini, aku tidak perduli lagi apa yang akan terjadi. Aku akan pergi ke kantor polisi atau memilih jalan lain; bunuh diri!
Saat berjalan mencari kantor polisi itu, malam makin gelap. Aku terus berjalan menelusuri jalan dan kakiku seperti hampir patah. Aku masih ingat tatkala aku tiba-tiba terhuyung jatuh, dan kemudian tak sadarkan diri. Langit gelap. Malam masih meruncing.
***
/2/
PAGI itu, aku bangun. Setengah sadar, aku lihat sosok tiga perawat mengelilingiku. Kakiku diikat, tanganku ditusuk jarum. Meski penglihatanku samar-samar, aku dapat menebak; aku berada di rumah sakit jiwa. Ah..., belum mati juga aku? Lalu, siapa yang membawaku ke rumah sakit? Bukankah semalam aku berjalan mencari kantor polisi terdekat?
Satup-sayup, kudengar suara seorang wanita tengah berbicara dengan seorang dokter. Wanita itu berdiri membelakangiku. Persis disampingnya, kulihat mantan suamiku berdiri. Aku tak tahu apa yang dibicarakan tapi samar-samar, kudengar ia menyebut diriku telah mengganggu rumah tangganya.
Kubuka mataku, kulihat mantan suamiku. Ia tak melihatku, apalagi mendekat ke arahku untuk membelai rambutku, terlebih membantuku keluar dari rumah sakit. Jantungku sesak, hatiku terkoyak. Tapi aku berusaha tersenyum saat orang di sekeliling menatapku.
Tak lama kemudian, perawat membantuku bangkit, karena aku sudah bisa pulang. Aku berusaha berdiri dan berjalan keluar ruangan. Sesampai di luar, kucari mantan suamiku. Aku edarkan mataku, dan kutemukan ia berdiri di tepi jalan tengah menunggu angkot. Aku mendekatinya. Sesampai di tepi jalan, sebuah angkot berhenti. Aku ikut naik bersamanya duduk di pojok. Angkot melaju, aku merasa diterkam dingin ketika angin menerabas masuk melalui jendela.
Aku diam. Mantan suamiku diam, dan istrinya tidak menoleh ke arahku. Angkot terus melaju, sesekali berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Saat angkot itu melintasi kantor polisi aku meminta sopir angkut itu berhenti. Mantan suamiku mencegah, tapi aku menepis cengkraman tangannya seraya mengancam akan berteriak.
Dia diam, dan membiarkanku turun.
Setelah angkot melaju, kumasuki kantor polisi. Aku lihat orang yang berjaga semalam sudah berganti sift tak lagi seorang yang menerimaku. Maka aku bukannya mendapat bantuan malah disambut dengan interograsi. Aku lemas. Setengah jam kemudian aku keluar, memendam kecewa.
Berjalan sempoyongan, aku pergi ke rumah teman mantan suamiku mengharap pertolongan, agar mantan suamiku kembali ke pangkuanku. Di pintu rumahnya, aku berdiri mematung mengetuk pintu. Dia menyambutku dingin. Tak ada senyum. "Aku tak mau tahu lagi urusanmu," sambutnya, seraya menampar mukaku. Aku terhuyung. Kurasakan pedih, lantaran tangannya kokoh laksana palu.
Aku meninggalkan rumahnya dan berjalan tanpa arah. Perutku keroncongan digaruk rasa lapar yang menusuk-nusuk. Di depan sebuah masjid, aku termangu. Gemetaran kumasuki, mengambil air wudhu lalu meraih mukena. Kudirikan shalat taubat dan setelah shalat, aku mengambil kitab suci. Kubaca kencang sambil menangis. Tidak aku pedulikan, orang melihatku. Tak kupedulikan orang menganggapku gila.
"Bila hatimu terluka dan kau tak tahu harus berbuat apa, bersujudlah pada Tuhan...!" ucap seorang ibu setengah baya, mengangetkanku. Ia berada tepat di sebelahku.
"Saya sudah bersujud, tapi kini saya tidak tahu harus pergi ke mana karena saya tak punya bekal apa pun. Juga, uang untuk pulang..." keluhku.
"Ini ada uang, pulanglah...." kata wanita itu, lembut.
Kusambut uang itu, kemudian pamit. Senja hampir gelap tatkala aku keluar dari masjid. Aku naik bus untuk pulang ke kontrakanku. Tubuhku penuh luka meski darah telah mengering. Tapi hatiku masih terbalut kabut duka. Maka setelah di kontrakanku, aku bercermin. Kulihat wajahku lebam. Aku memendam dendam. Hatiku remuk. Kuraba jantungku. Masih berdetak. Aku remas hatiku, aku telusupkan tanganku untuk mengambil sebentuk dendam di ujung hatiku. Kuambil sebongkah dendam itu lantas aku keluarkan.
Tetesan darah mengucur dari gumpalan dendamku, disertai bau anyir. Tak kuat, aku menatap, aku putuskan untuk menanamnya. Aku keluar kamar, mencari pot. Tetapi, sekelebat kulihat bayangan kakek tua duduk termangu di bawah pohon tak jauh dari kamar-ku. Seberkas cahaya muncul dari balik dedaunan, semakin bertambah terang. Aku ingin melihat, lalu bergegas menanam sebongkah dendam itu dalam pot.
"Hai perempuan muda, apa yang kau lakukan dengan segumpal darah itu?"
Tak kudengar langkahnya, tiba-tiba kakek itu sudah berdiri mematung di sampingku.
"Aku hanya ingin menanamnya agar ia kelak tumbuh menjadi sekuntum bunga dendam!" jawabku.
"Aku tak tahu apa yang terjadi denganmu. Tapi, aku melihat kau hidup dalam penderitaan!"
"Saya tak mau tahu bagaimana kakek bisa tahu saya menderita. Tapi bagaimana agar saya tak ditikam penderitaan karena dari penderitaan itu saya harus ditikam dendam?"
"Semua penderitaan itu berasal dari keinginan yang tak kamu miliki. Maka kalau kamu tidak ingin menderita, tidak ada jalan lain kecuali kau harus mengakhiri keinginanmu dengan menunjukkan semua yang kau perlukan untuk hidup dalam kehidupan yang penuh dan bahagia, telah kau miliki."
Aku termangu. Petuah kakek itu, bukan merasuk dalam hatiku, melainkan membuatku bergidik. Aku ingin bertanya tentang penderitaanku, tapi belum sempat terlontar pertanyaan, tiba-tiba kekek itu telah raib. Tak kutemukan jejak kakinya di balik kegelapan.
Aku merinding, lantas bergegas masuk ke kamar. Kukunci pintu rapat-rapat, aku sembunyikan tubuhku di balik selimut. Aku memejamkan mata, dengan memendam dendam.
***
/3/
HARI berganti. Sebulan setelah peristiwa itu, aku tersentak melongok ke luar jendela, aku lihat setangkai tanaman tumbuh di pot yang dulu pernah kutanami sebongkah dendam. Rupanya, dendam yang aku tanam telah menjelma menjadi tanaman. Entah kenapa, di pagi itu aku merasa dendamku pada mantan suamiku akan terbalaskan. Maka, aku cepat-cepat mengambil air, kusiram tanaman itu sebelum aku berangkat kerja ke rumah majikanku.
Tapi setiap terbersit keinginan untuk membunuh lelaki itu, aku justru dihantui rasa takut dan akhirnya aku ingin bunuh diri. Maka, dalam perjalanan ke rumah majikanku itu, aku membeli pil tujuh tablet dan kutelan seketika. Aku terhuyung di depan pintu rumah majikanku, kakiku gemetaran dan aku berbuat nekat; berhenti kerja lalu pamit pergi.
Aku berjalan tanpa tujuan seperti dihempas angin. Saat melintasi jembatan, aku memutuskan untuk mengakhiri hidup. Di bawahku, genangan air danau seperti meneduhkanku. Lalu aku menceburkan diri ke dalam danau. Badanku melayang, terjun ke dasar air berwarna kuning setelah semalam hujan. Setelah itu, tak lagi kuingat. Semua gelap. Semua hitam.
***
/4/
AKU merasa ada tangan kekar menggoyang-goyang tubuhku saat kudengar ada sebuah percakapan yang menggangguku. Entah bagaimana nasibku seusai terjatuh di dasar danau, saat aku membuka mata, aku menemukan diriku terbaring di pos satpam. Kulihat mantan suamiku diinterogasi dua satpam. Tak tahu, apa yang ditanyakan padanya, tahu-tahu aku dan mantan suamiku dibawa ke kantor polisi. Tiba di kantor polisi, aku tercekat setelah polisi menvonisku gila. Aku kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa dengan mobil polisi seperti tahanan.
"Siapa yang menjaminnya?"
Aku tak punya KTP dan mantan suamiku lepas tanggung jawab biaya perawatan. Maka aku hanya diberi obat penenang dan diminta pulang. Tak lagi sebagai suami-istri, malam itu kami tidur tanpa bercinta. Pagi harinya, mantan suamiku menghilang. Aku beranjak bangkit melongok ke luar jendela. Betapa terkejutnya aku saat kulihat tanaman yang dulu kutanam itu ditumbuhi bunga berwarna serupa darah, dan mendidihkan jantungku.
Kupandangi sekuntum bunga itu. Kembali, aku ingin membunuh suamiku, tapi aku selalu tidak punya keberanian dan aku kemudian berbuat konyol lagi. Aku keluar kamar, berjalan menyusuri jalan setapak membawa langkah kakiku ke masjid. Aku bersujud, lalu aku sayat nadiku dengan silet. Darah muncrat dari nadiku. Pedih yang mendidih. Aku ambruk, tersungkur di atas karpet.
Aku berharap, saat itu aku mati.
***
/5/
AKU terbangun pada suatu pagi yang menggelisahkan saat kudengar keributan di sekitar. Aku membuka mata, menemui kenyataan bahwa aku masih hidup. Aku terbaring di ranjang rumah sakit jiwa. Tubuhku lemas, bibirku kering dan perutku lapar. Kutatap langit-langit, terbesit ingatan saat aku memutuskan bunuh diri.
"Semua penderitaan itu berasal dari keinginan yang tak kamu miliki. Maka kalau kamu tidak ingin menderita, tak ada jalan lain, kecuali kamu harus mengakhiri keinginanmu dengan menunjukkan semua yang kamu perlukan untuk hidup --dalam kehidupan yang penuh dan bahagia, telah kau miliki." terngiang suara kekek tua itu dalam genderang telingaku.
Termangu, aku teringat pertemuan itu sewaktu aku menanam sekuntum bunga dendam. Maka saat ayahku datang menjemputku lalu memintaku untuk pulang ke kampung, aku menyempatkan sejenak mampir ke kontrakanku.
Tetapi betapa terkejutnya aku ketika mampir di kontrakan di malam purnama yang sudah satu tahun kutunggu-tunggu dan kulihat setitik cahaya terang menyembul dari balik semak-semak ternyata aku melihat; sekuntum bunga dendamku layu. Warna bunganya yang mekar berwarna merah darah, sempat mendidihkan jantungku kini tidak lagi merona serupa bibir perawan yang dipoles gincu merah marun. Aku lemas. Angin berhempus kencang, setangkai bunga dendam yang menguning itu pun jatuh.
Seberkas cahaya purnama, mulai memudar. Kian redup, dan makin tak jelas terlihat. Semakin menjauh, hingga cahaya itu akhirnya menghilang. Kucari-cari seberkas cahaya purnama itu, dan yang kulihat ternyata langit berubah dilingkupi awan. Tak ada bintang. Tak ada bulan.
Aku tak punya keberanian untuk membunuh, maka pada malam itu aku ingin mengakhiri hidupku lagi...***
Tangerang, April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar