Cerita Pendek ini dimuat di Tabloid Cempaka, edisi 8, 18-24 Mei 2013
SATU MINGGU yang lalu, aku setengah tak percaya ketika melihatmu berjalan di gang itu. Sebuah gang yang tidak pernah menyimpan secuil kenangan tentang kabarmu. Tanah basah yang ada di kota ini, seperti tak berbekas. Sudah empat tahun, aku tidak mampu menemukan denah kepergianmu. Kau pergi tidak meninggalkan jejak.
Hingga akhirnya, sore itu… aku melihatmu; sesosok perempuan yang berjalan di gang itu. Kamu berjalan menyusuri gang, melangkah pelan dan merunduk. Rambutmu yang pendek menutupi sebagian wajahmu. Kau memakai kaos putih, celana panjang dan membawa dompet mungil yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku sempat melihatmu sejenak saat kita berpapasan. Kamu tak melihatku. Tapi aku sempat melihat tengkukmu yang tersingkap ketika semilir angin menyingkap rambutmu.
Aku tak pernah tahu, bahkan hingga hari ini kenapa kau senang merunduk setiap kali berjalan. Jika desir angin tak menyibak rambutmu, pasti aku tidak mengenalimu. Beberapa langkah setelah kita berpapasan, aku baru ingat...
Aku menoleh. Kau pun menoleh. Apakah kita memang ditakdirkan untuk saling menoleh setelah kita seperti tak mengenal? Aku dan kau bersitatap. Kita seperti saling ragu, setelah lama berpisah dan bertemu secara tak sengaja. Kau gugup bersuara. Aku gemetaran, tetapi aku melangkah mendekatimu.
“Bagaimana kau sampai di sini?” tanyaku setengah tak percaya saat aku berdiri di hadapanmu. “Empat tahun aku mencarimu, dan baru kini bisa melihatmu kembali. “
Kamu hanya diam. Mungkin kamu setengah tak percaya bisa bertemu denganku.
“Kamu ternyata sudah banyak berubah, bahkan lebih cantik,” aku memujimu.
“Jika kau memang benar-benar mencariku, sepertinya itu bohong. Aku masih di kota ini dan tidak pergi ke mana pun. Jadi, jika kau mencariku pasti bisa menemukanku dari dulu.…” jawabmu telak, dan itu membuatku tak bisa menepis tuduhanmu.
Ah, mungkin kau benar. Aku memang tak mencarimu. Bahkan, aku benar-benar tak mencarimu. Jika aku mencarimu, kenapa aku tidak bisa menemukanmu? Kau gugup dan menunduk. Rambutmu menutupi wajahmu. Wajah yang masih memesonaku hingga aku tidak bisa melupakanmu. Dan sore itu, kau memintaku untuk mampir ke kontrakan barumu. Di teras kontrakanmu itu, kau kembali mengisahkan tentang bintang.
Tetapi cerita bintang itulah yang kembali mengingatku tentangmu…
00O00
EMPAT tahun yang lalu. Aku tak lagi ingat, kapan tepatnya kita bertemu. Itu jika aku tidak salah ingat. Ah, mungkin aku salah. Tetapi, aku tidak pernah lupa pertemuan pertama itu. Pertemuan yang terjadi tak sengaja dan menggelikan.
Malam itu, aku belum mengelamu dan aku mengunjungi kontrakan Melisa. Ia mengundangku datang setelah aku membantunya memberi masukan tentang skripsinya. Tapi, malam saat aku mengunjungi Melisa itu, dan kami bercengkrama santai, kau yang ternyata satu kontrakan dengan Melisa tiba-tiba keluar mencari makan. Kau melewati ruang depan, teras kontrakan dengan merunduk.
Aku tak pernah tahu, kenapa kau selalu merunduk setiap kali berjalan bahkan di saat pertama aku melihatmu. Kau tidak menoleh ke arahku, berjalan pelan, tak peduli kehadiranku. Aku masih ingat, malam itu kau juga memakai kaos putih, celana panjang dan di tangamu tergenggam dompet. Sekilas, aku melihatmu. Tapi, aku tidak melihatmu jelas kecuali tengkukmu yang tersingkap tak sengaja ketika kau mengibak rambumu.
Dadaku seperti bergemuruh. Seperti ada gelombang yang merambatkan sengatan dingin ke sekujur tubuhku. Bahkan, setelah kau keluar dari kontrakan itu. Aku merasa semua menjelma senyap. Kau meninggalkan aroma parfum meski telah berjalan jauh. Dan aku hanya termangu.
“Hei, Kau melamun apa tidur?” ujar Melisa seraya melambaikan tangan tepat di depan mataku.
Aku tergeragap, seperti terjaga dari tidur.
“Sekarang aku tahu…!” ujar Melisa.
“Tahu?” aku balik bertanya.
“Aku tahu, kau melamunkan temanku. Jika kau jujur, aku pasti membantumu.”
“Benarkah?”
“Tunggu, ya! Lihat nanti apa yang akan kulakukan!”
Aku menganggap Melisa bercanda. Tapi, dugaanku salah. Beberapa menit setelah kau melintasi teras dan masuk ke kontrakan, Melisa mengikutimu. Lalu, Melisa kembali ke teras bersamamu. Kau diam terpaku, berdiri serupa patung. Mukamu berubah merah. Ronamu kontras dengan kaosmu yang putih. Tidak ada sepatah kata yang kau ucapkan, hingga Melisa membuka perckapan.
“Ini ada temanku yang ingin bertemu denganmu. Duduklah yang manis dan kau temani ia ngobrol,” ujar Melisa tanpa basa basi.
Lalu, kau duduk manis di depanku dan Melisa pergi tanpa permisi. Kau tampak gugup. Wajahmu masih merona merah. Mungkin, kau merasa bingung bahkan canggung kenapa kau dipaksa duduk di depanku.
Aku menyebutkan namaku, setelah kau duduk. Tapi kamu masih diam dan baru mengucapkan namamu setelah kutanya. Kau tahu, saat itu aku gugup. Kau pun melihat keringat mengucur di wajahku. Juga, sebagian bajuku seperti basah.
Waktu seperti membeku. Denting jarum jam yang tertempel pada dinding ruang tamu berdetak, mengiringi dentak jantungmu. Itulah yang aku ingat dari pertemuan kita pertama itu. Pertemuan yang ganjil, seperti sebaris puisi yang tak tertulis pada selembar kertas. Sepi. Aku banyak diam. Kau bahkan tak banyak bicara. Bahkan, saat aku pulang, kau seperti melepaskan setengah hati. Tanpa lambaian tangan.
Tiga hari kemudian, aku kembali mengunjungi kontrakanmu. Aku mengajakmu jalan. Kau mengangguk, dan sejak itu gerimis turun dari langit melelehkan kebekuan hatimu. Kau berbagi cerita tentang keluargamu, kuliahmu dan mimpi-mimpimu. Dan di warung makan lesehan itu, kau menikmati makan malammu tak seperti hari sebelumnya bahkan sejak itu, kau mengaku senang sewaktu aku mengantarmu pulang.
Tepat empat hari kemudian, aku kembali mengunjungimu. Di sakuku, tidak ada uang sepersen pun. Kau mungkin tidak tahu hal itu. Maka malam itu aku tak mengajak keluar. Kita bercengkrama di teras. Kau menatap kerlip bintang di langit, dan bermimpi bisa memetik bintang itu seperti memetik buah apel dari pohon.
“Seandainya kau mampu memetik bintang di langit sana, lalu akan kamu apa kan bintang itu?”
“Kutaruh di kamar agar kamarku menjadi terang. Dengan begitu, aku tidak lagi memasang lampu.”
“Ah, kau ini bermimpi. Bagaimana mungkin kamarmu menampung bintang.”
Kau tertawa lepas. Sebuah tawa yang tak pernah kudengar sebelumnya. Dan aku tak pernah menyangka, jika tawamu itu adalah tawa terakhir yang pernah kudengar dan kulihat. Dan sejak malam itu, aku tak sempat mengunjungimu. Aku tidak pernah tahu kabarmu. Aku pergi ke kota lain, mengikuti kontrak kerja di sela-sela kuliahku.
Hingga akhirnya, empat bulan kemudian, aku bertandang ke kontrakanmu. Kau tak ada. Kontrakan itu pun berganti penghuni. Tak satu pun penghuni baru itu tahu kau pindah ke mana, bahkan termasuk ibu kostmu. Dan aku menyangka, sejak itu sepertinya kita tak akan pernah bertemu lagi.
00O00
HARI ini, empat tahun telah berlalu. Dan seminggu yang lalu, aku tidak sengaja bertemu denganmu. Kita kembali menjalani hari-hari, dan merajut kenangan di kota ini. Tetapi, ada satu rahasia yang aku sembunyikan darimu. Aku tidak menceritakanmu jika hari ini aku akan pergi selamanya meninggalkan kota ini. Kota yang sempat menjadikan kita terangkup dalam sebaris kenangan di kota ini. Dan siang ini, sebelum aku pergi, aku menemuimu.
Jujur, sebenarnya aku tidak ingin pergi. Tapi, pekerjaan ini adalah mimpiku yang dari dulu ingin kuraih.
"Jadi, sore ini kau akan pergi?”
Aku mengangguk. Kau diam, seperti tidak tega melihat kenyataan aku akan pergi dari kota ini. Kau hampir saja beranjak dari tempat dudukmu, mungkin kau marah dan tak terima dengan rencana kepergianku yang tiba-tiba dan tanpa ada kabar sebelumnya. Tetapi, aku langsung meraih tanganmu.
“Kota ini sampai kapan pun akan menjadi kota kenangan. Mengapa? Karena kita tak dilahirkan di kota ini. Jadi, kota yang pernah kita singgahi ini, entah hari ini atau kapan pun, akan menjadi kota kenangan. Selebihnya, setelah kau lulus nanti, tentu kau bisa menyusulku…”
Kau kembali duduk dan menatapku dengan tatapan yang dingin. Matamu seperti danau, dan tiba-tiba mengalirkan air. “Ayahku telah memintaku untuk kembali ke kota kelahiranku setelah aku nanti lulus kuliah. Aku tak akan bisa menyusulmu…”
Aku termangu.
“Tampaknya, setelah hari ini kita seperti ditakdirkan untuk tak lagi bertemu. Aku akan pulang ke rumahku.” Kau diam, seperti berat mengungkapkan sesuatu yang ada di hatimu. Hingga akhirnya, kau melanjutkan “Kau tahu kan aku ini anak bungsu. Jadi, aku harus menjaga ayah dan ibuku setelah saudara-saudaraku pergi meninggalkan rumah.”
“Kamu akan kembali ke ujung pulau?” tanyaku gugup, bahkan aku sendiri nyaris tak percaya kenapa bisa meluncur pertanyaan itu.
Kau mengangguk. Bahkan tanpa ragu. Padahal, aku tahu sepenuhnya rumahmu berada di ujung pulau hampir berbatasan negara lain. Aku tak sanggup membayangkan jika aku harus hidup di kotamu, kota terpencil yang jauh dari mimpiku. Aku benar-benar tidak punya pilihan.
Dan siang itu…, aku pergi dari kontrakanmu. Kau diam melepasku pergi.
00O00
SORE ini, aku duduk termangu di stasiun. Di tanganku, tergenggam tiket warna merah muda, tiket Kereta kelas Ekonomi. Aku menatap jam dinding di tembok stasiun. Pukul 16.50. Tinggal sepuluh menit lagi waktu yang tersisa, sebelum aku pergi.
Aku berdiri di luar gerbong kereta. Sebagian penumpang, sudah duduk di kursi kereta. Tapi di luar gerbong, aku masih berdiri mematung, menunggumu. Aku berharap, kamu menemuiku di stasiun, setidaknya untuk terakhir kali bertemu.
Aku menatap pintu peron, berharap ada sesosok yang berjalan merunduk, yang melepas kepergianku. Tetapi, tidak ada sosokmu muncul dari balik kerumunan. Seorang petugas stasiun kembali memberi pengumuman bahwa lima menit lagi kereta api akan berangkat.
Aku kembali menatap ke arah pintu masuk. Lagi-lagi, tidak ada sosokmu muncul dari desakan orang-orang yang bergegas. Empat menit lagi, kereta akan berangkat. Dan aku merapat dekat pintu kereta, menunggumu datang ke stasiun.
Hingga, tinggal tiga menit lagi waktu tersisa, sebelum kereta berangkat. Aku tak bisa berdiri terus. Kupanggul tas punggungku, menaiki tangga pintu kereta. Aku merasa penantianku sia-sia. Aku merasa sosokmu tak akan datang, dan aku menyusuri lorong kereta mencari tempat duduk.
Tepat pukul 05.00 WIB kereta pun bergerak, merangsek seperti seekor ular yang berjalan pelan kemudian kereta pun bergoyang-goyang membawaku pergi meninggalkan kota kenangan ini.
Tapi, aku melongokkan kepala, menatap stasiun yang ada di belakang. Semakin jauh kereta merangkak, kian tak jelas mataku melihat kerumunan orang di stasiun. Dan aku tak melihatmu datang di stasiun itu.
00O00
TIDAK jauh dari pintu peron stasiun, aku berdiri mematung seraya menatapmu dari kejauhan. Aku melihatmu; kau berdiri gelisah seperti tak ingin pergi meninggalkan kota kenangan ini. Tapi, aku tak tahu, kenapa akhirnya kau memilih pergi.
Saat kau menaiki tangga kereta, aku ingin menjerit. Aku ingin menjerit keras dan kencang. Tetapi, semua terlambat, dan aku hanya bisa menebus dengan menitikkan air mata; bukan sedih lantaran kehilangamu tapi karena aku benci perpisahan… [ ]
Jakarta, 03 Juli 11
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, seperti The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surya, Surabaya Post, Batam Pos, Lampung Post, dan Solo Post. Selain menulis cerpen, dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).
2 komentar:
saya sedang belajar menulis, tetapi selalu merasa kesulitan memanjangkan cerita saya.
kalau saya paksakan, akhirnya seperti bertele-tele. boros kata.
kalau boleh, mohon diajari cara "memanjangkan" sebuah cerita.
terimakasih..
utk membuat cerita agar panjang, bs ditambahi tokoh, atau bs jg konflik sampingan. trm kasih, selamat berkarya
Posting Komentar