Dalam rentang waktu selama kurang lebih dua bulan ini, umat Islam dari Indonesia kembali mendapatkan kesempatan bisa menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Tapi di tengah kemeriahan orang pergi haji itu, pada sisi lain justru rakyat Indonesia dihadapkan pada kondisi perpolitikan di tanah air yang runyam dan sarat dengan prahara korupsi. Berita dugaan korupsi Wisma Atlet yang sempat jadi berita hangat, sekan menegaskan negeri ini dihimpit korupsi yang akut dan parah. Bahkan, belum tuntas pengusutan kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet, berita seputar korupsi lain muncul silih berganti. Berita-berita miring itu kian menegaskan bahwa negeri ini terjerembab pada lumpur korupsi yang cukup dalam.
Tak pelak, kehadiran musim haji kali ini tidak saja sebagai media instropeksi diri, tetapi sebagai momentum purifikasi atas nafsu koprusi". Karena negeri ini sedang dilanda masalah korupsi serius, bahkan di era reformasi yang lantang digemakan slogan perang melawan korupsi, ternyata korupsi tak kian sembuh melainkan tampil memprihatinkan. Tak berlebihan, jika musim "ibadah haji" ini harus dimaknai sebagai jalan asketis untuk membangun "kesadaran dekonstruktif" bagi jamaah haji dari Indonesia -terutama bagi kaum elite yang berkesempatan pergi haji- untuk melakukan penyucian diri dari praktik korupsi.
Dosa Korupsi
Spirit keagamaan dan kebangsaan, tak bisa disangkal dibangun dengan misi keadilan dan kesadaran setiap umat manusia. Sementara itu, praktek haji meluruskan setumpuk nafsu yang coba membelokkan spirit tersebut. Sebab -saat hendak memulai rangkai praktek manasik haji-- setiap jamaah mengenakan yang sederhana dan tanpa jahitan. Pakaian itu menjadi simbol tidak saja setiap jamaah haji menyadari akan kelemahan serta kerendahan hati di hadapan Allah, melainkan juga setiap jamaah dituntut menanggalkan ego. Dan kain tanpa jahitan itu menandakan "kekosongan" dari lekatan dunia dan segala perhiasan dunia. Jadi, ritual haji itu lambang kesucian bahkan sebagai simbol purifikasi segala bentuk nafsu, termasuk nafsu korupsi.
Tak dapat dimungkiri, jika ibadah haji --secara substansial-- sebenarnya upaya pembersihan diri --tidak saja dari himpitan penyakit tubuh melainkan juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa. Tak pelak, kalau ritual haji itu pada hakekatnya membersihkan nafsu untuk korupsi. Apalagi, Rasulullah dengan tegas dan lantang mengecam praktek korupsi. Bahkan dalam suatu kisah, Rasululah diceritakan cukup geram dan murka tatkala melihat praktek korupsi, bahkan tak segan-segan mengejar koruptor hingga ke liang kubur.
Alkisah, waktu pulang dari Khaybar, tepatnya di Wadi Guraa, Mad`am terkena panah misterius yang membuatnya langsung meninggal. Maka, para sahabat pun berpendapat bahwa ia akan mendapatkan balasan surga --sebagai syuhada`. Tetapi Nabi menanggapi ‘Tidaklah demikian, Demi diriku berada di tangan-Nya bahwa jubah yang ia ambil pada hari Khaybar itu adalah ghanimah yang belum dibagikan, maka akan menyala padanya neraka."
Kisah lain adalah kisah yang dituturkan oleh Zaid bin Khalid al Juhaini— ada seorang anggota pasukan muslim yang tewas dalam perang Hunain. Para sahabat melaporkan kepada nabi. Tapi para sahabat tak menduga jika mendapatkan jawaban yang mencengangkan sebab Rasulullah memerintahkan, “Sholatkanlah sahabatmu ini!” Kekagetan para sahabat itu berasalan karena jenazah syuhada’ --orang yang gugur dalam perang-- akan mendapat keistimewaan bisa langsung dimakamkan, tanpa dimandikan dan dishalati lebih dulu. Tapi keheranan sahabat itu dijawab tegas oleh Rasulullah “Sahabatmu ini telah curang dalam perjuangan di jalan Allah.”
Zaid membongkar perbekalan almarhum, dan menemukan permata milik orang Yahudi senilai kurang dari dua dirham.
Dua kisah di atas menjadi bukti nyata bahwa nabi tak ingin sahabat yang syahid tak mendapatkan keistimewaan di hadapan Allah hanya semata-mata karena korupsi (mengambil ghanimah yang belum dibagi). Dan kisah itu memiliki pesan penting bahwa Rasulullah mengejar koruptor hingga ke liang kubur. Itu menandakan bahwa korupsi bukanlah dosa kecil, tapi dosa yang besar bahkan bisa menghapus martabat sang syuhada`.
Pada aras lain, kisah di atas sebenarnya menegaskan pada para sahabat; bagaimana Rasul memberikan hukuman kepada sang koruptor. Nabi memberikan jawaban jelas bahwa hasil korupsi --ghanimah yang belum dibagikan itu- akan menyala padanya di neraka, dan lantang menolak syuhada yang korup langsung dimakamkan, tapi harus melewati prosedur normal untuk dishalatkan --sebagaimana kematian setiap muslim secara normal. Jawaban Nabi ini menegaskan bahwa korupsi itu dosa yang tak sembarangan --karena ia telah mencuri harta atau ghanimah yang menjadi milik bersama.
Purifikasi Nafsu Korupsi
Berkaca dari kisah yang terjadi di zaman Nabi dan 'prahara korupsi' yang cukup akut melanda negeri ini, tak bisa dipungkiri bahwa nafsu korupsi itu tidak saja menjerumuskan koruptor terjungkal pada jurang ketidaksyahidan melainkan juga dianggap telah melukai spirit keberagamaan dan keadilan sosial. Sebab itu, di tengah prahara korupsi yang melanda negeri ini, ibadah haji kali ini haruslah dimaknai sebagai "jalan asketis" untuk membangun "kesadaran dekonstruktif" (bagi jiwa) untuk berbenah.
Setidaknya, untuk membangun kesadaran dekonstruktif itu ritual haji kali ini haruslah dimaknai sebagai praktek purifikasi terhadap nafsu korupsi. Pertama, ibadah haji menuntut kerendahan dan kehinaan manusia sebab dalam praktek haji, setiap jamaah melepas segala atribut, jabatan bahkan semua kelekatan duniawi. Jadi, praktek haji "menepis" berbagai bentuk nafsu kemaruk, keserakahan, dan ketamakan. Kedua, praktek ibadah haji meniscayakan rasa syukur kepada Allah atas apa yang telah diberikan. Ini bertolak belakang dengan nafsu korupsi. Sebab korupsi menandakan keserakahan dan hilangnya rasa bersyukur.
Ketiga, ritual haji mendidik jiwa jamaah agar mencapai derajat kemuliaan secara individu tetapi sekaligus membangun rasa kebersamaan dan saling membantu. Pendidikan bagi asupan jiwa ini secara nyata memberikan teladan bahwa setiap jamaah haruslah tetap berperilaku mulia dan jalan itu harus dicapai dengan tidak mengorbankan kehidupan atau mengurangi hak orang lain. Praktek ini mengikis nafsu korupsi karena koruptor yang menggasak uang rakyat demi memperkaya diri sendiri (kelompok atau golongannya) adalah akhlak yang tidak terpuji.
Keempat, praktek ibadah haji menumbuhkan jiwa kesempuranaan dan sikap tawaduk (tunduk kepada perintah Allah). Setiap jamaah tak bisa mengelak, ketika menunaikan ritual haji ia harus tunduk-- taat kepada Allah. Jadi, praktek dari ritual ini menandaskan akan "ketundukan jiwa" agar tidak berbuat culas dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tidak culas melakukan korupsi. Dengan kesadaran seperti itulah, maka spirit ibadah haji bisa membangun jiwa para elite dalam membangun bangsa ini untuk kepentingan rakyat bukan demi golongan --apalagi demi memperkaya diri sendiri.
Dengan memaknai ibadah haji sebagai jalan asketis untuk purifikasi nafsu korupsi, tak bisa disangkal, jika ibadah haji yang dijalani tahun ini tak saja akan membawa kesadaran baru atau melahirkan perubahan yang signifikan, tetapi juga akan membangun semangat dan mental setiap jamaah --terlebih elite politik yang pergi haji-- untuk meraih derajat kemuliaan di sisi Tuhan. Lebih dari itu, spirit haji itu akan jadi semangat untuk membangun bangsa ini lepas dari jerat nafsu korupsi.
*) N. Mursidi, alumnus Aqidah-Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar