Cerpen ini dimuat Surya minggu, 7 Okt 07
SENJA hampir tenggelam dan langit perlahan mulai berubah warna seperti arang. Gelap. Pekat. Tanah di pekarangan rumah kontrakanku masih basah habis diguyur hujan. Sisa air menggenang di atas permukaan tanah. Jejak hujan masih meninggalkan dingin di kaca jendela. Pijar cahaya lampu di depan rumah menempiaskan warna keperakan di genangan air saat aku menyalakan lampu dari dalam rumah.
Jalanan tampak lengang, tak kulihat orang melintas di depan rumah. Tetapi, saat aku kembali duduk di ruang tengah, samar-samar, aku dengar langkah orang yang berjalan dengan langkah tersaruk. Tak lama kemudian, langkah kakinya bersijingkat, lantaran menghindari genangan air di halaman yang masih basah. Aku melongokkan kepala. Aku lihat sosok lelaki berjalan di pekarangan. Separuh wajahnya tertutupi topi sehingga mataku tidak dapat melihat wajah tirusnya yang mulai tampak dengan jelas kala mendekati beranda.
Persis di ambang pintu, lelaki itu membuatku terperanjak kaget. Mulutku serasa terkunci dan mataku terperangkap seraut wajah yang nyaris aku kira seorang pengemis yang tersesat ke kontrakanku jika saja senyumnya tak membuatku teringat kenangan di masa lalu. Lelaki itu adalah kakak kelasku di kampus dulu. Kulihat wajahnya murung, tak ada sebuah percakapan sehingga membuatku hanya berdiri mematung. Aku termangu menatap sosoknya. Aku pandangi dari ujung kaki sampai ujung hidung.
"Kenapa kau memandangiku seperti orang asing yang tak pernah kau kenal?"
"Aku kira kau tidak akan datang lagi ke kota ini," jawabku seraya membentangkan tangan dan kemudian aku rangkul tubuhnya yang kurus. Aku tepuk bahunya, tulang di punggungnya nyaris retak.
Aku melepaskan rengkuhanku, seulas senyum memburai di wajahnya yang tadi kulihat nampak letih dihajar perjalanan. "Maaf..., aku datang tanpa ada kabar. Mungkin aku menginap di sini beberapa hari," ucapnya ragu, seraya merebahkan tubuh kurusnya di atas sofa.
"Lama tak ada kabar, kini muncul tiba-tiba. Kau mengelana dari mana?"
"Dari jauh!"
"Aku tahu! Tapi kau pasti tak bisa menghapus jejak setiap langkah kakimu."
"Aku dari Irian, lalu di Bali".
"Jadi kau tinggalkan kuliah dan hidup di Bali?"
"Ya! Aku butuh uang untuk biaya hidup agar bisa melanjutkan kuliah..."
"Wah, kini kantungmu pasti tebal... "
Wajahnya memerah seolah-olah telah kutampar dengan ucapanku. Tak ada jawaban. Semburat keceriaan yang tadi kutemukan di wajahnya sirna, ludes oleh sebuah tamparan yang mungkin tak pernah ia sangka.
"Jangankan mengumpulkan uang, aku bisa kembali ke kota ini, nyaris seperti mimpi."
Aku bengong, kutatap lekat-lekat wajahnya saat ia bercerita jika kini ia sudah tak memegang uang lantaran habis di meja judi. Tak pernah terbersit dalam kepalaku, dia bisa mempertaruhkan hidup di meja judi.
"Aku berharap besar uang yang aku kumpulkan dari kerjaku berlipat. Justru aku bertepuk pada angin. Aku kalah, aku menanggung utang...."
Aku melongo.
"Aku balik ke sini, karena ingin selamat dari kejaran orang yang meminjamiku uang. Untung, kini selamat dan tiba di kota ini. Aku memang bodoh tapi kini aku sadar bahwa jalan yang kutempuh itu salah. Aku ingin menebus kesalahanku dan ingin menyelesaikan skripsiku. Aku ingin lulus."
Hatiku tersayat. Aku seperti dibius kesedihannya.
Hari sudah gelap, laki-laki ringkih yang dulu kukenal baik itu seperti menenggelamkanku dalam duka laranya, ketika adzan maghrib menggema dari mushalla di ujung kampung. Aku bergegas ke kamar mandi, melangkah keluar menuju mushalla di malam pertama pada bulan Ramadhan itu.
***
MALAM itu langit berwarna seperti arang. Gelap. Tanah di halaman rumah masih basah, ketika aku pulang dari mushalla, sehabis tarawih. Di langit, tak kulihat cahaya rembulan. Hanya titik-titik pijar bintang yang bersinar redup. Malam murung, tetapi masih memancarkan secercah cahaya. Sayup-sayup, kudengar gema tadarus dari mushalla, ketika aku mebuka pintu rumah. Hatiku bergetar kuat.
Di atas sofa, aku lihat laki-laki bertubuh kurus itu terlelap dengan pulas. Sesekali, dengkurnya terdengar keras membuat perutnya buncit dan menipis. Aku kasihan, dan kubiarkan dia membayar rasa letihnya meski aku tahu ia dihajar rasa perih lantaran perutnya lapar.
Malam merambat pelan, dan aku tertidur di ruang tengah. Televisi masih menyala, ketika aku bangun di ujung fajar. Aku bangkit, membasuh muka lalu keluar membeli nasi di warung. Saat kembali, aku membangunkannya, lalu aku ajak makan setidaknya untuk mengganjal perutnya jika ia tak berniat berpuasa.
Tetapi, ia tak bernafsu melahap nasi. Meski belum makan semalaman, dia tetap tidak terlihat buas. Ia masih menyisakan beberapa suapan sebelum menuntaskan dahaga dengan menengguk air putih dan kopi hangat yang kuseduh untuk menghangatkan tubuh keringnya dari dingin pagi. Sisa hujan masih meninggalkan dingin di kaca jendela.
"Apa kau yakin besok bisa kuat puasa?" gurauku memancing keteguhannya.
"Gampang!" jawabnya lirih, "Jika tak kuat, ya makan di warung!"
Aku tersenyum. Ia pun tersenyum. Sisa hujan masih meninggalkan gigil di kaca jendela.
"Untung, saat ini aku tak lagi butuh komputer. Jadi, kau bisa memakainya!"
Ia mengangguk. Imsak akhirnya memaksa kami menutup mulut dari seduhan kopi dan hisapan rokok. Disusul adzan subuh, lalu aku menunaikan shalat. Setelah itu, kami tidur dengan dengkur yang menggantang rasa lapar.
***
DUA minggu lelaki ringkih itu menginap di kontrakanku. Hari seolah berjalan dengan cepat dan dia memenuhi janjinya. Skripsinya yang tinggal bab akhir, rampung dalam waktu dua minggu.
Sepanjang hari di bulan puasa itu nyaris kulihat ia tak pernah mengeluh pergi ke perpustakaan untuk melengkapi buku-buku yang dibutuhkan. Sepulang dari perpustakaan, dia tidak pernah terhempas dalam tidur yang panjang. Ia mendekam di kamar. Sesekali kadang ia pergi shalat tarawih ke masjid. Ia lebih sering tarawih di rumah.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, ketika siang itu dia pulang ke rumah membawa satu bundel skripsi. "Akhirnya, aku mampu menebus kesalahanku. Kini tinggal menkonsultasikan skripsiku ke dosen pembimbing," ucapnya seraya membanting tubuhnya di atas sofa.
***
ESOK HARINYA, ia datang dari kampus dengan langkah tersaruk ketika mentari berada tepat di atas kepala. Langkah kakinya masih sempat aku dengar saat aku bangun dari tidur siangku, kala sepatu buntut yang diinjak kedua kakinya menerabas masuk pekarangan. Wajahnya yang tirus kemudian nongol di balik pintu.
Tak seperti kedatangannya pertama kali ke rumahku, di siang itu kulihat ada kilatan cahaya di raut mukanya yang melentik dari matanya, "Alhamdulillah, skripsiku tak disuruh merevisi dan aku sudah bisa mengajukan ujian," ucapnya.
"Kamu ini beruntung. Aku dulu harus berkali-kali bimbingan," jawabku sambil mengucek-kucek kelopak mataku yang masih digelayuti rasa kantuk.
"Tetapi kasusku ini lain. Aku jelas ditolong dengan masa studiku yang hampir habis. Coba kau bayangkan, kalau saja dosenku tak mau menandatangani skripsiku, apa yang bisa kulakukan mengingat masa kuliahku tinggal satu minggu. Aku pikir, sekejam dan seotoriter dosen, pasti masih memiliki rasa kepedulian terhadap nasibku, apalagi di bulan puasa seperti ini..."
Aku mengangguk. Aku rasa apa yang diucapkan itu benar, karena aku melihat teman-temanku banyak yang lulus dan mendapatkan dispensasi setelah nyaris droup out.
"Tetapi, kamu mungkin tak percaya dengan ceritaku ini. Tadi, sebelum aku menghadap dosen pembimbingku, aku sempat menunggu cukup lama. Entah ini cobaan dari Tuhan atau anugrah. Aku jadi uring-uringan dan tak sabar karena rasa lapar menggerogoti ususku. Karena itu, aku berjanji dalam hati kalau nanti urusanku selesai dan aku disetujui bisa ujian skripsi maka akan kutuntaskan rasa laparku ke warung," ujarnya membuatku penasaran.
"Ah, kayak dari dulu tak selalu hidup kelaparan?!?"
"Tapi ini lain, aku benar-benar merasakan lapar dan haus yang membuatku pusing! Karena itu, setelah keluar dari ruang dosen, aku segera melangkah dan mencari warung yang dapat mengobati lapar dan hausku. Sejak dari kampus, aku clingukan untuk memastikan bahwa aku tak sedang diawasi orang, lalu aku melangkah ke arah Barat agar jauh dari kampus. Tapi, belum sempat aku menemukan warung, aku justru menjumpai pengemis cilik di perempatan jalan yang membuatku kasihan. Anehnya, di wajah pengemis cilik itu, aku melihat masa laluku. Aku tidak jadi lapar dan malu jika harus masuk ke warung. Lalu, kuberikan uangku pada pengemis cilik di perempatan jalan. Aku tak jadi batal puasa...."
Aku pikir, dia tak serius. Apalagi, dia kerap berbohong kepadaku. Tapi saat kutatap wajahnya, aku tahu ia tak bohong. Selama ini tak pernah kudengar ia mengeluh dari lapar. Kala aku mengais-ngais cerita yang pernah aku dengar, aku sadar jika dia ternyata jarang makan. Dua minggu selama tinggal di rumahku, bahkan dia kerapkali tak makan sahur.
Aku menatap wajahnya. Aku sadar kalau wajahnya nyaris tak dipenuhi gundukan lemak, mirip selongsong topeng yang nyaris tanpa daging. Wajahnya seperti sudah kenyang dari derita, diterpa oleh kemiskinan bertahun-tahun. Dan di bulan puasa ini, aku sadar. Ia ternyata sudah bertaubat.***
cerita untuk Toni, di Bojonegoro
Cibubur, Ramadhan 1427
SENJA hampir tenggelam dan langit perlahan mulai berubah warna seperti arang. Gelap. Pekat. Tanah di pekarangan rumah kontrakanku masih basah habis diguyur hujan. Sisa air menggenang di atas permukaan tanah. Jejak hujan masih meninggalkan dingin di kaca jendela. Pijar cahaya lampu di depan rumah menempiaskan warna keperakan di genangan air saat aku menyalakan lampu dari dalam rumah.
Jalanan tampak lengang, tak kulihat orang melintas di depan rumah. Tetapi, saat aku kembali duduk di ruang tengah, samar-samar, aku dengar langkah orang yang berjalan dengan langkah tersaruk. Tak lama kemudian, langkah kakinya bersijingkat, lantaran menghindari genangan air di halaman yang masih basah. Aku melongokkan kepala. Aku lihat sosok lelaki berjalan di pekarangan. Separuh wajahnya tertutupi topi sehingga mataku tidak dapat melihat wajah tirusnya yang mulai tampak dengan jelas kala mendekati beranda.
Persis di ambang pintu, lelaki itu membuatku terperanjak kaget. Mulutku serasa terkunci dan mataku terperangkap seraut wajah yang nyaris aku kira seorang pengemis yang tersesat ke kontrakanku jika saja senyumnya tak membuatku teringat kenangan di masa lalu. Lelaki itu adalah kakak kelasku di kampus dulu. Kulihat wajahnya murung, tak ada sebuah percakapan sehingga membuatku hanya berdiri mematung. Aku termangu menatap sosoknya. Aku pandangi dari ujung kaki sampai ujung hidung.
"Kenapa kau memandangiku seperti orang asing yang tak pernah kau kenal?"
"Aku kira kau tidak akan datang lagi ke kota ini," jawabku seraya membentangkan tangan dan kemudian aku rangkul tubuhnya yang kurus. Aku tepuk bahunya, tulang di punggungnya nyaris retak.
Aku melepaskan rengkuhanku, seulas senyum memburai di wajahnya yang tadi kulihat nampak letih dihajar perjalanan. "Maaf..., aku datang tanpa ada kabar. Mungkin aku menginap di sini beberapa hari," ucapnya ragu, seraya merebahkan tubuh kurusnya di atas sofa.
"Lama tak ada kabar, kini muncul tiba-tiba. Kau mengelana dari mana?"
"Dari jauh!"
"Aku tahu! Tapi kau pasti tak bisa menghapus jejak setiap langkah kakimu."
"Aku dari Irian, lalu di Bali".
"Jadi kau tinggalkan kuliah dan hidup di Bali?"
"Ya! Aku butuh uang untuk biaya hidup agar bisa melanjutkan kuliah..."
"Wah, kini kantungmu pasti tebal... "
Wajahnya memerah seolah-olah telah kutampar dengan ucapanku. Tak ada jawaban. Semburat keceriaan yang tadi kutemukan di wajahnya sirna, ludes oleh sebuah tamparan yang mungkin tak pernah ia sangka.
"Jangankan mengumpulkan uang, aku bisa kembali ke kota ini, nyaris seperti mimpi."
Aku bengong, kutatap lekat-lekat wajahnya saat ia bercerita jika kini ia sudah tak memegang uang lantaran habis di meja judi. Tak pernah terbersit dalam kepalaku, dia bisa mempertaruhkan hidup di meja judi.
"Aku berharap besar uang yang aku kumpulkan dari kerjaku berlipat. Justru aku bertepuk pada angin. Aku kalah, aku menanggung utang...."
Aku melongo.
"Aku balik ke sini, karena ingin selamat dari kejaran orang yang meminjamiku uang. Untung, kini selamat dan tiba di kota ini. Aku memang bodoh tapi kini aku sadar bahwa jalan yang kutempuh itu salah. Aku ingin menebus kesalahanku dan ingin menyelesaikan skripsiku. Aku ingin lulus."
Hatiku tersayat. Aku seperti dibius kesedihannya.
Hari sudah gelap, laki-laki ringkih yang dulu kukenal baik itu seperti menenggelamkanku dalam duka laranya, ketika adzan maghrib menggema dari mushalla di ujung kampung. Aku bergegas ke kamar mandi, melangkah keluar menuju mushalla di malam pertama pada bulan Ramadhan itu.
***
MALAM itu langit berwarna seperti arang. Gelap. Tanah di halaman rumah masih basah, ketika aku pulang dari mushalla, sehabis tarawih. Di langit, tak kulihat cahaya rembulan. Hanya titik-titik pijar bintang yang bersinar redup. Malam murung, tetapi masih memancarkan secercah cahaya. Sayup-sayup, kudengar gema tadarus dari mushalla, ketika aku mebuka pintu rumah. Hatiku bergetar kuat.
Di atas sofa, aku lihat laki-laki bertubuh kurus itu terlelap dengan pulas. Sesekali, dengkurnya terdengar keras membuat perutnya buncit dan menipis. Aku kasihan, dan kubiarkan dia membayar rasa letihnya meski aku tahu ia dihajar rasa perih lantaran perutnya lapar.
Malam merambat pelan, dan aku tertidur di ruang tengah. Televisi masih menyala, ketika aku bangun di ujung fajar. Aku bangkit, membasuh muka lalu keluar membeli nasi di warung. Saat kembali, aku membangunkannya, lalu aku ajak makan setidaknya untuk mengganjal perutnya jika ia tak berniat berpuasa.
Tetapi, ia tak bernafsu melahap nasi. Meski belum makan semalaman, dia tetap tidak terlihat buas. Ia masih menyisakan beberapa suapan sebelum menuntaskan dahaga dengan menengguk air putih dan kopi hangat yang kuseduh untuk menghangatkan tubuh keringnya dari dingin pagi. Sisa hujan masih meninggalkan dingin di kaca jendela.
"Apa kau yakin besok bisa kuat puasa?" gurauku memancing keteguhannya.
"Gampang!" jawabnya lirih, "Jika tak kuat, ya makan di warung!"
Aku tersenyum. Ia pun tersenyum. Sisa hujan masih meninggalkan gigil di kaca jendela.
"Untung, saat ini aku tak lagi butuh komputer. Jadi, kau bisa memakainya!"
Ia mengangguk. Imsak akhirnya memaksa kami menutup mulut dari seduhan kopi dan hisapan rokok. Disusul adzan subuh, lalu aku menunaikan shalat. Setelah itu, kami tidur dengan dengkur yang menggantang rasa lapar.
***
DUA minggu lelaki ringkih itu menginap di kontrakanku. Hari seolah berjalan dengan cepat dan dia memenuhi janjinya. Skripsinya yang tinggal bab akhir, rampung dalam waktu dua minggu.
Sepanjang hari di bulan puasa itu nyaris kulihat ia tak pernah mengeluh pergi ke perpustakaan untuk melengkapi buku-buku yang dibutuhkan. Sepulang dari perpustakaan, dia tidak pernah terhempas dalam tidur yang panjang. Ia mendekam di kamar. Sesekali kadang ia pergi shalat tarawih ke masjid. Ia lebih sering tarawih di rumah.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, ketika siang itu dia pulang ke rumah membawa satu bundel skripsi. "Akhirnya, aku mampu menebus kesalahanku. Kini tinggal menkonsultasikan skripsiku ke dosen pembimbing," ucapnya seraya membanting tubuhnya di atas sofa.
***
ESOK HARINYA, ia datang dari kampus dengan langkah tersaruk ketika mentari berada tepat di atas kepala. Langkah kakinya masih sempat aku dengar saat aku bangun dari tidur siangku, kala sepatu buntut yang diinjak kedua kakinya menerabas masuk pekarangan. Wajahnya yang tirus kemudian nongol di balik pintu.
Tak seperti kedatangannya pertama kali ke rumahku, di siang itu kulihat ada kilatan cahaya di raut mukanya yang melentik dari matanya, "Alhamdulillah, skripsiku tak disuruh merevisi dan aku sudah bisa mengajukan ujian," ucapnya.
"Kamu ini beruntung. Aku dulu harus berkali-kali bimbingan," jawabku sambil mengucek-kucek kelopak mataku yang masih digelayuti rasa kantuk.
"Tetapi kasusku ini lain. Aku jelas ditolong dengan masa studiku yang hampir habis. Coba kau bayangkan, kalau saja dosenku tak mau menandatangani skripsiku, apa yang bisa kulakukan mengingat masa kuliahku tinggal satu minggu. Aku pikir, sekejam dan seotoriter dosen, pasti masih memiliki rasa kepedulian terhadap nasibku, apalagi di bulan puasa seperti ini..."
Aku mengangguk. Aku rasa apa yang diucapkan itu benar, karena aku melihat teman-temanku banyak yang lulus dan mendapatkan dispensasi setelah nyaris droup out.
"Tetapi, kamu mungkin tak percaya dengan ceritaku ini. Tadi, sebelum aku menghadap dosen pembimbingku, aku sempat menunggu cukup lama. Entah ini cobaan dari Tuhan atau anugrah. Aku jadi uring-uringan dan tak sabar karena rasa lapar menggerogoti ususku. Karena itu, aku berjanji dalam hati kalau nanti urusanku selesai dan aku disetujui bisa ujian skripsi maka akan kutuntaskan rasa laparku ke warung," ujarnya membuatku penasaran.
"Ah, kayak dari dulu tak selalu hidup kelaparan?!?"
"Tapi ini lain, aku benar-benar merasakan lapar dan haus yang membuatku pusing! Karena itu, setelah keluar dari ruang dosen, aku segera melangkah dan mencari warung yang dapat mengobati lapar dan hausku. Sejak dari kampus, aku clingukan untuk memastikan bahwa aku tak sedang diawasi orang, lalu aku melangkah ke arah Barat agar jauh dari kampus. Tapi, belum sempat aku menemukan warung, aku justru menjumpai pengemis cilik di perempatan jalan yang membuatku kasihan. Anehnya, di wajah pengemis cilik itu, aku melihat masa laluku. Aku tidak jadi lapar dan malu jika harus masuk ke warung. Lalu, kuberikan uangku pada pengemis cilik di perempatan jalan. Aku tak jadi batal puasa...."
Aku pikir, dia tak serius. Apalagi, dia kerap berbohong kepadaku. Tapi saat kutatap wajahnya, aku tahu ia tak bohong. Selama ini tak pernah kudengar ia mengeluh dari lapar. Kala aku mengais-ngais cerita yang pernah aku dengar, aku sadar jika dia ternyata jarang makan. Dua minggu selama tinggal di rumahku, bahkan dia kerapkali tak makan sahur.
Aku menatap wajahnya. Aku sadar kalau wajahnya nyaris tak dipenuhi gundukan lemak, mirip selongsong topeng yang nyaris tanpa daging. Wajahnya seperti sudah kenyang dari derita, diterpa oleh kemiskinan bertahun-tahun. Dan di bulan puasa ini, aku sadar. Ia ternyata sudah bertaubat.***
cerita untuk Toni, di Bojonegoro
Cibubur, Ramadhan 1427
Tidak ada komentar:
Posting Komentar