Musim haji kembali tiba, Indonesia sudah menerbangkan jemaah haji melalui kelompok terbang di sembilan embarkasi. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, negeri ini telah mencatat sejarah yang cukup spektakuler karena bisa memberangkatkan jemaah haji dengan jumlah yang fenomenal. Bahkan, daftar tunggu (waiting list) calon jemaah haji sudah mencapai 6-7 tahun. Fenomena ini bisa dikatakan cukup menggembirakan, tetapi sekaligus menggundang keprihatian.
Dapat dikatakan menggembirakan, karena hal itu menunjukkan secara kuantitatif ghirah umat Islam Indonesia tinggi dalam memenuhi panggilan Allah sebagai bentuk perwujudan dari praktek rukun Islam yang kelima. Tapi, di tengah spirit umat Islam Indonesia untuk pergi ke tanah suci yang menggebu-gebu itu, tidak diimbangi dengan praktek tranformasi dalam menafsirkan pesan penting ibadah haji. Itulah fenomena yang bisa dikata cukup memprihatinkan. Tak sedikit jemaah haji yang pergi demi mendapatkan gelar haji semata. Tak mustahil, jika demi mendapat "predikat haji" itu kabar miring bahwa mereka pergi haji dari uang korupsi, tidak peduli terhadap tetangga yang dililit kemiskinan bahkan saat pulang dari haji pun tidak mengalami perubahan dramatis sebagai buah manis dari imbalan haji mabrur, bukan bualan belaka.
Memang setiap orang (muslim) bisa pergi haji, selama ia memiliki dana cukup. Tetapi, hanya orang khusus yang bisa meraih haji mabrur. Karena untuk meraih haji mabrur itu tidaklah gampang. Bahkan, ada satu kisah yang cukup menghentak dari sepasang suami istri yang tak sempat ke Mekah tetapi bisa meraih derajat seperti haji mabrur. Syahdan, sepasang suami-istri yang tidak tergolong kaya ingin pergi haji. Praktis, keduanya bekerja siang malam, dan bekerja dengan susah payah untuk bisa mengumpulkan uang sebagai bekal ke Mekah. Rupanya, kerja keras itu tidak sia-sia, mereka berhasil mengumpulkan uang dan bisa berangkat. Akhirnya, saat musim haji tiba, mereka berangkat.
Sebelum keduanya tiba di Mekah, di perjalanan mereka menemui perkampungan miskin, banyak warga miskin dan anak-anak diserang busung lapar. Saat itu, keduanya tak kuasa menahan air mata. Keduanya merasa iba, bahkan akhirnya memutuskan tidak melanjutkan perjalanan ke Mekah, dan memberikan semua uang dan bekal yang dibawa kepada penduduk tersebut.
Di balik keputusan itu, keduanya ingat sebuah hadits nabi, "Tidak beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan." Itulah yang menjadi landasan bagi keduanya. Apalagi, mereka paham bahwa ibadah haji adalah perintah Allah yang wajib ditunaikan tetapi manfaatnya hanya bagi mereka berdua. Karena itu, mereka pun memilih memberikan bekal yang dibawa dan kemudian pulang ke kampung halaman.
Hal yang tak terduga pun terjadi. Ketika suami istri itu sampai di rumah, ada orang asing tidak dikenal yang menunggu di rumah. Setelah memberi salam, orang itu berkata, "Selamat datang dari haji mabrur." Tentu, suami istri itu terperangah. Keduanya tak merasa pergi haji. Akhirnnya, mereka menceritakan apa yang dialami di perjalanan. Anehnya, setelah mendengarkan cerita dari sepasang suami istri itu, tamu tersebut menjawab, "Itulah haji mabrur!"
Kisah ini - dalam tradisi sufi - memang cukup populer. Kendati kisah ini bisa didramatisasi bahkan bisa jadi tidak sepenuhnya benar, tapi pesan di balik kisah itu bisa jadi bahan renungan. Apalagi, ketika musim haji tiba, orang-orang kaya berlomba-lomba pergi ke Mekah, tetapi mereka nyaris menutup mata dan telinga terhadap keadaan di sekeliling, tetangga yang dilanda kepahitan hidup. Jadi, pesan dari kisah tersebut tidak lain bahwa untuk meraih haji mabrur itu selain menyinergikan nilai keimanan pada Tuhan, faktor lain adalah tak melupakan perhatian atau empati terhadap kemanusiaan.
Setiap orang muslim yang pergi ke tanah suci, tidak ada lain kecuali ingin merengkuh buah manis ibadah haji berupa haji mabrur. Tetapi, ruh (substansi) penting dari haji mabrur itu kerap kali diabaikan oleh sebagian besar jamaah haji Indonesia. Padahal, praktek ibadah haji haruslah dapat melahirkan beberapa poin penting. Pertama, secara substansi ibadah haji itu untuk meraih tingkat ketaqwaan yang lebih tinggi. Mustahil, jika jemaah sepulang dari tanah suci akan lahir sebagai manusia yang memiliki kesadaran baru. Ibadah haji bukan piknik, tetapi ritual agung yang dapat membawa manfat besar, bisa mengubah prilaku dan sikap hidup pasca haji, serta merengkuh tahap demi tahap perubahan ke arah yang lebih baik.
Kedua, semua jenis ibadah (mahdah), termasuk haji, titik tekannya adalah aspek vertikal (habl min Allah), tetapi bukan berarti lepas dari aspek vertikal atau kemanusiaan (habl min al-nas). Karena itu, tanpa dibarengi aspek terakhir tersebut, tentu ibadah haji yang dilaksanakan dengan susah payah bisa saja berkurang maknanya di hadapan Allah. Tidak jarang jamaah haji hanya lebih menekankan aspek vertikal dan melupakan aspek sosial. Karena iming-iming surga, orang kemudian egois dan berkali-kali pergi haji, sementara tetangga di sekitar banyak yang menderita dan hidup dalam kelaparan.
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Ali Syari`ati bahwa makna ibadah haji tidak bisa dilepaskan dari tiga hal penting, yakni aspek horisontal, vertikal dan aspek diagonal frontal. Ketiga aspek penting tersebut membangun konfigurasi spiritual dan sosial bagi jemaah haji pasca dari tanah suci. Ketika bangunan ketiga aspek itu diejawantahkan dalam kehidupan sosial, maka yang lahir adalah terkikisnya ego dan kesombongan (keangkuhan). Dengan cara pemaknaan itulah, maka seseorang muslim kkembali dari haji akan menemukan jati diri sebagai manusia yang memiliki kesadaran baru, yang penuh pengabdian kepada sang Khalik di samping memiliki kesadaran untuk berempati pada dunia, lingkungan, dan orang lain.
Kiranya, itulah substansi haji yang harusnya direngkuh oleh setiap jemaah haji, bukan gelar. Haji memang wajib bagi orang yang mampu, tetapi apabila tidak memberikan manfaat pada orang-orang di sekitar, ibadah haji bisa menjadi tidak berarti. ***
*) Penulis adalah alumnus Teologi dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Dapat dikatakan menggembirakan, karena hal itu menunjukkan secara kuantitatif ghirah umat Islam Indonesia tinggi dalam memenuhi panggilan Allah sebagai bentuk perwujudan dari praktek rukun Islam yang kelima. Tapi, di tengah spirit umat Islam Indonesia untuk pergi ke tanah suci yang menggebu-gebu itu, tidak diimbangi dengan praktek tranformasi dalam menafsirkan pesan penting ibadah haji. Itulah fenomena yang bisa dikata cukup memprihatinkan. Tak sedikit jemaah haji yang pergi demi mendapatkan gelar haji semata. Tak mustahil, jika demi mendapat "predikat haji" itu kabar miring bahwa mereka pergi haji dari uang korupsi, tidak peduli terhadap tetangga yang dililit kemiskinan bahkan saat pulang dari haji pun tidak mengalami perubahan dramatis sebagai buah manis dari imbalan haji mabrur, bukan bualan belaka.
Memang setiap orang (muslim) bisa pergi haji, selama ia memiliki dana cukup. Tetapi, hanya orang khusus yang bisa meraih haji mabrur. Karena untuk meraih haji mabrur itu tidaklah gampang. Bahkan, ada satu kisah yang cukup menghentak dari sepasang suami istri yang tak sempat ke Mekah tetapi bisa meraih derajat seperti haji mabrur. Syahdan, sepasang suami-istri yang tidak tergolong kaya ingin pergi haji. Praktis, keduanya bekerja siang malam, dan bekerja dengan susah payah untuk bisa mengumpulkan uang sebagai bekal ke Mekah. Rupanya, kerja keras itu tidak sia-sia, mereka berhasil mengumpulkan uang dan bisa berangkat. Akhirnya, saat musim haji tiba, mereka berangkat.
Sebelum keduanya tiba di Mekah, di perjalanan mereka menemui perkampungan miskin, banyak warga miskin dan anak-anak diserang busung lapar. Saat itu, keduanya tak kuasa menahan air mata. Keduanya merasa iba, bahkan akhirnya memutuskan tidak melanjutkan perjalanan ke Mekah, dan memberikan semua uang dan bekal yang dibawa kepada penduduk tersebut.
Di balik keputusan itu, keduanya ingat sebuah hadits nabi, "Tidak beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan." Itulah yang menjadi landasan bagi keduanya. Apalagi, mereka paham bahwa ibadah haji adalah perintah Allah yang wajib ditunaikan tetapi manfaatnya hanya bagi mereka berdua. Karena itu, mereka pun memilih memberikan bekal yang dibawa dan kemudian pulang ke kampung halaman.
Hal yang tak terduga pun terjadi. Ketika suami istri itu sampai di rumah, ada orang asing tidak dikenal yang menunggu di rumah. Setelah memberi salam, orang itu berkata, "Selamat datang dari haji mabrur." Tentu, suami istri itu terperangah. Keduanya tak merasa pergi haji. Akhirnnya, mereka menceritakan apa yang dialami di perjalanan. Anehnya, setelah mendengarkan cerita dari sepasang suami istri itu, tamu tersebut menjawab, "Itulah haji mabrur!"
Kisah ini - dalam tradisi sufi - memang cukup populer. Kendati kisah ini bisa didramatisasi bahkan bisa jadi tidak sepenuhnya benar, tapi pesan di balik kisah itu bisa jadi bahan renungan. Apalagi, ketika musim haji tiba, orang-orang kaya berlomba-lomba pergi ke Mekah, tetapi mereka nyaris menutup mata dan telinga terhadap keadaan di sekeliling, tetangga yang dilanda kepahitan hidup. Jadi, pesan dari kisah tersebut tidak lain bahwa untuk meraih haji mabrur itu selain menyinergikan nilai keimanan pada Tuhan, faktor lain adalah tak melupakan perhatian atau empati terhadap kemanusiaan.
Setiap orang muslim yang pergi ke tanah suci, tidak ada lain kecuali ingin merengkuh buah manis ibadah haji berupa haji mabrur. Tetapi, ruh (substansi) penting dari haji mabrur itu kerap kali diabaikan oleh sebagian besar jamaah haji Indonesia. Padahal, praktek ibadah haji haruslah dapat melahirkan beberapa poin penting. Pertama, secara substansi ibadah haji itu untuk meraih tingkat ketaqwaan yang lebih tinggi. Mustahil, jika jemaah sepulang dari tanah suci akan lahir sebagai manusia yang memiliki kesadaran baru. Ibadah haji bukan piknik, tetapi ritual agung yang dapat membawa manfat besar, bisa mengubah prilaku dan sikap hidup pasca haji, serta merengkuh tahap demi tahap perubahan ke arah yang lebih baik.
Kedua, semua jenis ibadah (mahdah), termasuk haji, titik tekannya adalah aspek vertikal (habl min Allah), tetapi bukan berarti lepas dari aspek vertikal atau kemanusiaan (habl min al-nas). Karena itu, tanpa dibarengi aspek terakhir tersebut, tentu ibadah haji yang dilaksanakan dengan susah payah bisa saja berkurang maknanya di hadapan Allah. Tidak jarang jamaah haji hanya lebih menekankan aspek vertikal dan melupakan aspek sosial. Karena iming-iming surga, orang kemudian egois dan berkali-kali pergi haji, sementara tetangga di sekitar banyak yang menderita dan hidup dalam kelaparan.
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Ali Syari`ati bahwa makna ibadah haji tidak bisa dilepaskan dari tiga hal penting, yakni aspek horisontal, vertikal dan aspek diagonal frontal. Ketiga aspek penting tersebut membangun konfigurasi spiritual dan sosial bagi jemaah haji pasca dari tanah suci. Ketika bangunan ketiga aspek itu diejawantahkan dalam kehidupan sosial, maka yang lahir adalah terkikisnya ego dan kesombongan (keangkuhan). Dengan cara pemaknaan itulah, maka seseorang muslim kkembali dari haji akan menemukan jati diri sebagai manusia yang memiliki kesadaran baru, yang penuh pengabdian kepada sang Khalik di samping memiliki kesadaran untuk berempati pada dunia, lingkungan, dan orang lain.
Kiranya, itulah substansi haji yang harusnya direngkuh oleh setiap jemaah haji, bukan gelar. Haji memang wajib bagi orang yang mampu, tetapi apabila tidak memberikan manfaat pada orang-orang di sekitar, ibadah haji bisa menjadi tidak berarti. ***
*) Penulis adalah alumnus Teologi dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar