Siang itu cakrawala berwarna kelabu. Aku pulang sekolah dengan langkah lunglai, memakai sepatu dengan tali yang kusut dan berdebu. Aku terus melangkah, dahaga menggaruk tenggorakanku. Gang sempit ke arah rumahku lengang, dan aku ingin cepat sampai ke rumah. Tapi aku seperti digelayuti lelah untuk berlari.
Tidak tampak anak-anak kecil berseragam sekolah merah putih bermain di gang sempit itu, kecuali aku seorang diri –yang sedang berjalan pulang dengan galau. Tetapi, entah mengapa, siang itu kelengangan gang ke rumahku seperti berbeda. Angin berisik seperti mengabarkan kemerdekaan yang pernah diukir para pejuang di zaman dulu. Aku merasakan hembusan ruh pahlawan menelusup di sela-sela dedaunan tanaman di depan rumah tetangga-tetanggaku yang tampak sahdu.
Aku terus melangkah, dan sesekali mengamati setiap rumah yang aku lewati. Aku lihat tiang-tiang tertancap di depan rumah dan di setiap tiang itu bendera merah putih berkibaran diterpa angin yang bertiup sahdu. Sesekali, angin bertiup kencang membuat setiap bendera yang ada di depan rumah tetanggaku berkibar menawan.
Tapi tiba-tiba aku merasa heran, ada setangkup perasaan ganjil yang menelusup diam-diam dan gamang dalam hatiku tatkala aku sudah berdiri tepat di depan rumahku. Seperti ada yang hilang dari sesap ganjil mataku. Tak kulihat tiang bendera tertancam di depan rumah. Tidak ada sang saka merah putih berkibar di tiang bambu yang biasa ayah tancamkan di depan rumah.
Siang itu, aku seperti berdiri di depan rumahku yang asing. Aku seperti berdiri di depan rumah orang luar yang tak kena peraturan untuk memasang bendera selama satu minggu sampai hari proklamasi kemerdekaan. Sejenak, aku menatap sekeliling. Tak ada rumah tetanggaku yang tidak memasang bendera merah putih kecuali rumahku. Rumah yang tampak sepi dan beku, lantaran tidak ada kibar sang saka merah putih di hari menjelang kemerdekaan bangsaku.
Penghormatanku pada para pahlawan yang gugur di medan perang sebagaimana cerita yang pernah aku dengar dari guru sejarah-ku, seperti menyeretku pada kesedihan. Aku merasa seperti anak orang Belanda yang sedang bertandang ke kampungku sendiri, tak seperti seorang anak Sekolah Dasar yang pulang dari sekolah dengan seragam merah putih.
Kakiku gemetaran, saat aku kembali melihat setiap rumah tetanggaku dan kibar sang saka merah putih di setiap rumah serasa meluruhkan jiwaku. Langkah kakiku kaku. Aku ditikam kerinduan untuk mengingat masa lalu, mengingat para pejuang dulu ketika mereka berperang melawan penjajah.
Aku bergegas memasuki rumah, langsung menerabas ke dapur. Di rumah hanya ada nenek yang termangu di dapur menanak nasi. Diam-diam, aku mengambil gelas dan melangkah dengan kaki gemetar. “Kau sudah pulang?” tanya nenek saat melihatku.
“Anak-anak dipulangkan lebih pagi dari biasa karena besok anak-anak berangkat kemah, nek…” jawabku seraya menuang air putih dari baskom.
Setelah segelas air putih meluruhkan tenggorokanku, aku memasuki ruang kerja ayah. Kulihat kain berserakan di lantai, di bawah mesin jahit tua ayah –yang terongggok membisu. Siang itu, ayah dan ibu kebetulan belum pulang masih di pasar menjual segala jenis pakaian yang sebagian ayah jahit sendiri, termasuk bendera.
Tak pernah ayah mengajariku menjahit, membuatku ditikam bingung. Apa yang harus kulakukan untuk merajut kain merah putih itu agar bisa menjadi sebuah bendera? Berdiri serupa patung, tiba-tiba sekelebat bayangan ayah yang sedang menjahit sepulang dari pasar seakan memberiku pelajaran tidak langsung. Tak ingin ayah pulang dan tahu apa yang aku lakukan, buru-buru aku pungut kain merah dan putih yang berserak yang kutahu; kain itu sisa dari potongan bendera yang dijahit ayah kemarin sore.
Setelah aku pilih-pilih, aku temukan dua lembar kain merah-putih yang nyaris seukuran. Selanjutnya, untuk membuat kedua kain merah putih itu jadi sama seukuran, kuraih gunting yang tergeletak di sisi lengan mesin jahit. Kupotong sisi kain merah yang berukuran lebih besar. Lalu, aku duduk di kursi mesin jahit.
Sial, benang yang biasanya terpasang di lubang jarum ternyata lepas. Terpaksa, aku memasukkan ujung benang ke lubang jarum. Awalnya, kesulitan. Tetapi setelah tiga kali bersusah payah memasukkan jarum ke lubang, aku dapat bernapas panjang. Benang terpasang, dua lembar kain merah dan putih yang sudah kupotong seukuran sudah siap untuk dijahit.
Entah dapat ilmu menjahit dari mana, aku seperti merasa ada tangan ghaib yang menuntun tanganku tiba-tiba menjadi cekatan. Dua kain merah putih berukuran kecil itu kujahit, lalu bagian ujung kain kurekatkan untuk merapikan bentuk bendera. Setelah aku menjahit tiga tali sebagai pengait untuk diikatkan pada bambu, betapa senangnya hatiku ketika menatap bendera kecil seukuran 30 x 17 cm itu sudah siap aku kibarkan.
***
AKU tahu apa yang kulakukan terhadap bendera kecilku itu sebelum ayah pulang dari pasar. Kembali aku melangkah ke dapur. Aku lihat nenek masih menunggu tungku dengan diam. Gagang sapu yang terkulai di sudut dapur, kusambar diam-diam. Untung, nenek tak melihatku. Dengan langkah bersijingkat aku melangkah ke depan rumah. Tapi sial. Aku lupa mengambil parang.
Buru-buru, aku kembali ke dapur. Aku ambil parang yang terletak tak jauh dari tempat nenek merunduk tepat di depan kompor.
“Untuk apa parang itu?“ tanya nenek mengagetkanku.
“Untuk memotong gagang sapu yang tak berguna, nek,” kilahku, “Ini untuk tugas besok sebelum berangkat kemah,” lanjutku berbohong.
“Hati-hati, parang itu bisa melukai tangamu!”
“Tak usah takut nek, aku sudah besar dan tahu cara menggunakan parang yang benar,” sombongku seraya melangkah ke depan rumah.
Sampai di depan rumah, parang itu aku tebaskan pada gagang sapu serat kelapa. Gagang sapu itu putus dengan sempurna. Cepat-cepat aku ikatkan tali bendera kecilku di gagang bekas sapu itu. Aku lalu mengambil tangga di sebelah rumah, dan aku pasang di sisi rumah agar aku bisa naik ke atap rumah. Setelah aku naik ke atap rumah, kuikatkan gagang sapu itu di sebuah kayu. Aku tak ingin benderaku yang kecil itu tidak berkibar di antara bendera-bendera yang lain dari milik tetangga kecuali benderaku nanti berkibar dan terpasang paling tinggi.
Tak butuh waktu lama, bendera kecilku itu sudah terpasang di atap rumah. Saat angin bertiup dengan kencang, aku tahu, benderaku berkibar mirip sebuah layar yang terikat pada tiang kapal. Aku buru-buru turun dari atap rumah, dengan perasaan bangga sebab telah mengibarkan bendera menjelang hari kemerdekaan. Aku turun dengan cepat lantaran takut ayah keburu datang.
Sesampai di bawah, aku kemudian mendongakkan kepala ke atap rumah. Kulihat bendera kecilku mulai berkibar diterpa angin, dan aku menghormat –seakan melakukan sebuah upacara seorang diri.
Tepat di saat aku baru saja menurunkan tanganku memberi penghormatan pada sang saka kecilku, nenek memanggilku. Dia memintaku untuk segera makan siang. Aku masih ingat, siang itu aku makan dengan lahap.
***
SORE itu, aku terbangun dari tidur siangku yang cukup panjang. Aku mendengar ayah dan ibu bertengkar, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka ributkan. Aku lirik jam dinding di kamarku. Pukul 15.30 WIB.
Aku masih belum sadar penuh. Lamat–lamat kudengar ayah seperti dibakar api amarah. “Itulah anakmu yang selama ini kau manjakan! Setiap kali aku memarahinya, kau membela. Sekarang mau kutaruh di mana mukaku ini!” bentak ayah pada ibuku.
“Dia masih kecil, tak tahu apa-apa! Itu pun salahmu sendiri, kenapa kau tak mau masang bendera menjelang hari kemerdekaan padahal kau sendiri menjahit dan jualan bendera… ” bela ibuku.
“Tetapi kalau anakmu itu tidak memasang bendera di atap rumah, tidak mungkin aku dipanggil pak lurah dan dimarahi seperti tadi,” ujar ayah.
Ibu hanya diam.
“Kau tahu, apa kata pak lurah padaku?” tanya ayah pada ibu, “Aku dianggapnya tak bisa mendidik anak…”
“Harusnya kau bilang, anak kita masih kecil dan tidak tahu apa-apa..” bela ibu
“Sudah kubilang seperti itu,” tangkis ayah “Justru karena itulah pak lurah punya bahan untuk menganggapku sebagai ayah yang tidak becus mendidik anak…”
Aku bangkit, dan keluar dari kamar. Aku merasa semua itu ada sangkut pautnya denganku, sehingga aku ingin tahu lebih jauh. Tetapi, betapa hatiku langsung ciut ketika ayah memandang ke arahku. Mata ayah seperti menyala merah, dan seumur hidupku tak pernah kulihat mata ayah merah seperti itu. “Anak kurang ajar,” bentak ayah kepadaku,
Aku diam, tak berkata-kata. Aku lihat ayah memegang bendera mungilku dengan masih utuh sebagaimana aku tadi mengikatkannya pada gagang sapu yang kupotong.
Jantungku berdegup kencang. Tetapi, langkah kakiku ingin membuktikan sendiri apa yang sedang terjadi. Aku melangkah ke depan rumah. Aku dongakkan kepalaku. Tak ada bendera kecil yang tadi berkibar tinggi di antara bendera milik tetanggaku.
Air mataku menitik. Aku kemudian melangkah ke dalam rumah. Aku berjalan ke arah ibuku berdiri, tepat di sisi ayah. Aku tahu, ayah hendak memarahiku. Tetapi, buru-buru ibu mendekapku.
“Kau tidak salah, anakku! Tadi memang pak lurah marah pada ayahmu gara-gara kau memasang bendera kecil di atap rumah. Tetapi, tindakanmu itu menjadi salah sebab ayahmu tak memasang bendera besar sebagaimana tetangga yang lain. Jadinya, ayahmu dikira telah menghina pak Lurah, sebab tidak memasang bendera besar… Besok, tolong jangan diulangi lagi…” ucap ibuku seraya mengelus-elus rambutku.
Sore itu, hatiku serasa damai dan jiwaku serasa dibelai oleh alunan cinta seorang ibu yang penuh perhatian. “Apa yang membuatmu tiba-tiba memasang bendera kecil itu di atap rumah, nak?” tanya ibu membuatku terperanjak.
Mulutku seperti terekam oleh lem. Aku tak bisa angkat bicara.
Tetapi, entah mengapa, tiba-tiba mulutku ingin bicara dan akhirnya keluar suatu hal yang tak pernah aku duga, “Bunda, apa anak kecil tidak boleh mengibarkan bendera kecil di atap rumah untuk menghormati kemerdekaan dengan caranya sendiri?”
Ibu melirik ke arah ayah. Ayah pun melirik ke arah ibu. Aku tak akan pernah bisa melupakan peristiwa itu, peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu. ***
Ciputat, 2009-2011
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surabaya Post, Radar Surabaya, Surya, Batam Pos, Lampung Post, Suara Merdeka, Tabloid Cempaka, dan Solo Post. Selain menulis cerpen, dia juga bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar